Kala Keadilan Restoratif Menyelamatkan Pencuri Ponsel
Keadilan restoratif membuat seorang ibu rumah tangga dengan impitan ekonomi terbebas dari hukuman pidana. Contoh baru transisi operasional yang digaungkan Kapolri dan jajarannya.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
SH (48) menangis tersedu-sedu kala dihadirkan sebagai tersangka kasus pencurian ponsel di Markas Polresta Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (24/2/2021). Tangisan SH bukan karena bersedih harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mantan asisten rumah tangga itu merasa terharu karena masih diberi kesempatan memperbaiki diri tanpa merasakan dinginnya jeruji besi.
Pada saat itu juga, tercapai kesepakatan damai antara SH dan Akbar PB (24), pemilik ponsel yang dicuri di area kedatangan domestik Bandara Soekarno-Hatta. Keadilan restoratif (restorative justice) menyelamatkan SH dari bayang-bayang hukuman pidana.
Kasus bermula ketika Akbar baru kembali di Jakarta dari Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (17/2/2021). Saat itu, Akbar tengah menanti taksi untuk pulang ke rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Setelah taksi pesanan tiba dan mengantar Akbar, di tengah perjalanan pulang ia menyadari ponselnya tertinggal di bandara.
Korban meminta ke penyidik agar keberlanjutan kasus tersebut dikesampingkan. Korban mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Terlebih ponselnya sudah didapatkan kembali. (Adi Ferdian Saputra)
Seketika Akbar menelepon kerabatnya yang masih berada di bandara untuk mencari ponselnya tersebut. Namun, ponsel Akbar tetap tidak ditemukan. Akbar pun melaporkan hal itu ke polisi.
Laporan Akbar ditindaklanjuti penyidik Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Bandara Soekarno-Hatta pada saat itu juga, 17 Februari 2021. Setelah melalui serangkaian proses penyelidikan selama lima hari, polisi akhirnya menemukan ponsel Akbar berada di tangan MP yang merupakan putra dari SH yang saat itu tengah berada di Cakung, Jakarta Utara, pada 22 Februari 2021. Polisi mengendus keberadaan pelaku setelah memeriksa keterangan dari sejumlah saksi, termasuk korban.
Kedua tersangka lalu ditangkap dan dibawa ke Markas Polresta Bandara Soekarno-Hatta guna menjalani pemeriksaan pada 22 Februari 2021.
Seusai menangkap SH dan MP, penyidik Polresta Bandara Soekarno-Hatta kemudian menghubungi Akbar. Polisi berniat mempertemukan pelaku dan korban. Kepala Polresta Bandara Soekarno-Hatta Komisaris Besar Adi Ferdian Saputra menyampaikan, polisi memperlihatkan proses penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut kepada Akbar.
Dalam kesempatan itu, polisi juga memberi tahu Akbar bahwa SH mengidap penyakit kelenjar getah bening dan berencana menjalani operasi dalam waktu dekat. SH kehilangan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, akibat pandemi Covid-19. Ia juga berstatus orangtua tunggal bagi anaknya.
”Dengan pertimbangan tersebut, korban meminta kepada penyidik agar keberlanjutan kasus tersebut dikesampingkan. Korban mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Terlebih ponselnya sudah didapatkan kembali,” kata Adi.
Polisi pada akhirnya dapat memahami keinginan Akbar. Selain itu, menurut Adi, keinginan itu juga sejalan dengan program prioritas Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo yang menginginkan keadilan restorasif dapat dikedepankan dalam proses penegakan hukum.
Dalam paparan visi pada saat uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Listyo menekankan komitmennya mentransformasi kepolisian menjadi Polri Presisi, yaitu prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. Listyo menginginkan wajah Polri berubah menjadi lebih humanis, melayani, akuntabel, dan mengedepankan keadilan restoratif.
Kepala Satreskrim Bandara Bandara Soekarno-Hatta Komisaris Alexander Yurikho menjelaskan, keadilan restoratif secara garis besar memungkinkan terciptanya keadilan hukum. Konsep keadilan hukum, kata dia, berbeda dengan kepastian hukum. Bila keadilan hukum bertujuan tercapainya rasa keadilan antara pelaku dan korban, kepastian hukum memastikan proses hukum tetap akan ditegakkan bagaimana pun kondisinya.
”Buat apa ke pengadilan kalau pelapor merasa rasa keadilannya sudah terpenuhi. Tersangka tetap kami tangkap dan proses. Bentuk pertanggungjawaban perbuatannya sudah dilaksanakan. Tapi apakah memang harus berakhir di penjara?” kata Yurikho.
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji berpendapat, keadilan restoratif dalam jangka panjang akan memperbaiki sistem peradilan di Tanah Air. Sejumlah dampak ikutannya adalah dapat memperkecil risiko lembaga pemasyarakatan kelebihan penghuni. Namun, kebijakan keadilan restoratif perlu melibatkan persetujuan dan pengawasan dari aparat penegak hukum, korban, masyarakat, dan pelaku itu sendiri.
Adapun pakar pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, mengatakan, pada praktiknya keadilan restoratif tidak dapat diterapkan pada kasus-kasus yang menyangkut kepentingan publik. Menurut dia, keadilan restoratif hanya berlaku untuk kasus yang melibatkan individu per individu. Namun, kalau menyangkut individu dengan publik, keadilan restoratif ini tidak dapat diterapkan.
Merasa iba
Dalam kesempatan yang sama, Akbar menjelaskan, keputusannya untuk tak melanjutkan kasus pencurian ponsel itu lantaran merasa iba melihat kenyataan bahwa SH didera banyak permasalahan. ”Ibunya kasihan sekali. Cuma dia tulang punggung keluarganya. Saya bilang ke penyidik untuk tak dilanjut. Cukup di sini saja,” kata Akbar yang juga merupakan pesohor di media sosial.
Selain memaafkan SH, Akbar juga memberikan bantuan uang tunai kepadanya untuk membantu kebutuhan hidup SH. Setelah menerima uang pemberian Akbar, SH kian tak dapat membendung lagi air matanya yang mengucur deras membasahi pipi.
”Saya ingin meminta maaf kepada Pak Akbar. Terima kasih telah memaafkan saya. Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi,” kata SH sembari berlutut dan menangis.
Janji SH untuk tak mengulangi lagi perbuatannya boleh jadi tulus dan benar adanya. Pada saat itu juga tujuan keadilan restoratif mendapatkan jalannya.