Sungai dan sistem drainase di Jakarta dan sekitarnya perlu dipastikan memiliki lebar ideal dan bebas sedimentasi. Hal ini untuk menormalkan kembali kapasitas daya tampungnya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Petugas UPK Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta membersihkan sampah sisa banjir yang masih tersisa di lokasi reruntuhan tembok Kali Krukut yang jebol di Jalan Taman Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (24/2/2021).
Banjir di Ibu Kota bukan merupakan bencana alam, melainkan bencana akibat ketidakmampuan pengelolaan debit air secara berkelanjutan. Hal itu mengemuka pada seminar yang diadakan Sekolah Ilmu Lingkungan Hidup Universitas Indonesia (SIL UI) serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Rabu (3/3/2021).
Tema yang diusung dalam seminar ini adalah ”Mencari Pembelajaran Penanggulangan Banjir Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur) untuk Percepatan Sinergitas Pemangku Kepentingan”. Menurut Direktur SIL UI Tri Edhi Budhi Soesilo, hasil diskusi akan diteruskan kepada Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten sebagai pertimbangan kebijakan dan langkah mitigasi banjir.
Direktur Pengairan dan Irigasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Abdul Malik Sadat Idris mengungkapkan, pada Juni 2020 telah ada penandatanganan kesepakatan antara enam kementerian dan tiga provinsi mengenai rencana ketangguhan banjir. Total Rp 35,9 triliun dikucurkan dari proyek ini yang berasal dari anggaran pusat dan daerah.
Dalam konteks pembenahan DAS juga telah dibahas soal penyebaran debit air agar tidak bertumpu pada satu aliran sungai saja.
Khusus di wilayah Jakarta, salah satu prioritas tindakan ialah memastikan tidak ada sedimentasi di dalam sungai dan anak sungai. Sedimentasi ini baik yang terjadi secara alami akibat erosi maupun akibat pembangunan kawasan perumahan dan perindustrian. Setiap tahun dirata-ratakan ada 1,4 juta meter kubik endapan yang harus dikeruk dari sungai-sungai di Ibu Kota.
Kompas
Intensitas dan sebaran hujan di Jakarta saat banjir pada 20 Februari 2021 dibandingkan dengan saat banjir tahun 2007, 2008, 2013, 2005, dan 2020. Sumber: Siswanto (2021)
Ia menerangkan, dalam konteks pembenahan DAS juga telah dibahas soal penyebaran debit air agar tidak bertumpu pada satu aliran sungai saja. Proyek yang telah disetujui untuk segera dimulai ialah menyambungkan Cliwung dengan Kanal Timur dan Ciliwung dengan Cisadane.
”Pembangunan polder juga prioritas selanjutnya. Saat ini yang bisa dikatakan baik adalah polder di Pluit. Sejumlah polder seperti di Sentiong harus ditingkatkan kapasitasnya dengan membangun kolam retensi dan pompa,” kata Abdul Malik Sadat Idris. Ada pula polder seperti di Monumen Nasional dan Taman Anggrek yang perlu dibuatkan ruang terbuka hijau untuk resapan air.
Ketika baru dilantik menjadi Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta dua pekan lalu, Yusmada Faizal mengatakan, prioritasnya adalah membangun sepuluh polder dan empat waduk besar untuk menampung air hujan. Berdasarkan kajian BMKG, hujan Jakarta bersifat monsunal yang berlangsung pada September sampai Maret. Selain itu, ada pula luapan air laut apabila terjadi hujan di samudra. Pada Februari lalu, curah hujan tertinggi mencapai 226 milimeter per hari.
Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Firdaus Ali dalam paparannya mengatakan bahwa mengembalikan fungsi 13 sungai dan 76 anak sungai di Jakarta sebagai kunci pengendalian banjir. Metode ini adalah langkah pertama yang harus dilakukan sebelum pemerintah daerah bisa membuat daerah resapan air. Apabila debit air tidak memiliki tempat untuk pergi, akan lama diresap oleh tanah di wilayah perkotaan yang jumlahnya juga tidak seberapa.
”Setelah pelebaran sungai dan pengerukan rutin, baru kita bisa melakukan naturalisasi guna membangun kembali ekologi DAS (daerah aliran sungai) sekaligus sebagai fungsi estetika,” katanya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Anak-anak bermain air dari luapan banjir Kali Sunter yang masih merendam hunian warga di Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, Minggu (21/2/2021).
Ia mencontohkan, di Kali Krukut ketika dalam keadaan penuh selama 12 jam ada 4 juta meter kubik air yang harus dialirkan. Tanpa sungai yang lebar serta bebas sampah dan endapan, air ini akan luber ke berbagai tempat, seperti ke permukiman dan jalanan.
Bersamaan dengan pembenahan DAS, perlu juga dibangun polder-polder baru sekaligus peningkatan kapasitas polder yang sudah ada. Firdaus memaparkan data Kementerian PUPR bahwa kemampuan pompa air di polder-polder ini banyak yang tidak memadai, yaitu 538 liter per detik. Padahal, semestinya pompa bisa menyedot minimal 1.500 liter air per detik jika hendak mengendalikan debit air di Jakarta.
Pompa adalah bagian dari sistem polder yang dibangun di daerah datar atau yang lebih rendah daripada permukaan laut. Di lokasi-lokasi ini tidak ada daya gravitasi yang bisa mengalirkan air sehingga harus disedot. Apalagi, kajian Geodesi Institut Teknologi Bandung mengungkapkan, pada2050 Jakarta berisiko memiliki 32,5 persen wilayahnya atau sekitar 215 kilometer persegi terendam air laut.
”Baru pendekatan berikutnya ialah meminta gedung-gedung perkantoran atau gedung bertingkat memastikan tidak ada air hujan yang mengalir ke jalanan dengan membangun sumur resapan di area mereka,” tutur Firdaus.
Kompas/Agus Susanto
Air mengalir perlahan menjelang malam di Kanal Timur di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Minggu (27/1).
Dia menambahkan, konsep sumur resapan sejatinya untuk pengawetan air atau memastikan air tanah tidak habis sehingga mengakibatkan kerapuhan tanah. Bukan untuk mengganti air tanah yang disedot penduduk. Dalam sebuah wilayah perkotaan, sistem penyediaan air yang ideal ialah perpipaan, bukan mengambil dari tanah yang tidak akan bisa menanggung beban kebutuhan air urban. Oleh sebab itu, ada pekerjaan rumah yang besar bagi kota-kota untuk membangun infrastruktur menyalurkan air perpipaan ke setiap rumah dan gedung.
Terkait pembangunan sumur resapan, Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Andi Renald mengingatkan agar dipastikan betul kelayakan lokasinya. Tanah yang mengandung pasir, tanah liat, dan lempung tidak bisa dijadikan tempat membuat sumur resapan karena tidak bisa menyerap air, bahkan ada pula risiko meluluhkan tanah.
Sebelumnya, ketika Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek, Puncak, dan Cianjur masih berlaku, Kementerian ATR/BPN menemukan 779 titik ketidaksesuaian pembangunan di ketujuh wilayah itu. Terdapat pula 8.259 ketidaksesuaian peruntukan lahan berdasarkan kebijakan rencana tata ruang yang dibuat oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Kini, kebijakan nasional itu telah diganti dengan Perpres No 60/2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabekpunjur.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Eskavator digunakan untuk mengeruk endapan lumpur Kali Ciliwung di Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (7/8/2020).