Beban Ganda Pekerja Saat Terjangkit Covid-19
Sebagian penderita Covid-19 masih tetap harus bekerja saat menjalani isolasi mandiri.
Beban sebagian pekerja tidak berkurang meski mereka terjangkit Covid-19 dan harus menjalani karantina. Sejumlah karyawan harus tetap bekerja dari ruang isolasi.
Nico Wibowo (23) meletakkan laptop di meja depan kamar, bersebelahan dengan tumpukan jeruk dan sekardus susu kotak. Semua itu adalah bekalnya selama menjalani isolasi mandiri. Pasien Covid-19 yang dikarantina di Menara 9 Wisma Atlet Pademangan, Jakarta Utara, itu berniat istirahat. Ia mencukupkan waktu kerjanya hingga pukul 18.00, Jumat (29/1/2021).
Dalam sehari, auditor di sebuah kantor akuntan publik di Jakarta itu membatasi diri untuk bekerja selama 5-6 jam saja. Infeksi virus korona baru membuat tubuhnya lemas, nyeri dan linu, batuk, serta kehilangan daya penciuman dan perasa hingga hari kedelapan isolasi atau hari kesepuluh setelah tes usap. Jumat itu, semestinya Nico sudah bisa pulang. Namun, gejala yang tak kunjung reda membuat masa karantinanya ditambah tiga hari.
Baca juga : Banjir Picu Kenaikan Tingkat Keterisian Wisma Atlet
Sejak hari keempat isolasi, Nico kembali bekerja seperti biasa. Kantor memintanya untuk memeriksa laporan keuangan klien dan menargetkannya selesai dalam tiga hari. Sebelumnya, ia bebas tugas meski tidak ada pernyataan resmi diliburkan. Ia tidak memungkiri, penugasan mendadak dan tenggat yang singkat membuatnya tertekan.
”Tugas itu tetap saya kerjakan walaupun tidak semangat. Soalnya gaji saya juga dipotong karena tidak masuk berhari-hari,” kata Nico menghela napas panjang.
Libur beberapa hari yang dimaksud terjadi sebelum Nico memasuki Wisma Atlet. Ia sakit sepulang mengaudit perusahaan klien di Surabaya, Jawa Timur.
Di Surabaya, ia diketahui terinfeksi Covid-19 setelah melakukan tes usap untuk syarat transportasi udara. Oleh karena itu, ia batal naik pesawat dan diantar pulang dengan mobil operasional klien. Sesampainya di Jakarta, ia beristirahat di kamar indekos sambil menunggu jadwal tes usap ulang, hasil, dan pemberangkatan ke Wisma Atlet dari Puskesmas Johar Baru, Jakarta Pusat.
Nico berharap, perusahaan lebih toleran terhadap karyawan yang tertular Covid-19. Selama ini, prosedur pencegahan dirasa masih kurang. Sementara bidang pekerjaannya mengharuskan sejumlah pertemuan langsung dengan klien. ”Untuk mendukung karyawan, semestinya ada fasilitas tambahan, misalnya menyediakan masker dan vitamin secara berkala,” ujarnya.
Selain pekerjaan, stigma lingkungan juga membayangi masa isolasi Nico. Selama ia masuk Wisma Atlet, sudah ada penghuni indekos di tempatnya yang pindah karena takut tertular virus korona baru. ”Saya juga khawatir tidak boleh kembali ke rumah kos,” ujar perantau asal Lampung itu.
Untuk mendukung karyawan, semestinya ada fasilitas tambahan, misalnya menyediakan masker dan vitamin secara berkala.
Pemilik indekos berkali-kali menanyakan apakah Nico sudah menjalani tes usap evaluasi. Meski tidak diungkapkan secara langsung, hasil tes usap negatif menjadi syarat untuk kembali ke rumah kos.
Persyaratan itu membuatnya bingung sebab pihak Wisma Atlet tidak memberikan layanan tes usap evaluasi karena setelah 10 hari menjalani masa isolasi, ia tidak lagi bergejala. Virus di tubuh pasien dinilai sudah tidak bisa menular ke orang lain setelah lewat masa itu. Banyak pula penyintas yang masih positif korona dalam waktu lama, meski menurut penjelasan dokter, virus itu sudah tidak infeksius.
Tidak ada pilihan
Bagi Alvita Fabiola (22), tidak ada pilihan ketika atasannya memberi tugas mendadak. Pasien isolasi mandiri di Menara 9 Wisma Atlet Pademangan itu bahkan harus menumpang ke kamar pasien lain untuk bekerja karena di kamarnya internet nirkabel tidak berfungsi.
”Habis, mau gimana lagi, mau tidak mau saya harus tetap bekerja. Saya khawatir kehilangan pekerjaan karena masih masa percobaan,” kata akuntan di salah satu perusahaan di Jakarta itu.
Kekhawatiran kehilangan pekerjaan sebenarnya sudah muncul sebelum masuk karantina. Sekitar dua minggu Alvita menunda-nunda jadwal tes usap, padahal ia sudah merasakan sejumlah gejala umum Covid-19. Demam, batuk, pilek, serta kehilangan daya penciuman dan perasa telah dialaminya selama berhari-hari. Selama itu, ia tetap bekerja dan bepergian menggunakan alat transportasi publik. Tes usap baru dilakukan setelah ibunya terinfeksi korona, lalu diisolasi di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSD) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat.
Serupa dengan Nico, Alvita yang menjalani masa isolasi sambil bekerja pun kondisinya menurun jelang hari pemulangan. Durasi perawatan ditambah hingga radang tenggorokannya sembuh. Hal itu tidak saja membuatnya lebih lama terpisah dari keluarga. Perempuan yang lulus perguruan tinggi empat bulan lalu itu juga harus mengikuti wisuda daring dari ruang isolasi.
Tidak adanya pilihan untuk rehat dari pekerjaan selama menjalani isolasi mandiri juga dialami Martin Tirta (39), warga Bali yang diisolasi di Wisma Atlet Pademangan karena positif Covid-19 sepulang dari Turki. Ia baru saja direkrut perusahaan Amerika Serikat sebagai moderator konten media sosial, dua hari sebelum masuk Wisma Atlet.
Pekerjaan itu merupakan satu-satunya sumber pemasukan setelah sembilan bulan usaha pariwisatanya di Bali vakum karena tidak ada wisatawan yang berkunjung. ”Kan, enggak lucu kalau saya kehilangan pekerjaan karena isolasi,” ujarnya.
Tidak ada aturan
Beban ganda yang dialami pekerja saat terinfeksi Covid-19 tidak hanya dialami Nico, Alvita, dan Martin. Merujuk pada data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, hingga Kamis (25/2/2021), total kasus terkonfirmasi positif sudah mencapai 1,31 juta orang.
Sebanyak 157.705 kasus di antaranya masih aktif, penderitanya masih dirawat atau diisolasi. Dari total kasus aktif, 76,9 persen dialami oleh pasien berusia 19-59 tahun. Sebagian dari mereka adalah pekerja baik di sektor formal maupun informal.
Baca juga : Pasien Bergejala Terus Bertambah, OTG Diminta Isolasi di Rumah
Ketua Satuan Tugas Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk Covid-19 Zubairi Djoerban, dihubungi dari Jakarta, Minggu (14/2/2021), mengatakan, pasien tanpa gejala harus diisolasi dan dirontgen untuk mengetahui dampak virus ke dalam tubuh. Mereka diperbolehkan beraktivitas normal dari ruang isolasi jika hasil rontgen menunjukkan tidak ada radang paru-paru (pneumonia). Namun, jika ditemukan pneumonia, pasien harus dirawat karena berpotensi berubah menjadi gejala berat.
Begitu juga pasien bergejala sedang. Termasuk di antaranya demam, batuk, badan nyeri dan linu, sakit tenggorokan, serta kehilangan daya penciuman dan perasa. ”Pasien yang bergejala sedang, kemudian bisa serius. Itu tidak boleh bekerja,” kata Zubairi.
Menurut dia, diperlukan komunikasi yang jelas antara karyawan dan perusahaan. Pekerjaan bisa dilakukan secara normal jika ada konsensus dan kondisi kesehatan karyawan sudah dipastikan tanpa gejala. Sebab, aktivitas normal kadang diperlukan oleh pasien tak bergejala untuk menghindari stres. Sebaliknya, ada juga pasien yang perlu istirahat dari pekerjaan agar kondisinya tidak memburuk.
Direktur Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives Olivia Herlinda menilai, semestinya pasien mendapatkan izin libur dari perusahaan atau organisasi tempat mereka bekerja. Izin serupa berlaku untuk kontak erat yang diminta isolasi mandiri, tetapi tidak dites usap karena tidak bergejala.
Namun, hal ini masih sulit diwujudkan karena belum ada ada peraturan yang spesifik membahas hak pekerja saat menderita Covid-19. ”Ini yang menjadi tantangan karena kebijakannya dikembalikan ke perusahaan masing-masing dan tidak ada regulasi atau sanksi tegas yang mengatur soal ini,” ucap Olivia, dihubungi dari Jakarta, Jumat (12/2/2021).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani, Minggu (14/2/2021), mengatakan, karyawan yang terinfeksi Covid-19 otomatis mendapatkan izin sakit. Mereka tidak perlu bekerja karena manajemen perusahaan akan mendelegasikan tugasnya kepada karyawan lain. Sejauh ini, ia belum menerima laporan perusahaan yang tetap mempekerjakan karyawan yang tengah menderita korona.