Pendekatan Berbasis Keagamaan untuk Penanganan Isu Lingkungan
Tantangan nomor satu ialah menyamakan persepsi keagamaan mengenai tanggung jawab terhadap lingkungan. Faktanya, tidak semua pemuka agama, termasuk ulama memasukkan isu lingkungan sebagai bagian dari praktik beragama.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Penanganan sampah di Ibu Kota bisa menggunakan pendekatan berbasis keagamaan dengan penekanan pada keselarasan manusia dengan sesama dan manusia dengan alam. Berbagai inisiatif telah dilakukan oleh organisasi-organisasi keagamaan untuk mengurangi jumlah sampah, salah satunya dengan mengganti produk-produk sekali pakai dengan alternatif yang ramah lingkungan.
Topik pemakaian pendekatan keagamaan ini dibahas dalam kuliah umum Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2K LIPI) dengan judul ”Pergerakan Akar Rumput untuk Memperbaiki Lingkungan Berbasis Pengetahuan Keislaman di Indonesia”, Kamis (24/2/2021). Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2020 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, penduduk perkotaan kini jumlahnya 56 persen dari total penduduk Indonesia. Kepala P2K LIPI Herry Yogaswara mengatakan, pada tahun 2035, jumlah penduduk perkotaan diperkirakan 65 persen dari keseluruhan warga Tanah Air.
Lebih lanjut, peneliti P2K LIPI, Rusli Cahyadi, memaparkan, perlu pendekatan yang humanis untuk menyelesaikan berbagai isu perkotaan. Nilai keagamaan adalah pintu masuk yang baik karena aspek-aspek di dalamnya diperlakukan secara sakral. Dengan demikian, ajarannya tidak sebatas petunjuk melainkan dasar-dasar kehidupan. ”Di dalam semua ajaran agama selalu ada nilai persaudaraan antarmanusia dan keharmonisan manusia dengan alam. Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam bisa meninjau kembali nilai-nilai tersebut,” ujarnya.
Di dalam semua ajaran agama selalu ada nilai persaudaraan antarmanusia dan keharmonisan manusia dengan alam. Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam bisa meninjau kembali nilai-nilai tersebut. (Rusli Cahyadi)
Ia menjelaskan, berbagai penelitian kota-kota yang masyarakatnya berbasis budaya Islam di Timur Tengah menunjukkan ciri khas hidup yang rapat. Artinya, rumah-rumah penduduk berdekatan, bahkan berdempetan. Hal ini karena masyarakat Muslim menjunjung konsep ”ummah” yang artinya hidup bersama dan mempraktikkan solidaritas sosial.
Di Indonesia, budaya Muslim bercampur dengan budaya Nusantara juga menghadirkan hunian penduduk yang berdekatan dan guyub. Permasalahannya, di kota-kota, angka penduduk yang kian tinggi mengakibatkan permukiman semakin memadat. Akibatnya, beberapa sarana penunjang kehidupan seperti jalanan yang teratur, saluran air bersih, saluran air limbah berstandar sanitasi, dan ruang terbuka hijau menjadi langka.
Antropolog Universitas Chiba, Jepang, Aoki Takenobu, yang meneliti kajian lingkungan Indonesia, mengungkapkan, tantangan nomor satu ialah menyamakan persepsi keagamaan mengenai tanggung jawab terhadap lingkungan. Ia selama dua dekade meneliti berbagai prakarsa penyelamatan lingkungan di pulau Jawa. Faktanya, tidak semua pemuka agama, termasuk ulama memasukkan isu lingkungan sebagai bagian dari praktik beragama.
”Masih ada dinamika di antara organisasi keagamaan dan tokohnya bahwa pendidikan agama sebatas praktik ibadah dan doa. Pemikiran ini pun masih dimiliki sebagian ulama yang tinggal di daerah dengan kerusakan ekosistem parah seperti daerah terkena erosi, banjir, dan sampah,” tuturnya.
Jakarta, lanjut dia, memiliki permasalahan serupa dengan Jepang, yaitu wilayah padat penduduk dengan lahan terbuka yang minim. Apabila ada lahan kosong, sebaiknya dipakai sebagai ruang terbuka hijau. Akibatnya, tempat pembuangan sampah semakin berkurang. Jika ada lahan hendak dijadikan tempat pembuangan sampah, warga akan memprotes dengan keras.
Sebagai gambaran, data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta 2020 menyebutkan, setiap hari Ibu Kota menghasilkan 7.700 ton sampah yang 34 persen adalah kantong plastik. Sampah-sampah ini dibawa ke Bantargebang sebagai tempat pembuangan akhir yang kini kapasitasnya telah melewati batas.
”Cara yang bisa ditempuh ialah rutin mengumumkan jumlah sampah yang diproduksi kota dan kapasitas tempat pembuangannya. Ini bisa memicu diskusi publik yang berkelanjutan dan diikuti oleh tindakan. Apabila tidak berupa kebijakan, bisa gerakan yang asli dari masyarakat akar rumput,” ujar Takenobu.
Produk alternatif
Salah satu organisasi keagamaan yang membuat prakarsa gerakan ramah lingkungan adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Bank Sampah Nasional Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (BSN LPBI). Mereka fokus kepada pembalut dan sabun lerak. Gerakan ini sudah dipraktikkan di 9 kabupaten/kota dan akan disebarluaskan ke 120 kabupaten/kota.
”Dari pemantauan di berbagai tempat pembuangan sampah kota, termasuk Jakarta, kami menemukan pembalut mungkin mencapai 30 persen dari sampah,” kata Direktur BSN LPBI PBNU Fitria Ariyani.
Mayoritas limbah pembalut tidak didaur ulang karena pemulung tidak mau menyentuhnya. Walhasil, sampah pembalut paling sering dibakar. Kandungan plastik di dalamnya mengakibatkan terlepasnya toksin dioksin ke udara. Ada pula beberapa tempat pembuangan sampah yang memilih mengubur limbah pembalut. Hal ini juga berbahaya karena pembalut lama terurai. Ketika digabung dikubur dengan popok bekas, senyawa organik di dalamnya berisiko mengundang berbagai bakteri yang mencemari tanah dan air.
Krisis ini kian terasa di masa pandemi Covid-19 ketika pondok-pondok pesantren menerapkan karantina wilayah. Para santri dihadapkan pada suasana yang tidak nyaman dan kotor setiap kali datang bulan akibat sistem pengolahan sampah reguler sebelum pandemi tidak berjalan.
”BSN LPBI memutuskan langkah pertama ialah mengganti semua pembalut dengan yang ramah lingkungan dan diproduksi sendiri oleh para santri. Bahan bakunya adalah katun bambu yang antibakteri. Pondok-pondok binaan BSN di 9 kabupaten/kota sudah membuat, memakai, dan menjual pembalut ini,” ujar Fitria.
Dari aspek mencuci, BSN juga mengembangkan sabun lerak (Sapindus rarak). Sabun ini sejatinya bukan penemuan baru karena telah lazim dipakai mencuci batik dan kain-kain berbahan halus lainnya. Pondok-pondok pesantren ini mengembangkan sabun lerak yang bisa dipakai untuk mencuci pakaian secara umum di mesin cuci, mengepel lantai, dan mencuci tangan. Limbahnya tidak mencemari lingkungan seperti sabun-sabun industri. Pohonnya juga dibudidayakan di sekitar pesantren.
”Inisiatif sengaja dilakukan di pesantren karena masyarakat sekitar bisa melihat jika berhasil di dalam pondok, tandanya bisa diadaptasi di lingkungan rukun warga atau kelurahan,” kata Fitria.