Hadapi Banjir, Empat Waduk Masuk Rencana Program DKI Jakarta
Waduk-waduk itu berada di Lebak Bulus, Brigif, dan Ulujami di Jakarta Selatan, serta di Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah banjir Jakarta yang baru surut, sejumlah posisi di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dirombak, termasuk Dinas Sumber Daya Air. Rotasi ini diharapkan diiringi sikap skeptis masyarakat untuk mengawal kepastian program pembenahan sungai serta mitigasi banjir di Ibu Kota agar terus sesuai prosedur. Jangan sampai genangan air tidak tertangani dengan alasan faktor alam maupun keterbatasan sarana.
Pada hari Selasa (23/2/2021) Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melantik sejumlah pejabat baru. Juaini Jusuf yang sebelumnya menjabat Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA), kini menjabat Wakil Wali Kota Jakarta Utara mendampingi Ali Maulana Hakim, Wali Kota Jakarta Utara. Jabatan Kepala Dinas SDA kini dipegang Yusmada Faizal yang sebelumnya Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta.
Ketika diwawancara, Yusmada mengatakan ada tiga program penanganan banjir. Pertama, mengantisipasi curah hujan besar dengan membangun polder atau sistem yang mencakup saluran pembuangan air, pompa, dan kolam penampung air. Umumnya, polder dibangun di dataran rendah yang tidak memiliki tempat lain untuk menyalurkan airnya. Ada sepuluh polder akan dibangun, tetapi Yusmada belum bisa memaparkan rincian lokasi dan kapasitasnya.
”Program kedua ialah untuk mengendalikan kiriman air dari hulu seperti dari Bogor dan Depok. Caranya membangun empat waduk besar,” tuturnya. Waduk-waduk itu berada di Lebak Bulus, Brigif, dan Ulujami di Jakarta Selatan, serta di Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Program ketiga berkaitan dengan penanganan limpahan air laut atau air rob. Caranya ialah membuat tanggul-tanggul laut di sepanjang pesisir Jakarta. Saat ini sudah ada tanggul sepanjang 32 kilometer yang 22 kilometer di antaranya dibangun dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jakarta. Sisanya dibangun oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Terkait pembenahan daerah aliran sungai, Yusmada menegaskan tidak ada lagi dikotomi naturalisasi dan normalisasi karena Pemprov Jakarta akan melakukan pendekatan sesuai kebutuhan setiap wilayah. Menurut dia, sejak empat tahun lalu pemprov telah mengucurkan Rp 340 miliar untuk membebaskan lahan di bantaran Sungai Ciliwung dan Sunter.
”Pembangunan tanggul atau sarana lainnya dilakukan oleh Kementerian PUPR. Kami (Pemprov Jakarta) tugasnya menyediakan lahan,” ujarnya. Program pembebasan 630 petak lahan di sekitar Ciliwung, Sunter, Jatikramat, Angke, dan Pesanggrahan juga akan dilanjutkan oleh Yusmada.
Ali Maulana Hakim pada waktu yang berbeda mengatakan, tanggul-tanggul masih terus dibangun. Saat ini, Pemerintah Kota Jakarta Utara akan melanjutkan tanggul di sepanjang pesisir Cilincing.
Pakar tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menjelaskan, momentum pergantian pejabat, terutama pejabat teknis kunci di kala krisis banjir, menuai tanda tanya. Meskipun demikian, masyarakat tetap harus optimistis dan mengawal pemastian terjadinya pembenahan daerah aliran sungai dan mitigasi banjir.
Oleh sebab itu, jajaran Pemprov Jakarta harus sangat terbuka ketika membahas pembenahan saluran air. Sejauh ini, Nirwono mengaku tidak melihat kejelasan rencana tata ruang dan perairan yang transparan maupun spesifik peruntukannya.
”Sudah terlalu lama Pemprov Jakarta ’main aman’ soal banjir. Pemprov menolak pemindahan warga dengan alasan takut ada konflik sosial, padahal sebenarnya itu bisa dilakukan dengan humanis dan pemberdayaan berkelanjutan,” katanya.
Ia mencemaskan permainan aman tersebut berakibat Pemprov Jakarta hanya membebaskan lahan bantaran kali yang kosong, bukan lahan yang telah memiliki rumah atau bangunan lain di atasnya. Jika pembebasan sporadis seperti ini, pembetonan bantaran sungai akan pada titik-titik tertentu dan hasilnya ada wilayah yang bolong-bolong dan tetap kelimpahan air dari sungai tatkala musim hujan.
”Bisakah pemprov dan Kementerian PUPR menjamin pembetonan menyeluruh bisa dilakukan sepanjang bantaran dua atau tiga sungai saja tahun ini tanpa ada celah? Tidak usah ambisius lima sungai dulu, apalagi 13 sungai,” ujarnya.
Terkait dengan saluran air, selama ini gubernur dan jajarannya terus menggaungkan bahwa saluran air di Jakarta sudah tua dan kemampuannya hanya mengalirkan 100 milimeter air per hari. Curah hujan biasanya antara 150-200 milimeter per hari sehingga wajar terjadi genangan air, dan yang penting bisa surut dalam waktu enam jam.
Nirwono mengatakan, belum ada Rencana Induk Saluran Air Jakarta. Apabila sudah jelas masalahnya di kapasitas saluran air, perlu dipertanyakan program pembenahan yang akan dilakukan pemprov. Pilihannya ada dua, yaitu menambah jumlah saluran air atau memperlebar serta memperdalam saluran yang ada.
Idealnya, untuk kota sekelas Jakarta setiap saluran primer bisa menampung air 370 milimeter per hari. Kenyataannya, saluran primer di jalan raya seperti Jalan MH Thamrin lebarnya cuma 1,5 meter, padahal lebar trotoar di atasnya mencapai 8 meter. Ketika masuk ke saluran sekunder di jalan-jalan kecil dan saluran tersier di permukiman, lebar serta kedalamannya kian mengecil. Permukiman di Jakarta saluran airnya masih ada yang selebar 30-50 sentimeter.
”Koordinasi Dinas SDA dengan Dinas Bina Marga belum berjalan. Revitalisasi trotoar dan saluran utilitas belum diimbangi dengan revitalisasi saluran air. Trotoarnya sudah bagus dan lebar, tetapi di bawahnya, saluran air kondisinya masih sama dengan 20 tahun lalu,” paparnya.