Para korban dijerat para pelaku lewat perkenalan di media sosial. KPAI menyebut panjangnya durasi penggunaan gawai pintar oleh anak berpeluang menjebak mereka masuk ke eksploitasi, termasuk eksploitasi seksual.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Personel Kepolisian Daerah Metro Jaya sepanjang Januari-Februari membongkar 10 kasus bisnis prostitusi yang memanfaatkan aplikasi daring untuk menawarkan pekerja seks. Dari seluruh kasus, polisi mengungkap ada 91 anak menjadi korban eksploitasi seksual.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menyebutkan, jumlah tersebut berasal dari total 286 korban eksploitasi karena 195 orang lainnya berusia dewasa. ”Pelaku-pelaku mencari keuntungan pribadi, tetapi yang dikorbankan anak-anak di bawah umur, generasi muda untuk masa depan kita,” tuturnya dalam konferensi pers, Kamis (25/2/2021), di Jakarta.
Konferensi pers turut dihadiri Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar, Kepala Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani Kementerian Sosial Hasrifah Musa, dan Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta Wiwik Andayani.
Pelaku-pelaku mencari keuntungan pribadi, tetapi yang dikorbankan anak-anak di bawah umur, generasi muda untuk masa depan kita. (Yusri Yunus)
Yusri mengatakan, polisi menghimpun total 15 tersangka penggerak bisnis kotor tersebut. Mereka tergolong germo alias mucikari. Dari hasil pemeriksaan, semua mengaku menjalankannya karena kebutuhan ekonomi.
Pengungkapan oleh petugas Subdirektorat V/Remaja, Anak, dan Wanita Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya tersebut berawal dari adanya laporan dugaan eksploitasi seksual memanfaatkan aplikasi MiChat. Polisi pun menindaklanjuti dengan penggerebekan di sejumlah hotel di Jakarta Barat dan Selatan pada 7 Januari-23 Februari.
Modus umumnya, pelaku dan korban berkenalan melalui beragam media sosial lalu membuat janji bertemu di suatu tempat. Pelaku lantas mengajak korban berpacaran dan membujuk untuk menginap di hotel selama beberapa hari. Selama itu, pelaku meminta korban berhubungan seksual.
Setelah melecehkan korban mereka, para pelaku lantas mengeksploitasi korban untuk ditawarkan ke para pria hidung belang. Pelaku membuat akun MiChat untuk menawarkan pacar mereka sebagai perempuan pesanan.
”Anak ditawarkan dengan bayaran Rp 300.000-Rp 500.000,” ucap Yusri. Para germo menerima bagian Rp 50.000-Rp 100.000 per tamu, sedangkan sisanya digunakan untuk membayar biaya sewa kamar hotel dan kebutuhan hidup sehari-hari bersama korban.
Setiap anak bisa melayani dua-tiga tamu per hari. Seusai ”bekerja”, mereka kerap diminta melayani nafsu germo sekaligus pacar mereka.
Yusri menambahkan, penyidik masih mendalami riwayat bisnis prostitusi lima belas pelaku. Polisi memeriksa laporan-laporan di tahun sebelumnya untuk mengetahui ada-tidaknya korban-korban lain. Dari 91 anak yang kini terdata sebagai korban, sebanyak 27 anak dititipkan di P2TP2A DKI dan enam anak di BRSAMPK Handayani.
Polisi menjerat para pelaku dengan Pasal 88 juncto Pasal 76I Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 296 dan atau Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman hukumannya paling lama 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 200 juta.
Livia menjamin LPSK siap mendampingi anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual. Lembaga ini memastikan hak-hak prosedural para saksi dan korban terpenuhi, termasuk pendampingan di setiap proses peradilan pidana sehingga mereka bisa memberikan keterangan dengan aman dan nyaman.
”Tanpa kesaksian saksi dan korban, tindak pidana tak akan terungkap,” katanya.
Nahar menuturkan, pengungkapan oleh Polda Metro Jaya ini melonjakkan jumlah anak yang jadi korban eksploitasi dan didata KPPPA. Sebelumnya pada tahun ini, kementerian tersebut mencatat 20 orang jadi korban. Data korban dari polda membuat jumlahnya meningkat lebih dari empat kali lipat.
Susanto berpendapat, panjangnya durasi penggunaan gawai pintar oleh anak berpeluang menjebak mereka masuk ke eksploitasi. Berdasarkan data Laporan Kinerja Tahun 2020 KPAI, pandemi Covid-19 meningkatkan tantangan untuk perlindungan anak di dunia siber karena pembatasan aktivitas fisik berkonsekuensi pada semakin besarnya porsi waktu yang dihabiskan berselancar di dunia maya.
Survei KPAI menyebutkan, 79 persen anak tidak diatur dalam menggunakan gawai. Ada 34,8 persen anak menggunakan gawai 2-5 jam per hari dan 25,4 persen bermain gawai lebih dari lima jam per hari di luar untuk belajar. Karena itu, literasi digital bagi anak merupakan kebutuhan mendesak.
Dampak pandemi
Eksploitasi seksual terhadap perempuan dan anak-anak, termasuk dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO). TPPO, khususnya pada perempuan dan anak, meningkat 62,5 persen pada 2020 dibandingkan pada 2019. Hal itu didorong meningkatnya kemiskinan dan pengangguran akibat pandemi Covid-19. Perlindungan terhadap perempuan dan anak perlu ditingkatkan selama pandemi.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Rafail Walangitan, seperti dikutip dari Kompas.id, Selasa (9/2/2021), menyampaikan, pada 2020, jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang pada perempuan dan anak 351 kasus. Kasus itu meningkat 62,5 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 216 kasus.