Banjir Bekasi Akumulasi dari Pembiaran Selama Bertahun-tahun
Warga Kabupaten Bekasi tengah berduka akibat banjir berskala besar di Februari 2021. Keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan musibah itu agar tak kembali terulang kini dinanti.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
Bencana dengan skala cukup luas yang melanda Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, merupakan dampak ganda akibat banjir kiriman, tanggul jebol, sedimentasi, alih fungsi lahan, hingga hilangnya ruang resapan air. Banjir kemarin merupakan akumulasi dari pembiaran selama bertahun-tahun.
Dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi, ada tiga faktor utama penyebab banjir di Kabupaten Bekasi. Faktor tersebut, antara lain meluapnya sejumlah sungai besar, curah hujan dengan intensitas tinggi, hingga penyempitan saluran air.
Sejak banjir melanda Kabupaten Bekasi pada 20 Februari, dari data BPBD Kabupaten Bekasi pada 23 Februari 2021, masih ada 8.124 keluarga yang terdampak banjir. Sampai saat ini, belum ada data dari Pemerintah Kabupaten Bekasi terkait kerugian yang timbul akibat bencana itu.
Namun, warga di Kampung Babakan Banten, Desa Sumber Urip, Kecamatan Pebayuran, yang rumahnya hilang disapu banjir akibat jebolnya tanggul Citarum merupakan contoh konkret dampak bencana yang nilai kerugiannya tak ternilai. Salah satunya, Samud (40), warga yang rumahnya hilang disapu banjir.
Tanggul yang jebol itu seharusnya bisa dicegah. Tanggul itu sudah rapuh sejak 2010. Selama ini, upaya memperkuat Tanggul Citarum dilakukan warga secara mandiri hanya dengan karung-karung pasir atau tanah.
Lelaki tiga anak itu tampak kebingungan saat dihampiri salah satu petugas dari Pemerintah Kabupaten Bekasi, pada Selasa (23/2/2021) sore. Dia diminta menunjukkan kartu keluarga dan kartu tanda penduduk untuk didata agar dibantu pemerintah membangun kembali rumahnya yang hilang tersapu banjir.
”Kalau tanya KTP, saya tidak punya Pak. Saat ini, yang tersisa hanya baju di badan. Semua barang saya hilang dibawa banjir,” kata Samud.
Samud merupakan satu dari sekitar 15 keluarga di Kampung Babakan Banten yang rumahnya hilang akibat jebolnya tanggul Citarum. Kerugian itu belum termasuk lahan persawahan warga Desa Sumber Urip seluas 280 hektar yang juga rusak terendam banjir.
Padahal, tanggul yang jebol itu seharusnya bisa dicegah. Berdasarkan pengakuan warga, tanggul itu sudah rapuh sejak 2010. Selama ini, upaya memperkuat Tanggul Citarum dilakukan warga secara mandiri dengan karung-karung pasir atau tanah.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, pada Selasa (23/2/2021), saat mengunjungi warga terdampak bencana di Kampung Babakan Banten, memastikan tanggul yang jebol di tiga titik wilayah Kabupaten Bekasi sudah mulai diperbaiki. Pemerintah juga akan membantu membangun kembali rumah warga yang rusak dan hilang melalui program bantuan rumah tidak layak huni.
Untuk pengendalian banjir, berbagai infrastruktur seperti membelokkan arah aliran Sungai Citarum, pembangunan Bendungan Sadawarna di Subang, hingga Normalisasi Kali Bekasi akan terus dikebut penyelesaiannya. Berbagai proyek itu jika rampung, diyakini bakal mengurangi potensi banjir di Subang, Karawang, dan Bekasi.
Dampak pembiaran
Meski perhatian pemerintah dari level provinsi hingga pemerintah pusat kini tertuju ke Kabupaten Bekasi pasca-bencana banjir, sebagian masyarakat dan pegiat lingkungan di Kabupaten Bekasi pesimistis. Banjir di Kabupaten Bekasi tidak akan selesai hanya dengan pembangunan tanggul dan normalisasi tanpa upaya merawat, menjaga daerah aliran sungai dan memulihkan kembali kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan.
Menurut pendiri Komunitas Save Kali Cikarang, Dedi Kurniawan, bencana yang melanda Kabupaten Bekasi dinilai sebagai akibat dari pembiaran yang terakumulasi sejak lama. Salah satu contohnya, yakni okupansi daerah aliran sungai oleh warga atau perusahaan. Sempadan sungai seharusnya dijadikan sebagai ruang terbuka hijau atau daerah resapan air.
”Tidak ada kebijakan Pemerintah Kabupaten Bekasi terkait pembersihan sungai. Jadi, di Kabupaten Bekasi itu semua sungainya dipenuhi sedimentasi dan tersumbat sampah,” kata Dedi, Rabu (24/2/2021), di Bekasi.
Upaya nyata menjaga daerah aliran sungai sebenarnya berdampak signifikan dalam mengurangi potensi banjir. Di Kali Cikarang, sejak Komunitas Save Kali Cikarang rutin membersihkan sampah kali dari awal 2020 serta mengembalikan fungsi sempadan sungai, luapan banjir yang bersumber dari Kali Cikarang berkurang.
”Banjir kemarin akibat di perumahan warga sekitar Kali Cikarang ketinggiannya hanya di atas lutut. Tadinya, sebelum kami bersihkan, luapan banjirnya bisa sampai di atas pusar. Ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi ada tangan-tangan yang mau berjuang,” kata Dedi.
Menurut tokoh masyarakat Desa Sukatenang, Kecamatan Sukawangi, Komarudin Ibnu Mikam, banjir di wilayah Kabupaten Bekasi sudah terjadi setiap tahun dengan kondisi yang cenderung sama tanpa ada solusi permanen. Banjir besar itu salah satu pemicunya akibat alih fungsi lahan, misalnya perubahan lahan persawahan menjadi area industri atau kawasan perumahan.
”Sawah itu punya fungsi ekologis sebagai penyerap air dan juga cadangan air,” kata Komarudin.
Pemerintah daerah diharapkan mengurangi dan menghentikan izin perubahan tata ruang untuk pembangunan kawasan industri baru atau daerah perumahan baru. Selain itu, pengendalian banjir di Kabupaten Bekasi juga tak cukup hanya dengan normalisasi sungai.
”Sungai Citarum itu dilakukan normalisasi, tetapi pohon-pohon di pinggir sungai juga dibabat habis. Padahal, akar pohon itu punya cengkeraman yang sangat kuat untuk meredam gesekan air. Akar pohon merupakan turap yang paling kuat secara alamiah,” katanya.
Sungai Citarum itu dilakukan normalisasi, tetapi pohon-pohon di pinggir sungai juga dibabat habis. Padahal, akar pohon itu punya cengkeraman yang sangat kuat untuk meredam gesekan air.
Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas Sumber Daya Air Bina Marga dan Bina Kontruksi Kabupaten Bekasi, Sukmawati, saat dihubungi terpisah, mengatakan, banjir yang terjadi di Bekasi tak semata-mata akibat curah hujan tinggi di wilayah Kabupaten Bekasi. Banjir itu akibat luapan sungai-sungai besar seperti Citarum, Cibeet, Kali Ulu, Kali Cipamingkis, Kali Ciherang, dan Cilemahabang. Sungai-sungai itu kewenangan pengelolaannya ada di Balai Besar Wilayah Sungai Citarum dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane.
”Posisi kami di bagian hilir. Jadi, otomatis banjir dari hulu mengirimnya ke Kabupaten Bekasi,” katanya.
Sejauh ini, tanggul Sungai Citarum yang jebol sudah mulai diperbaiki. Proses perbaikan dilakukan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Citarum di tiga titik tanggul yang jebol, yakni di Kampung Babakan Banten (Pebayuran) dan di Desa Pantai Bahagia serta Desa Muara Bakti (Muaragembong).
Terkait penyelesaian banjir di luar Citarum, Sukmawati mengakui, penanganannya sulit jika dilakukan secara parsial. Daerah aliran sungai tidak bisa dipisahkan oleh batas geografis atau batas kewilayahan. Oleh karena itu, pengendalian banjir di Bekasi butuh penanganan kompeherensif dari hulu hingga ke hilir.
Pemerintah Kabupaten Bekasi setiap tahun rutin menormalisasi sungai-sungai kecil, meperbaiki saluran air, dan membangun tanggul penahan sungai wilayah di Kabupaten Bekasi. Namun, selama ini penanganan banjir lokal tak efektif karena banyak bangunan liar di bantaran sungai.
”Jadi, sulit juga karena kalau banjir, mereka (warga) berada di tempat air bermain. Jadi, pada saat bantaran sungai diisi bangunan liar, otomatis mereka terdampak banjir,” katanya.