Kegigihan Ahmad Fahrizal Menjadi Petani Bibit Avokad di Jakarta
Menanam dan menyebarluaskan bibit avokad cipedak bagi Ahmad Fahrizal merupakan perbuatan nyata melestarikan kekayaan hayati asal Jakarta, tanah kelahirannya.

Petani bibit avokad cipedak Ahmad Fahrizal mengajari teknik sambung pucuk untuk memperbanyak bibit di kebun yang berlokasi di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021).
Menjawab panggilan nurani untuk bertani, Ahmad Fahrizal melepas kesempatan menjadi aparatur sipil negara di DKI Jakarta. Sempat merugi bertanam sayur, ia menemukan kesuksesan dari pembibitan avokad. Namun, ia tidak hanya mencari kesejahteraan. Lewat varietas berjuluk avokad cipedak, warga Jagakarsa, Jakarta Selatan, ini hendak memanggungkan Jakarta di jagat pertanian.
”Perlakukan tanaman seperti dokter mau bedah, kayak mau amputasi tangan manusia,” kata Fahrizal atau Rizal kepada dua mahasiswi magang IPB University Bogor, Sabtu (20/2/2021). Ia tengah mengajari mereka teknik sambung pucuk untuk memperbanyak bibit avokad cipedak di kebunnya, yang ”disembunyikan” permukiman padat hunian di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa.
Bagi pria yang gemar memakai topi rimba ini, tanaman bukan sekadar makhluk hidup. Mereka juga punya perasaan. Saat para mahasiswi hendak memotong dan menyayat batang bawah (seedling) serta tunas (entres) yang bakal disambungkan, mereka diminta memohon izin terlebih dahulu pada calon bibit, memberi kata-kata menenangkan karena si tanaman akan merasa sakit sebentar.
Perlakuan manusiawi Rizal terbukti membuat avokad cipedak membalas budi. Di saat banyak orang kehilangan mata pencarian atau pendapatannya menurun akibat wabah Covid-19, ia malah kebanjiran pesanan bibit. Sepanjang masa pandemi bulan Maret-Desember tahun lalu, ia membukukan penjualan 15.000 bibit, naik 150 persen dibandingkan penjualan selama setahun pada 2019, yakni 6.000 bibit.

Petani bibit avokad cipedak, Ahmad Fahrizal, memeriksa hasil sambung pucuk untuk memperbanyak bibit dari mahasiswa magang IPB University Bogor, di kebun yang berlokasi di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021).
Rizal tidak hanya menguasai pasar Jakarta dan sekitarnya. Namanya sudah moncer di kalangan petani bibit dan buah avokad se-Tanah Air. Ia mencontohkan, seorang konsumen di Padang (Sumatera Barat) membeli 1.000 bibit, di Karawang (Jawa Barat) 3.000 bibit, dan di Jambi 1.000 bibit. ”Tanggal 31 Desember ditutup dengan pengiriman 2.500 bibit ke Singkawang (Kalimantan Barat),” katanya.
Ia enggan membuka harga bibit, tetapi yang jelas sepadan untuk menghasilkan buah avokad kelas premium dengan harga Rp 50.000-Rp 70.000 per kilogram. Dari bibit berusia sekitar tiga bulan, buah bisa dipetik setelah pohon ditanam tiga tahun. Dalam setahun, satu pohon mampu menghasilkan 2 kuintal buah.
Buah avokad cipedak masuk papan atas karena saat sudah masak, kulit buahnya mudah dikupas layaknya mengupas pisang. Dagingnya berwarna kuning mentega, pulen, agak gurih, tidak pahit, tidak berserat, dan ”anti”-ulat.
Adapun pohonnya tangguh dalam segala kondisi. dari Pantai Anyer di Banten yang ada di ketinggian kurang dari 10 meter dari permukaan laut (mdpl) sampai di Ciwidey di Bandung pada ketinggian 1.400-an mdpl, semua bisa jadi tempat hidup pohon avokad cipedak untuk berbuah. Pantaslah avokad cipedak diburu dari segala penjuru.

Petani bibit avokad cipedak, Ahmad Fahrizal, mengajari teknik sambung pucuk untuk memperbanyak bibit di kebun yang berlokasi di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021).
Tanpa juga menyebut omzet yang dihasilkannya, Rizal mengatakan, bercocok tanam membuat dia mampu membeli tanah di Rumpin, Kabupaten Bogor, seluas 5.000 meter persegi, atau lima kali lipat luas kebunnya di Jakarta.
Kebun di Jakarta tidak hanya menghidupi Rizal, karena terdapat empat orang yang membantunya di sana, termasuk ayah dan adiknya. Jika kapasitas produksi mereka yang sebanyak 1.000-3.000 bibit per bulan masih tidak mampu memenuhi permintaan di kala tertentu, ia tidak segan bermitra dengan petani lainnya membantu dia menyuplai bibit avokad cipedak.
Kejayaan Rizal seakan di luar nalar di tengah makin tersisihnya lahan pertanian di Ibu Kota. Lahan seluas 1.000 meter persegi yang dijadikan kebun bibit pun bukan miliknya. Ia menyewa tanah itu per lima tahun. Seandainya tidak digunakan Rizal, mungkin lahan itu turut jadi rumah atau gedung.
Baca juga: Menunggangi Covid-19 di Ibu Kota dengan Avokad dan Anggur
Misi khusus
Selain untuk mata pencaharian, Rizal sejatinya juga tengah dalam misi khusus. Sebagai putra asli Jakarta, ia tidak rela warisan hayati kampungnya itu bernasib seperti tanaman maskot DKI, salak condet, yang kian tenggelam.

Petani mengecek bibit avokad cipedak di kebun yang berlokasi di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021).
Kata Cipedak merujuk pada Kampung Cipedak di Kecamatan Jagakarsa asal mula avokad tersebut. Tangan dingin almarhum Nisan Badar alias Pak Nicang melahirkan varietas unggul ini lewat teknik sambung pucuk di dekade 1990-an. Mutu buahnya membuat avokad cipedak beranjak populer dan makin banyak yang membudidayakan sejak Pak Nicang belum menamai varietas itu.
Lalu, avokad itu tersohor dengan nama lain, yang berpotensi memutus sejarahnya dengan Kampung Cipedak. Pak Nicang tidak ambil pusing tetapi seorang warga kampung ini, Jazuri alias Bang Jaxc, tidak ingin identitas geografis avokad itu hilang. Ia pun memimpin upaya mendaftarkan avokad sebagai varietas asli Jakarta, khususnya dari tanah Kampung Cipedak. Nama avokad cipedak pun resmi tercatat tahun 2015.
Namun, Rizal menyadari penetapan nama resmi tidak lantas menjauhkan avokad cipedak dari ancaman kepunahan. Ia memperkirakan pohon avokad cipedak yang sudah tumbuh di rumah-rumah warga di Jakarta kurang dari 1.000 pohon atau baru enam persen jika dibandingkan jumlah bibit yang dijualnya tahun lalu. Didorong dengan gerakan menanam avokad cipedak oleh Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan pun baru menambah sekitar 400 pohon.

Petani mengecek bibit avokad cipedak di kebun yang berlokasi di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021).
Karena itu, Rizal ikut terjun memproduksi bibit avokad cipedak mulai 2015. Menanam dan menyebarluaskan bibit dengan validitas sah sebagai avokad cipedak bagi dia merupakan perbuatan nyata melestarikan kekayaan plasma nutfah asal tanah kelahirannya.
Cinta makhluk hidup
Jalan hidup bertani merupakan pengejawantahan kecintaan Rizal pada makhluk hidup. Ia semasa kecil hobi memelihara hewan. ”Pelihara ayam sampai dibawa tidur, pelihara ikan sampai tidur dekat akuarium,” ujarnya yang kini masih merawat seekor ular albino.
Saat di sekolah, ia menggemari pelajaran biologi, terutama menghafal nama latin berbagai jenis tanaman. Ia tak kuasa membendung keinginan untuk hidup dari mengurus makhluk hidup sehingga ia menyampaikan kepada keluarganya hendak bersekolah di sekolah menengah pertanian.
Orang-orang terdekat mempertanyakan kehendaknya. ”Jadi petani itu berat, tidak punya lahan. Nanti mau menanam di mana? Kita ini di Jakarta, bukan di daerah,” ucap Rizal menirukan keraguan mereka kala itu.

Petani bibit avokad cipedak Ahmad Fahrizal mengajari teknik sambung pucuk untuk memperbanyak bibit di kebun yang berlokasi di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021).
Namun, Rizal tetap kukuh sehingga mendapat restu kedua orangtuanya masuk Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) Negeri DKI Jakarta (sekarang SMK Negeri 63 Jakarta) tahun 2003. Ia membuktikan kehendaknya disertai kemauan bekerja keras sehingga selama tiga tahun di sana tidak membayar biaya pendidikan sepeser pun karena menerima beasiswa.
Hobi merawat makhluk hidup makin hidup setelah lulus SMK sehingga Rizal tahun 2007 melanjutkan pendidikan ke Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Islam ”45” (Unisma) Bekasi. Ia juga mendapat beasiswa selama berkuliah.
Demi meringankan beban ayah dan ibunya menabung biaya masuk universitas untuk adiknya, Rizal berkuliah sambil bekerja sebagai penyuluh pertanian Jakarta, dengan area kerja di Jakarta Utara. Berkarya sebagai penyuluh selama empat tahun membuat ia punya peluang besar menjadi calon aparatur sipil negara (ASN) DKI.
Namun, Rizal tidak puas jika ilmu yang ditabungnya sejak sekolah menengah sekadar dimanfaatkan untuk mendapat pekerjaan yang nyaman. Akhirnya, tahun 2011 ia mengundurkan diri dari pekerjaan penyuluh dan merintis bisnis pertaniannya sendiri. Lagi-lagi, keluarganya geleng-geleng keheranan dengan keputusan anak pertama dari dua bersaudara ini.

Petani bibit alpukat cipedak Ahmad Fahrizal mengajari teknik sambung pucuk untuk memperbanyak bibit di kebun yang berlokasi di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021).
Apalagi, jalan terjal jadi menu pembuka bagi Rizal berwirausaha di bidang bercocok tanam kurun 2012-2013. Ia mengawali dengan menanam sayur-sayuran seperti kangkung dan sawi. Namun, ia tidak mampu memasarkan dan penjualannya rendah, sehingga sayur hasil keringatnya terpaksa dijadikan kompos. ”Ternyata, usaha saya saat itu baru tahap hobi, bukan bisnis,” ucapnya.
Sudah melepas peluang jadi ASN, tidak ada penghasilan pula. Rizal kemudian beralih mengajar ekstrakurikuler di sekolah-sekolah, termasuk mengajar Pramuka. Didi Muhadi, ayah Rizal, prihatin sehingga menantangnya. Jika dia masih punya hati untuk pertanian, Didi akan berhenti dari pekerjaannya sebagai pegawai usaha mebel dan membantu Rizal bertanam.
Sebuah pertaruhan besar mengingat gaji Didi saat itu di atas Rp 8 juta. Namun, niat ayahnya malah membuat Rizal makin enggan menyerah dengan pertanian. Keluarganya dengan demikian bakal bergantung sepenuhnya dari apa yang mereka tanam. Rizal kini membuktikan pengorbanan ayahnya tidak sia-sia.
Baca juga: Pertanian di Ibu Kota, Alternatif Solusi Mengatasi Kemiskinan
Berbagi ilmu
Keberhasilan Rizal bertani di Jakarta tidak hanya membuat pelanggannya bertambah, tetapi juga makin banyak yang penasaran dengan kunci suksesnya. Ia pun sering jadi pembicara dalam diskusi atau pelatihan yang dihelat pemerintah dan pemerintah daerah, institusi pendidikan, serta komunitas. Dalam sebulan, rata-rata dua-tiga kali ia menyampaikan materi.

Mahasiswa magang dari IPB University Bogor belajar memperbanyak bibit avokad cipedak dengan teknik sambung pucuk di kebun yang berlokasi di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021).
Mahasiswa yang praktik kerja lapangan (PKL) pun bukan hanya dari IPB University. Rizal menghitung, sejak wabah korona mulai menghantam, mahasiswa dari 13 universitas magang di kebun kecilnya. Ia membatasi paling banyak lima mahasiswa dalam satu waktu yang bisa PKL di sana karena keterbatasan tempat.
Rizal juga kerap mengadakan pelatihan sambung pucuk untuk memperbanyak bibit avokad di kebunnya. Peserta kebanyakan dari Jabodetabek, tetapi pernah ada juga yang dari Riau. Selain itu, ia juga membagikan beragam ilmu perbanyakan bibit avokad lewat kanal Youtube Insinyurtani TV.
Rizal tidak takut keterbukaannya itu meramaikan persaingan dalam bisnis bibit avokad. Sebab, peluang laten dari bisnis avokad masih besar dan terbengkalai, menanti dibangkitkan. Ia mencontohkan, saat ini, satu orang Indonesia rata-rata mengonsumsi avokad baru empat buah per tahun.
Kesenjangan itu menjadi kesempatan untuk terus memopulerkan avokad cipedak, memberi panggung yang patut diperhitungkan di jagat pertanian kepada Jakarta. Tanpa perlu jadi pegawai negeri, Rizal mempersembahkan baktinya bagi Ibu Kota dengan berkutat di kebun.
Baca juga: Pandemi Covid-19, Petani Bibit Avokad Malah Kebanjiran Pesanan
Ahmad Fahrizal
Lahir : Jakarta 5 November 1988
Pendidikan :
- Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) Negeri Provinsi DKI Jakarta (sekarang SMK Negeri 63 Jakarta) tahun 2003-2006
- S-1 Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Islam “45” Bekasi (2007 2011)
Penghargaan :
- Peserta Termuda Pekan Nasional (Penas) Petani Nelayan 2017 di Aceh
- Juara 4 Lomba Temu Karya Penas 2017 Aceh
- Kandidat Duta Petani Milenial dan Duta Petani Andalan 2021 Kementerian Pertanian
keluarga
Anak kesatu dari dua bersaudara
Ayah: Didi Muhadi (53)
Ibu: Djubaedah (53)