Satu tahun menghadapi pandemi Covid-19, pemerintah kian fokus pada pembatasan berskala mikro. Kondisi ini memunculkan soal baru terkait pelibatan warga dalam penanganan pandemi yang pelik.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·6 menit baca
Menjelang satu tahun pandemi Covid-19 di Indonesia, awal Februari 2021, pemerintah memutuskan strategi penanganan agar kian fokus pada pelibatan warga di lingkungan permukiman. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro kemudian berjalan per 9 Februari 2021 untuk wilayah Jawa dan Bali. Praktik ini ingin menguatkan pengendalian dari tingkat rukun tetangga dan rukun warga (RT/RW).
Sejak pembatasan itu pula, Warsito (55) makin sibuk dengan rutinitas pelaporan harian Covid-19 di RW 007 Kelurahan Johar Baru, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Sebagai ketua RW setempat, dia deg-degan karena wilayahnya mengalami penambahan kasus positif hingga 20 orang pada Rabu (24/2/2021). Kondisi tersebut membuat pengurus RW melacak kasus dan menekankan kembali kedisiplinan warga terhadap protokol kesehatan.
”Warga selalu saya ingatkan, kalau bepergian ke luar, usahakan agar terus pakai masker, jaga jarak, dan mencuci tangan. Namun, ada saja warga yang tidak diduga tiba-tiba kena. Kami enggak bosan-bosan mengingatkan dan gencarkan sosialisasi untuk mereka,” ujar Warsito.
Hampir sebulan PPKM mikro berjalan pada Maret 2021, penanganan pandemi kian terpusat pada level komunitas warga. Tidak terkecuali di Jakarta, sebagian lingkungan RT dan RW ditandai dengan bendera atau spanduk warna merah, oranye, kuning, dan hijau. Setiap warna menandai tingkat keparahan lewat banyaknya jumlah kasus Covid-19.
Sebagian RW berhasil menekan kasus positif di lingkungan mereka, sedangkan sebagian lainnya terus bergulat dengan penambahan kasus baru. RW 007 Johar Baru, misalnya, mendapati penambahan kasus positif berasal dari warga yang masih bepergian ke tempat kerja.
Hal serupa juga dialami Taufik Hidayat (55), Ketua RW 006 Kelurahan Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat. Sebagian besar kasus di lingkungan RW-nya adalah orang yang masih bepergian, baik ke tempat kerja maupun ke luar kota.
Kedisiplinan protokol kesehatan juga menjadi persoalan yang lain. RW 006 Pegangsaan dan RW 007 Johar Baru yang tergolong wilayah padat dengan jumlah lebih dari 20 RT cenderung kendur mempraktikkan protokol kesehatan. Pantauan Kompas, 24 Februari, warga masih berinteraksi dan berkerumun satu sama lain. Sebagian besar aktivitas itu berlangsung tanpa masker di sekitar rumah.
Sulfikar Amir, ahli sosiolog bencana asal Indonesia yang mengajar di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, mengatakan, pelibatan warga menjadi unsur penting dalam penanganan pandemi saat ini. Peran ini penting karena warga adalah lapis terdepan yang berhadapan langsung dengan peristiwa bencana.
Peran itu sejalan dengan dokumen ”Managing Epidemics”" dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dipublikasikan pada Mei 2018. Disebutkan bahwa komunitas berada di garis terdepan dalam mendeteksi dan menangani wabah.
Meski komunitas berperan penting, harus ada pemerintah yang melakukan koordinasi agar penyebaran dapat terkendali. ”Artinya, kondisi pandemi sekarang tidak bisa selesai hanya dengan mengandalkan komunitas karena peran mereka sangat terbatas di lingkungan saja. Harus ada lapisan yang lebih di atas lagi, yakni pemerintah, yang mengoordinasi kebijakan agar laju transmisi penularan bisa ditekan,” jelas Sulfikar.
Terkait itu, Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas Nasional Covid-19 Alexander K Ginting menyebutkan, penanganan pandemi terus berjalan secara kolaborasi. Dalam hal ini, kolaborasi sudah berjalan pada unsur TNI, Polri, aparat pemerintah daerah, dan warga sipil.
”Ini menjadi kerja bersama agar masyarakat punya keterpanggilan dalam menjaga protokol kesehatan. Upaya 3M (masker, mencuci tangan, menjaga jarak) menjadi bagian penting untuk memutus rantai penularan,” ujar Alexander dalam diskusi daring yang disiarkan lewat kanal Youtube BNPB Indonesia secara daring, Minggu (28/2/2021).
Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Indonesia Paulus Wirutomo menuturkan, PPKM mikro yang berjalan kini juga berhadapan dengan kejenuhan yang muncul dari sebagian masyarakat. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena langkah pembatasan yang tarik ulur terus-menerus. Kejenuhan publik adalah implikasi dari keterlambatan pemerintah dalam melibatkan warga untuk penanganan Covid-19.
Menurut dia, publik sebelumnya menjalankan instruksi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tanpa unsur keterlibatan secara penuh. Hal ini berbeda dengan PPKM berskala mikro yang masih berlangsung pada periode 23 Februari hingga 8 Maret 2021. Meski sebagian warga masih abai, tetapi sebagian besar pengurus RT dan RW sebagai perwakilan tingkat komunitas makin terlibat.
Tantangan lainnya yaitu mendisiplinkan RT dan RW yang masih abai. ”Kehidupan sosial warga memang sangat dinamis, pasti ada saja warga yang abai. Namun, ini mungkin masih lebih baik daripada PSBB sebelumnya yang terlalu instruktif tanpa pelibatan komunitas. Pekerjaan selanjutnya adalah memberikan pemahaman kepada komunitas dengan cara yang mudah dipahami,” jelas Paulus.
Meski upaya penanganan berbasis komunitas kian masif, PPKM mikro masih menyisakan celah mobilitas warga. Sulfikar menegaskan, konsep penyebaran pandemi Covid-19 terjadi karena pergerakan dan pertemuan di antara sesama manusia.
Sementara, kebijakan dalam PPKM mikro justru melonggarkan sejumlah kegiatan, seperti izin pembukaan sektor perkantoran hingga 50 persen dan pusat perbelanjaan yang buka hingga pukul 21.00. Dua sektor itu bisa memicu risiko penularan antarorang.
Begitu pula dalam perihal zonasi risiko Covid-19 di lingkungan warga. Pengukuran zona kuning, oranye, atau merah berdasarkan jumlah kasus di Jakarta kurang tepat karena infeksi sudah terjadi di seluruh wilayah kelurahan. Sementara, menurut Sulfikar, definisi risiko adalah kemungkinan di mana infeksi bisa terjadi.
”Kalau infeksi itu sudah terjadi hampir di seluruh wilayah kota lalu kita buat zonasinya, ya percuma. Hal itu karena akhirnya warga akan mengurangi kewaspadaan pada daerah-daerah yang kelihatannya zona hijau, tetapi risikonya tinggi,” katanya.
Sulfikar bersama timnya adalah konseptor untuk ”micro-lockdown” atau pembatasan mikro yang pelaksanaannya mirip seperti PPKM mikro saat ini. Dia juga menyampaikan konsepnya ini ke pemerintah pusat dan daerah sejak 2020.
Konsep pembatasan darinya berangkat dari pemahaman bahwa pembatasan mobilitas masyarakat adalah kunci untuk menekan laju penularan. Penutupan kegiatan juga berkutat pada level kelurahan dan dilakukan serentak. Langkah itu berusaha membatasi perpindahan orang dari satu kelurahan ke kelurahan lain.
Sementara, pembatasan mikro dalam lingkup RW sangat sedikit mengurangi mobilitas orang. Tidak heran apabila penambahan kasus di RW masih fluktuatif sebab mobilitas warga belum berkurang.
”Sangat mungkin kalau dalam beberapa minggu, wilayah RW yang satu kasusnya berkurang kemudian giliran RW tetangga yang lain terpapar Covid-19. Begitu saja terus penularannya, berputar-putar,” ujar Sulfikar.
Dalam penanganan wabah, seperti pandemi Covid-19, Sulfikar menekankan tiga aspek penentu keberhasilan pembatasan. Ketiga aspek itu meliputi besaran lingkup wilayah pembatasan, kedalaman aktivitas pembatasan, dan seberapa lama durasi yang ditentukan.
Dia mencontohkan, pembatasan ketat di lingkup kota akan lebih berdampak daripada di tingkat RW. Begitu pula dalam kedalaman aktivitas pembatasan, penutupan fasilitas umum serta wilayah kerumunan lainnya juga akan mengurangi potensi penularan.
Hal yang tidak kalah penting juga adalah durasi pembatasan. Semakin lama pembatasan ketat berlangsung, maka semakin efektif penurunan kasus terjadi. Hal itu tentunya mesti dibarengi dengan tes dan pelacakan yang memadai.
Kondisi pembatasan yang ideal itu pasti butuh biaya besar dan mungkin akan berkompromi dengan sejumlah sektor perekonomian. Menurut dia, strategi itu lebih baik dilakukan sekali waktu daripada harus menjalani pembatasan yang sifatnya setengah-setengah.
”Seandainya pembatasan ketat bisa kita lakukan sekali secara konsisten, misalkan dalam waktu dua bulan saja, kita mungkin sudah bisa menurunkan kasus secara drastis meski tidak sampai nol. Situasi itu juga dengan syarat tes dan pelacakan diiringi program vaksinasi yang terus berjalan,” tuturnya.
Pada akhirnya, penanganan pandemi harus berjalan terpadu dari segi koordinasi pemerintah, kebijakan, dan pelibatan warga. Tanpa tindakan dan kebijakan tegas untuk membatasi mobilitas, mustahil rasanya berharap pandemi segera berakhir.