Menunggangi Covid-19 di Ibu Kota dengan Avokad dan Anggur
Meski lahan bertanam di Ibu Kota makin sempit, Pemerintah Provinsi DKI tak henti mengajak warga menjadi petani. Sebanyak 17.825 orang menggiatkan pertanian perkotaan di Jakarta sepanjang 2020.

Petani mengecek bibit avokad cipedak di kebun yang berlokasi di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021).
Belantara beton di Ibu Kota kian meraksasa menciutkan lahan untuk bercocok tanam. Namun, petani bibit avokad Ahmad Fahrizal (33) dan petani bibit anggur Yatno (40) membuktikan sejahtera dengan bertani di Jakarta bukanlah sebuah kemustahilan. Mereka malah menunggangi krisis wabah akibat virus korona baru untuk menjemput lebih banyak rupiah.
Meski nama dan hasilnya sudah punya takhta di tingkat nasional, kebun bibit avokad Fahrizal atau Rizal seperti bersembunyi dari keriuhan. Lokasinya di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, tergolong tidak strategis untuk memikat konsumen karena tidak tepat di sisi jalan raya.
Dari Jalan Moch Kahfi II yang ramai dilintasi pengendara, masuk ke Gang Batu Ampel yang cuma cukup dilintasi satu mobil karena impitan deretan rumah. Setelah mencapai ujung gang, yang terlihat hanyalah kepungan rumah warga. Namun, ada akses sesempit satu meter menuju lahan yang dihijaukan tanaman-tanaman dalam kantong plastik (polybag).
Itulah tanaman-tanaman bibit avokad yang menjadikan Rizal sejahtera dari bertani di Ibu Kota. Varietasnya bernama avokad cipedak.

Petani bibit avokad cipedak, Ahmad Fahrizal, mengajari cara memperlakukan tunas untuk memperbanyak bibit dengan teknik sambung pucuk, di kebun yang berlokasi di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021).
”Kalau orang lain lockdown, saya lockbon,” gurau Rizal saat ditemui pada Selasa (16/2/2021) di kebunnya. Lokbon, ”lockdown di kebon”, merujuk pada kegiatan calon Duta Petani Milenial 2021 Kementerian Pertanian ini yang sehari-hari ”terjebak” di kebun. Bukan karena karantina, melainkan karena sibuk memenuhi permintaan bibit avokad cipedak.
Pandemi Covid-19 malah meluaskan peluang bagi Rizal dan kebunnya. Amat banyak yang diwajibkan bekerja dari rumah saja dan jenuh karena lama tidak melihat dunia luar. Bercocok tanam bagi mereka menjadi pelarian dari rasa bosan, baik bagi yang sudah lama menggemarinya maupun yang menjadikannya hobi baru.
Pandemi Covid-19 malah meluaskan peluang bagi Rizal dan kebunnya. Bercocok tanam bagi mereka menjadi pelarian dari rasa bosan, baik bagi yang sudah lama menggemarinya maupun yang menjadikannya hobi baru.
Sejak Covid-19 diketahui masuk ke Indonesia pada Maret 2020 hingga Desember lalu, Rizal melepas 15.000 bibit ke sejumlah daerah di Indonesia. Padahal, sepanjang 2019, ia hanya mampu menjual sekitar 6.000 bibit avokad cipedak. Beberapa kali ia kewalahan sehingga bekerja sama dengan petani lain yang tergabung dalam kelompok tani ”Sejahtera Makmur” agar membantu menyuplai bibit sesuai spesifikasi yang dibutuhkan sewaktu-waktu ia kekurangan.
Terdapat pelanggan yang memesan hingga ribuan bibit per pemesanan. Rizal mencontohkan, seorang konsumen di Padang, Sumatera Barat, membeli 1.000 bibit, di Karawang (Jawa Barat) 3.000 bibit, dan di Jambi 1.000 bibit. ”Tanggal 31 Desember ditutup dengan pengiriman 2.500 bibit ke Singkawang (Kalimantan Barat),” kata pengenyam pendidikan pertanian sejak sekolah menengah hingga kuliah itu.

Mahasiswa magang dari IPB University Bogor belajar memperbanyak bibit avokad cipedak dengan teknik sambung pucuk di kebun yang berlokasi di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021).
Avokad cipedak merupakan varietas avokad (Persea americana) asli ranah Betawi. Kata Cipedak merujuk pada Kampung Cipedak di Kecamatan Jagakarsa, asal mula avokad tersebut. Tangan dingin almarhum Nisan Badar alias Pak Nicang melahirkan varietas itu lewat teknik sambung pucuk di dekade 1990-an.
Seiring berjalannya waktu, tanaman yang baru pada 2015 resmi bernama avokad cipedak itu makin tersohor karena mutu buahnya. Saat sudah masak, kulit buahnya mudah dikupas layaknya mengupas pisang. Dagingnya berwarna kuning mentega, pulen, agak gurih, tidak pahit, dan tidak berserat. Tak perlu ditambah gula dan krim kental manis seperti dalam menu jus avokad. ”Polosan” pun sudah nikmat. ”Avokad cipedak juga tidak ada ulatnya,” ujar Rizal.
Baca juga: Geliat Pertanian Perkotaan
Ini membuat buah avokad cipedak tergolong kelas premium sehingga sulit ditemukan di pasar atau pedagang buah biasa. Harganya bisa mencapai Rp 50.000-Rp 70.000 per kilogram. Avokad di kios buah umumnya dibanderol Rp 20.000-Rp 35.000 per kg, dengan rasa yang belum tentu sama antara satu buah dan yang lain.
Selain itu, pohon avokad cipedak tangguh hidup di segala kondisi lahan. Rizal mengatakan, dari Ciwidey di Bandung yang berlokasi di ketinggian 1.400-an meter dari permukaan laut (mdpl) sampai di Pantai Anyer di Banten yang ada di ketinggian kurang dari 10 mdpl, semua bisa menjadi tempat hidup pohon avokad cipedak untuk berbuah.

Petani mengecek bibit avokad cipedak di kebun yang berlokasi di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021).
Petani yang memproduksi bibit di Jakarta punya kelebihan dibandingkan daerah lain. Sebab, pohon-pohon avokad cipedak berusia 20 tahun ke atas hidup di sini. Dibandingkan pohon yang berusia lebih muda, kualitas buah sudah konsisten sehingga pohon ”senior” sangat cocok dijadikan sumber benih unggul. Jadilah Rizal salah satu petani benih avokad yang paling dicari di Indonesia.
Rizal enggan menyebut omzet yang dihasilkannya sekarang, tetapi sebagai gambaran, ia mampu membeli lahan seluas 5.000 meter persegi di Rumpin, Kabupaten Bogor, dari hasil berkarya di lahan sewa yang hanya 1.000 meter persegi di Jakarta. Pembibitan avokad cipedak juga menghidupi empat orang yang sehari-hari membantu Rizal, termasuk ayah dan adiknya.
Baca juga: Pertanian di Ibu Kota, Alternatif Solusi Mengatasi Kemiskinan
Di Jakarta Timur, Yatno yang seorang anggota penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) turut mengambil kesempatan untuk sejahtera dari bertani. Ia memilih bibit anggur sebagai sumber pundi-pundinya, memperbanyaknya di kebun bernama Kebun Imut Sinakal (Sigap, Niat, dan Berakal) di Jalan Malaka 2, Kelurahan Malaka Sari, Kecamatan Duren Sawit.
Kebun bibit anggur Yatno tidak kalah tersembunyi. Bahkan, yang sudah piawai mengoperasikan aplikasi peta di ponsel pintar pun dijamin pusing jika belum pernah ke sana. Peta cenderung mengarahkan lewat gang-gang yang sedang ditutup akibat pandemi Covid-19.

Petani anggur yang tergabung dalam Komunitas Anggur Kebun Imut Sinakal merawat tanaman di perkebunan yang menempati lahan perkampungan di kawasan Malakasari, Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (18/2/2021).
Setelah turut mengandalkan insting, menyusuri kompleks perumahan di Jalan Malaka 2 hingga ke ujung, barulah Kebun Imut Sinakal ditemukan. Yatno berbagi tempat dengan para ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang juga mengelola kebun, di lahan seluas hanya 600 meter persegi. Sungguh tak masuk akal kebun yang lokasinya seakan tak kasatmata ini moncer hingga ke berbagai daerah.
Kamis (19/2/2021) pagi di kebun yang bersebelahan dengan Masjid Fadhillatul Huda itu, dompol-dompol buah anggur terpencar di berbagai titik, menggantung pada rangka baja ringan yang disebut para-para. Jika sedang musim kemarau, buah dari berbagai varietas tersebut dijamin manis walaupun ditanam di Ibu Kota. Namun, jangan salah, primadona di kebun itu bukanlah buah anggur nan memanjakan lidah.
”Ada yang datang tanya, berapa harga sekilonya (buah per kg). Saya bilang, sudah ambil saja,” ucap Yatno seakan buah anggur yang dihasilkan di kebunnya tidak berarti. Namun, itu sebenarnya strategi pemasarannya agar mereka yang datang tertarik membeli produk utamanya: bibit pohon anggur.
Baca juga: Tetap Patuhi Protokol Kesehatan, PSBB DKI sampai 8 Maret
Melihat buah anggur bergantungan dan boleh mencicipi manisnya, pengunjung bakal dibuat kesengsem untuk menanam pohon anggur berbekal bibit dari kebun Yatno. Menurut dia, sekitar 90 jenis anggur asal 20 negara hidup di kebunnya.

Petani anggur yang tergabung dalam Komunitas Anggur Kebun Imut Sinakal merawat tanaman di perkebunan yang menempati lahan perkampungan di kawasan Malakasari, Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (18/2/2021).
Bibit biasanya dilepas ke konsumen setelah berusia dua bulan dengan tinggi sekitar 50 sentimeter. Harganya bervariasi bergantung varietasnya. Bibit varietas-varietas standar dijual dengan harga Rp 125.000 per batang, antara lain untuk varietas jupiter, julian, dan akademik. Ada pula bibit yang harganya sampai Rp 1,5 juta per batang, seperti untuk varietas giant grande, midnight beauty, dan casanova.
Harga yang cukup menguras kantong itu sepadan karena Yatno menjamin pohon bakal berbuah manis dengan perawatan yang benar, serta pohon bisa berbuah dua kali setahun selama berpuluh-puluh tahun. Ia pun lewat ponsel bakal memandu konsumennya untuk memelihara sampai pohon berbuah.
Jika mendengar harga bibit yang diimpor Yatno untuk diperbanyak di kebunnya, rasanya ingin menangis. Ia mesti merogoh kocek Rp 1,5 juta-Rp 5 juta per batang. Padahal, rupa bibit tersebut hanya seperti ranting kering sepanjang 30 cm.
Baca juga: Tawaran Legit Kota Donat Amsterdam
Namun, modal dan risiko yang besar menjanjikan keuntungan yang besar pula. Yatno kini meraup omzet Rp 20 juta-Rp 25 juta per bulan. Namun, sebagian besar pendapatan digunakan untuk keberlanjutan produksi dan perawatan bibit sehingga ia hanya membawa pulang rata-rata Rp 5 juta dalam sebulan.

Sejumlah tanaman bibit anggur yang tengah disemai dengan okulasi oleh petani yang tergabung dalam Komunitas Anggur Kebun Imut Sinakal di perkebunan yang menempati lahan perkampungan di kawasan Malakasari, Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (18/2/2021).
Yatno juga mempekerjakan empat orang meski baru mampu mengupahi Rp 1,5 juta per pekerja per bulan. Selain membuka lapangan kerja, para pegawai di sana membantu dia mengurus kebun ketika personel ”pasukan oranye” ini harus menjalankan kewajibannya menjaga kebersihan Kelurahan Malaka Sari.
Yatno menyebutkan, ia sebenarnya menumpang bertani di lahan fasilitas umum Pemerintah Provinsi DKI, tetapi inisiatifnya didukung kelurahan karena turut mengasrikan wajah Ibu Kota. Apalagi, sebelum dimanfaatkan, lahan itu terbengkalai dan dijadikan tempat membuang sampah dan puing. ”Jin aja dulu mungkin enggak mau ke sini,” selorohnya.
Ia bersama kawan-kawan sesama petugas PPSU pada 2018 bekerja bakti selama sebulan untuk membersihkan lahan. Setelah itu sepanjang tahun tersebut ia menanami lahan dengan sayur mayur sebagai bagian dari program PKK. Mulai awal 2019, ia baru mengusahakan bibit anggur.
Rizal dan Yatno adalah faktanya. Mereka berjejaring dengan komunitas petani avokad dan anggur se-Tanah Air sehingga pemasaran produk mereka merambah luar Ibu Kota.
Selama pandemi, Kebun Imut Sinakal memproduksi 300-500 bibit tiap bulan. Yatno pernah mengirim bibit anggur ke daerah-daerah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dengan pemberian vitamin tertentu, bibit menempuh perjalanan selama sembilan hari dengan sehat sentosa untuk mencapai Papua.

Petani anggur yang tergabung dalam Komunitas Anggur Kebun Imut Sinakal merawat tanaman di perkebunan yang menempati lahan perkampungan di kawasan Malakasari, Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (18/2/2021).
Rizal dan Yatno seakan memberontak terhadap nasib perekonomian Ibu Kota akibat pandemi Covid-19. Pada saat bisnis-bisnis lain bertumbangan dan banyak warga kehilangan pekerjaan, mereka malah menghimpun lebih banyak rupiah dari pertanian, sektor yang ”enggak Jakarta banget”.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Jakarta kembali mencapai dua digit pada Agustus 2020, yakni 10,95 persen atau setara 572.780 orang. DKI seperti mundur satu dekade karena tingkat pengangguran terbuka yang mencapai dua digit terakhir terjadi pada Agustus 2011, dengan angka 10,80 persen. Adapun tingkat pengangguran terbuka Agustus 2019 hanya sebesar 5,28 persen.
BPS juga mencatat wabah korona memicu 175.890 orang menjadi pengangguran, 77.336 orang untuk sementara waktu tidak bekerja, dan 1,67 juta orang mengalami pengurangan jam kerja. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (DKPKP) DKI Jakarta Suharini Eliawati mengatakan, Rizal dan Yatno menunjukkan ada jalan untuk keluar dari krisis akibat hawar Covid-19.
Baca juga: Basis Data Tunggal UMKM Jadi Prioritas Pemerintah
Karena itu, meski lahan bertanam di Ibu Kota makin sempit, DKPKP DKI tak henti mengajak warga jadi petani. Menyiasatinya, Pemprov DKI membuat Desain Besar Pertanian Perkotaan Tahun 2018-2030, dengan arah membangun pertanian sudah tidak berbasis lahan lagi, tetapi berbasis ruang.

Ketua Tim Kerja Kelompok Tani Hutan Kumbang Adam Yanuar membersihkan gulma di lahan penanaman kangkung di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa (16/2/2021).
”Artinya, kami sudah tidak cukup peduli dengan luas lahan. Cukup di tempat parkir atau di atap masjid kita sudah bisa bertanam,” ujar Eli, sapaan karib Eliawati. Pertanian semacam itu saat ini dikenal sebagai pertanian perkotaan (urban farming).
Berdasarkan data tahun 2020, terdapat 1.421 lokasi pertanian perkotaan di Jakarta, yang antara lain terdiri dari 577 lokasi di gang-gang, 23 lokasi di rumah susun, 291 lokasi di ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA), serta enam lokasi di Balai Kota DKI dan kantor-kantor wali kota. Ada pula pertanian yang masih berbasis lahan, yakni sawah dengan luas total 414 hektar.
Eli mengatakan, 17.825 orang menggiatkan pertanian perkotaan sepanjang 2020. Jumlah itu naik 5 persen dibandingkan 2019, yang sebanyak 16.932 pegiat.
Baca juga: Dari Era Bungkus Plastik ”Slomot Geni” hingga Animasi
Salah satu kunci mendapatkan penghasilan gendut di lahan ciut adalah menanam komoditas yang dalam jumlah sedikit sudah laku dengan harga mahal. Eli mencontohkan, terdapat petani Jakarta yang sukses karena menanam tanaman rempah bernama basil dan menjadi pemasok bagi restoran-restoran Italia.

Tanaman rosela di lahan yang dikelola Kelompok Tani Hutan Kumbang di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa (16/2/2021).
Kendala umum petani Ibu Kota adalah kesulitan memasarkan produk mereka. Namun, Eli yakin itu hanya akibat mereka belum menemukan jalannya. Permintaan terhadap hasil pertanian pasti ada. ”Sebab, 98 persen bahan pangan DKI Jakarta dari (daerah) luar,” katanya.
Rizal dan Yatno adalah faktanya. Mereka berjejaring dengan komunitas petani avokad dan anggur se-Tanah Air sehingga pemasaran produk mereka merambah luar Ibu Kota.
Seiring masih misteriusnya garis finish dari wabah, arus rezeki dari avokad dan anggur masih deras bagi Rizal, Yatno, dan orang-orang di sekitar mereka.