Pertalian Menjerumuskan Kecanduan Narkoba dan Kriminalitas
Pengguna jadi ketagihan dengan rasa senang di otak yang ditimbulkan narkoba. Setelah otak terganggu, muncul kebutuhan-kebutuhan pada diri pengguna yang membuatnya makin sulit melepas jerat narkoba.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·5 menit baca
Ketagihan narkoba tidak hanya merusak tubuh penggunanya, tetapi juga bisa merugikan orang di sekitarnya. Itu lantaran saat efek kecanduan menagih, segala jalan akan dipilih. Tak peduli bahwa itu berarti harus melanggar hukum.
Di Pondok Aren, Tangerang Selatan, misalnya, satu komplotan pemuda merampas telepon seluler dua remaja dengan mengancam menggunakan celurit. Pengakuan tiga anggota geng yang sudah diringkus personel Kepolisian Daerah Metro Jaya, AM (21), AY (22), dan BA (21), uang hasil penjualan ponsel rampasan digunakan untuk membeli narkoba.
Satu anggota komplotan masih buron, berinisial I. ”Hasilnya rata-rata untuk membeli barang haram,” ucap Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (1/3/2021).
Bukan kali ini saja AM, AY, dan BA berurusan dengan hukuman. Mereka pernah dipenjara karena penyalahgunaan narkoba. Polisi masih melakukan tes urine mereka. Jika mereka positif menggunakan narkoba, petugas Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya akan menyelidiki lebih lanjut.
Yusri menjelaskan, AM dan kawan-kawan tidak segan melukai korban yang berusaha mempertahankan diri. Mereka mengaku baru dua kali beraksi, tetapi polisi masih terus meyelidiki.
Mereka terakhir merampok ponsel dua remaja, RF (14) dan MAY (13), pada Minggu (21/2/2021) dini hari. Aksi ini viral di media sosial karena terekam kamera pengawas (CCTV).
Kejahatan diawali dengan ajakan dari AM pada tiga temannya berkeliling mencari sasaran warga nongkrong sambil menenteng ponsel sejak Sabtu malam. Pada Minggu pukul 02.20, tersangka AM melihat sekumpulan anak muda bercengkerama di depan sebuah mushala di Kelurahan Pondok Kacang Barat, Kecamatan Pondok Aren.
Ia lantas turun dari sepeda motor dan langsung mengacungkan celurit pada anak-anak muda itu. RF dan MAY tidak beruntung karena ponsel mereka yang paling mudah direbut. Yang lain kabur.
Saat AM mengancam, AY bersiaga di atas motor untuk memudahkan mereka kabur, sedangkan BA dan I bertugas memantau situasi guna memberi peringatan dini jika ada ancaman dari warga sekitar. Mereka leluasa melaju setelah merampok.
Kejadian itu direspons tim Subdirektorat III/Reserse Mobil Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Setelah penyelidikan kurang dari sepekan, petugas meringkus AM dan AY di kompleks Ribang Asri Kecamatan Pondok Aren serta BA di kompleks Deplu, Pondok Aren, Jumat (26/2/2021) pagi. Mereka sedang beristirahat di rumah kontrakan masing-masing.
AM, AY, dan BA dijerat Pasal 365 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman sembilan tahun penjara.
Yusri menambahkan, narkoba juga mendorong berjalannya aksi kejahatan oleh komplotan lain. Seorang penyalah guna narkoba, AKS (25), bergabung dengan DS (26) dan J (35) untuk mencuri sepeda motor berbekal kunci T hingga setidaknya sepuluh kali.
”Pengakuan AKS, uang bagiannya untuk membeli barang haram,” ujar Yusri. AKS memang sudah kecanduan dan hasil tes urine menunjukkan dia terbukti positif mengonsumsi narkoba.
Tim Subdit Resmob Polda Metro Jaya mengejar AKS dan dua rekannya berdasar laporan pencurian motor pada Oktober 2020 di Tapos Kota Depok dan November 2020 di Cibubur Jakarta Timur. Hasil pelacakan mengantarkan petugas ke Kelurahan Maringgai, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, untuk membekuk AKS pada Selasa (23/2/2021) sekitar pukul 03.00.
Tim lantas mendalami keterangan AKS dan petunjuk-petunjuk lainnya. Alhasil, DS dan J juga diringkus dalam waktu berdekatan. Keduanya pun berada di Kelurahan Maringgai.
Perbuatan AKS serta AM dan kawan-kawan jadi bukti betapa narkoba seperti makhluk yang posesif. Siapa saja yang telanjur kecanduan tidak akan dilepaskan dengan mudah. Itu lantaran narkoba merusak otak penggunanya.
”Ada gangguan di otaknya yang menyebabkan orang ketergantungan, lalu menyebabkan adanya kebutuhan fisik, psikis, dan gaya hidup, sehingga dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan narkoba,” ucap Kepala Balai Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Baddoka di Makassar, Sulawesi Selatan, Iman Firmansyah.
Dokter spesialis kedokteran jiwa itu menyebutkan, gangguan terjadi di vrental tegmental area yang merupakan pusat kesenangan dan kebahagiaan di otak. Pengguna jadi ketagihan dengan rasa senang yang ditimbulkan narkoba.
Setelah otak terganggu, muncul kebutuhan-kebutuhan pada diri pengguna yang membuatnya makin sulit melepas jerat narkoba. Dari sisi psikologi, muncul sugesti untuk terus memakai dengan gejala yang berbeda pada setiap orang, misalnya badan terasa sakit, kepala pusing, susah makan, atau susah tidur ketika narkoba tidak masuk tubuh. Dari sisi sosial, pengguna bisa terpengaruh lingkungan pergaulan yang mensyaratkan pemakaian narkoba agar eksistensinya dalam lingkaran pertemanan tidak terancam.
Iman mengatakan, kondisi-kondisi itu mengakibatkan pencandu narkoba akan mengerahkan segala sumber dayanya untuk terus mendapat pasokan narkoba. Jika pengguna punya uang, ia akan menghabiskannya. Jika sudah habis, ia akan memaksa orangtua memberikan uang.
Jika keluarga si pengguna tidak punya kemampuan finansial memadai, sumber daya orang lainlah yang diincar. Ini yang dilakukan AKS serta komplotan AM.
Karena itu, rehabilitasi amat substansial guna memutus tali jerat narkoba terhadap pencandu sehingga tidak turut berdampak buruk pada masyarakat. Kepala BNN Komisaris Jenderal Petrus Reinhard Golose mengajak seluruh masyarakat yang punya masalah penyalahgunaan narkotika untuk menjalani rehabilitasi di fasilitas milik pemerintah maupun komponen masyarakat. ”BNN tidak hanya melakukan upaya represif, tetapi juga pendekatan humanis melalui rehabilitasi,” katanya.
Dokter Budiono, Deputi Rehabilitasi BNN, melalui video CNS Radio Podcast, meminta masyarakat paham bahwa tidak ada jaminan pencandu narkoba langsung sembuh setelah sekali mengikuti program rehabilitasi di fasilitas-fasilitas yang ada. ”Secara teori, itu tidak bisa disembuhkan, penyakit yang akan terus bisa kambuh tergantung lingkungan mereka, tergantung trigger (pemicu) yang bisa menyebabkan pencandu kambuh lagi,” ujarnya.
Kondisi itu mendasari langkah BNN menggerakkan program pascarehabilitasi. Masyarakat yang sudah dilatih akan memastikan lingkungan tempat tinggal mantan pencandu bersih dari narkoba atau pemicunya untuk menggunakan kembali, antara lain, dengan pemberian informasi pencegahan kekambuhan, deteksi dini kekambuhan, serta mengajak mantan pencandu aktif dalam kegiatan positif.
Iman menambahkan, rehabilitasi yang efektif bukanlah tentang berapa lama rehabilitasi dijalankan, melainkan tentang terapi apa yang diterima selama rehabilitasi. Masalahnya, faktor penyebab satu pencandu tidak bisa berhenti memakai narkoba berbeda dengan pencandu lainnya sehingga terapi tidak bisa disamaratakan untuk semua individu.