Komunitas lama tersingkir, membawa pergi wajah ramah dan keterbukaan khas Indonesia yang memikat para turis asing dari banyak negara.
Oleh
STEFANUS ATO/AGUIDO ADRI/SUCIPTO
·4 menit baca
Sabtu (27/2/2021) sekitar pukul 19.00, situasi di Jalan Jaksa hening. Di kiri-kanan jalan sepanjang 400 meter itu kurang dari 10 pedagang kaki lima berjualan. Gedung-gedung lawas gelap tanpa lampu. Di beberapa bangunan ada plang dijual atau disewakan. Pemandangan yang jauh berbeda dibandingkan dengan tahun 1980-an ketika turis beransel (backpacker) betah di sana.
Saat ini tersisa 4 hostel, 1 agen perjalanan, 3 kafe, dan 1 tempat binatu. Pada masa jayanya hingga tahun 2000-an, setidaknya ada 16 hostel di Jalan Jaksa, termasuk di gang-gang kecil. Selain itu, ada 4 agen perjalanan, 2 tempat binatu, 1 wartel, 2 tempat penukaran uang, dan 15 kafe.
”Dulu saya punya tiga kafe. Sejak krisis ekonomi, fokus saja ke Memories Cafe, yang memang milik sendiri,” kata Helmi Zain (64). Geliat lemah Jalan Jaksa sejak Bom Bali II tahun 2005 yang kian remuk saat pandemi Covid-19.
Jalan Jaksa di wilayah Kebon Sirih, Kota Administrasi Jakarta Pusat itu, masuk dalam peta wisata dunia sebagai pedoman atau destinasi perjalanan wisatawan ke Indonesia. Ada faktor penyebab Jalan Jaksa pernah mendunia.
Bra Baskoro dalam bukunya, Wisata Kota Jalan Jaksa, (2010), menyebutkan, pesona Jalan Jaksa tak hanya soal pendekatan gaya Barat yang lekat dengan minuman beralkohol, karaoke, musik hidup, dan makanan bercita rasa Barat. Di sana ada interaksi dengan warga lokal tanpa memandang etnik dan strata sosial. Interaksi itu jarang gesekan atau konflik warga.
Para wisatawan, tulis Baskoro, menikmati sehingga muncul kesan mereka sedang di negeri sendiri. Inilah kenapa Jalan Jaksa mendunia.
Wisata Jalan Jaksa digagas Nathanael Lawalata pada 1960-an. Ia pengembara yang tiga kali mengelilingi dunia dan setelah pensiun memutuskan membuka penginapan murah di sana tahun 1967 (Kompas, 4/2/2001).
Pria kelahiran 1912 itu punya banyak mitra kerja asing. Kunjungan turis asing berjalan organik dan terus berkembang.
Baskoro menyebutkan, tanpa disadari, komunitas di Jalan Jaksa menerapkan konsep baru: pariwisata berbasis komunitas. Perkembangan di Jalan Jaksa seperti hendak menyanggah asumsi pembangunan pariwisata berbasis komunitas hanya bisa di perdesaan.
Kenapa potensi pariwisata berbasis komunitas di kota rendah? Itu karena masyarakatnya heterogen, majemuk, dan individualistik. Di sisi lain, ada pola konsumsi wisatawan yang meningkat, seperti menikmati produk atau kreasi budaya, peninggalan sejarah, dan nuansa lingkungan sosial masyarakat.
Jalan Jaksa memang tak punya peninggalan visual bersejarah berupa bangunan khas, seperti Kota Tua, Jakarta Barat. Namun, kawasan ini dulunya menampilkan wajah Indonesia yang ramah dan terbuka dengan kesederhanaan.
Ini tak selalu soal turis yang ingin kemewahan, kenyamanan ruang ber-AC atau sajian kuliner mahal. ”Itu semua bisa mereka rasakan di negara asalnya. Tetapi, di Jalan Jaksa melalui warganya selalu ada kesederhanaan,” kata arkeolog yang juga pemerhati sejarah kota Candrian Attahiyyat, Selasa (2/3/2021).
Kesederhaaan itu berupa proses interaksi melalui tegur sapa dan senyum hangat dengan pemilik rumah tempat mereka menginap sembari menikmati secangkir kopi, makan asinan, belajar bahasa Indonesia (mengucap selamat pagi atau selamat makan). Interaksi itu membuat wisatawan menyatu dengan atmosfer Jakarta.
Saat masih ramai, turis-turis asing berseliweran tanpa kekakuan. Setiap 17 Agustus, mereka berbaur dalam lomba-lomba, seperti tarik tambang dan makan kerupuk. Pengalaman baru yang seru membawa kesan mendalam.
Bisa dikatakan. Jalan Jaksa adalah cerita dan pengalaman tentang pakaian yang basah karena keringat dan kulit berubah menjadi coklat, juga tentang suara azan, dan segala dinamika rutinitas harian warga.
Kesederhanaan dan proses interaksi itu yang kini hilang. Komunitas yang ramah dan terbuka kian tersingkir. ”Komunitas masyarakat yang ramah dan terbuka semakin tersingkir. Ada budaya yang hilang di situ,” tutur Candrian.
Mati surinya Jalan Jaksa patut disesalkan karena Indonesia kehilangan salah satu obyek wisata living locally atau slow tourism dan being local.
Ruang-ruang interaksi sosial yang lama terbangun antara warga dan turis juga semakin sempit. Bahkan, sukar dijumpai lagi dan jadi salah satu penyebab Jalan Jaksa mati suri. Tersingkirnya warga lokal karena pembangunan juga menghilangkan kehangatan di sana.
Menurut Candrian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah berupaya menghidupkan lagi Jalan Jaksa dengan menghadirkan berbagai acara untuk mendatangkan wisatawan. Namun, pandemi Covid-19 memperburuk keadaan.
Selain itu, dari berbagai acara itu, pelaku bisnis merespon dengan meningkatkan pengeluaran agar meraup keuntungan lebih cepat tanpa mempertimbangkan daya beli turis yang datang. Padahal, Jalan Jaksa tak bisa dilihat dari sebuah jalan semata, tetapi suatu komunitas yang hidup dan tinggal di sana. Sayangnya, komunitas di Jalan Jaksa itu tak lagi terjaga.
Dosen Program Studi Perjalanan Wisata, Universitas Negeri Jakarta, Khrisnamurti, menuturkan, mati surinya Jalan Jaksa patut disesalkan karena Indonesia kehilangan salah satu obyek wisata living locally atau slow tourism dan being local. Jalan Jaksa mewarnai wisata lain serupa, seperti Popies Lane di Bali dan Prawirotaman di Yogyakarta.
Ia yakin, Jalan Jaksa bisa bangkit kembali. Syaratnya, penataan ulang Jalan Jaksa dan perkampungan di dalamnya dengan melibatkan warga. Sudah sepatutnya tempat wisata serupa Jalan Jaksa diperbanyak di Ibu Kota. Bukan sebaliknya.