Banjir Surut, Penyakit Masih Bertahan
Banjir telah surut. Namun, penyakit masih tersisa di sebagian warga yang kebanjiran. Di tengah pandemi Covid-19, sebagian orang memilih tidak berobat ke fasilitas kesehatan.
JAKARTA, KOMPAS — Banjir yang menggenangi permukiman warga Jakarta, beberapa hari lalu, sebagian besar telah surut. Meskipun begitu, penyakit penyerta banjir masih banyak dirasakan oleh warga yang terkena dampak banjir.
Muzaeni (85), warga RT 012 RW 004 Kelurahan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, enggan mengungsi ketika banjir setinggi 2 meter menggenangi rumahnya pada Sabtu (20/2/2021) dini hari. Dia memilih untuk berada di lantai dua rumah sembari menunggu air surut.
Saat banjir, dia dan anak-anaknya memindahkan barang-barang berharga di lantai bawah ke lantai atas. Sayangnya, pakaiannya yang disimpan di lemari bawah tidak dapat diselamatkan. Semuanya basah, termasuk baju yang dia kenakan saat itu.
”Baju basah saya pakai sampai kering. Tiga hari pakai baju yang sama. Tapi sudah biasa. Setiap tahun kayak begini,” katanya saat ditemui pada Selasa (23/2/2021) siang.
Baca juga: Ancaman Kesehatan Mengancam Seusai Banjir
Kini, air di rumahnya memang telah surut. Namun, masalah baru mendera Muzaeni. Dia kini mengalami demam. Saat ditemui di salah satu sudut gang, dia beberapa kali batuk. Muzaeni menduga, baju basah yang tetap dia kenakan selama banjir menjadi pemicu penyakitnya ini.
Walaupun badan tidak bugar, Muzaeni enggan berobat ke puskesmas atau rumah sakit. Pandemi Covid-19 membuatnya khawatir ke fasilitas kesehatan. Terlebih, putrinya yang berprofesi sebagai bidan memintanya untuk menjauhi fasilitas layanan kesehatan selama pandemi ini.
”Masih lemas rasanya, tetapi enggak boleh ke rumah sakit sama anak saya. Mereka khawatir saya malah tertular Covid-19. Jadinya cuma dikasih obat sama anak,” ujarnya.
Muzaeni beruntung, lantai dua rumahnya dilengkapi dengan kamar mandi dan saluran air. Selama berada di sana sembari menanti banjir surut, dia dan keluarga masih bisa mandi dengan air bersih. Berbeda dengan tetangga-tetangganya yang tidak punya akses air bersih di lantai dua rumah mereka. Warga yang tidak memiliki air bersih memanfaatkan air banjir untuk mandi.
Salah satunya Wandi (56), warga RT 013 RW 004 Kelurahan Kampung Melayu. Saat banjir, dia memilih tinggal di lantai dua rumahnya sama seperti Muzaeni. Bedanya, Wandi tidak memiliki kamar mandi di lantai dua. Dia terpaksa memanfaatkan air banjir untuk mandi.
”Banjirnya sudah sampai anak tangga nomor dua dari atas. Sedikit lagi sudah masuk lantai atas,” ungkapnya.
Akibatnya, hingga Selasa siang Wandi masih mengeluh gatal-gatal. Hanya saja, karena sudah terbiasa, Wandi enggan memeriksakan diri ke dokter. Dia hanya membeli obat di warung dekat rumahnya. ”Masih gatal-gatal. Saya beli obat Incidal saja di warung,” katanya.
Kotoran
Lokasi RT 013 RW 004 Kampung Melayu hanya berjarak kurang dari 30 meter dari Pasar Kebon Pala. Permukiman warga menjorok ke bawah, tepatnya di bantaran Kali Ciliwung. Sementara lokasi pasar berada di dataran yang lebih tinggi. Tidak mustahil, kotoran dari pasar terbawa air saat hujan dan melalui gorong-gorong ke rumah-rumah warga. Air kotor ini menyebabkan penyakit.
Wandi mengatakan, air yang menggenangi rumahnya memang terlihat keruh. Bahkan, banjir yang surut menyisakan lumpur dan kotoran berwarna hitam pekat setebal 30 sentimeter. Hal ini masih terlihat pada Selasa siang, saat sebagian warga membersihkan sisa-sisa banjir.
”Tebal banget lumpurnya. Di-bersihin pakai air biasa enggak hilang. Harus disemprot pakai alat,” ungkapnya.
Jumat (19/2/2021) malam, Wandi sebenarnya sudah mendapatkan peringatan melalui pengeras suara masjid dari pengurus RT. Namun, setelah bersiaga selama beberapa jam, banjir tidak kunjung datang. Dia kemudian memutuskan tidur di lantai bawah.
Baca juga: Tanpa Penanganan Menyeluruh, Dampak Banjir Bakal Makin Merusak
Memasuki dini hari, dia terbangun karena kasur yang dia tiduri basah oleh air banjir. Dia langsung mengungsikan anak dan istrinya ke SD Negeri Kampung Melayu 01 Pagi. Sementara Wandi bertahan di lantai dua rumahnya sambil menjaga barang-barang.
Ketua RT 013 Kelurahan Kampung Melayu Sanusi membenarkan banyak warganya sakit saat banjir. Sebab, banyak orang memilih tetap tinggal di lantai dua rumah ketimbang mengungsi di kantor Kelurahan Kampung Melayu atau gedung SD.
”Sebagian saja yang ke tempat pengungsian. Yang rentan-rentan, seperti orang lansia, ibu hamil, dan anak balita. Sakitnya kebanyakan demam sama gatal-gatal,” katanya.
Menurut Sanusi, warga yang tidak memiliki kamar mandi di lantai dua rumahnya terpaksa memanfaatkan air banjir untuk mandi. Namun, untuk minum, mereka disuplai air mineral oleh para sukarelawan.
Tanpa protokol kesehatan
Sakit selepas banjir juga dirasakan Soimah (50), warga RT 010 RW 001 Kelurahan Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan. Hingga kini, rasa linu menjalari sebagian tubuhnya. Setelah linu di kakinya sembuh pascabanjir surut, kini giliran punggungnya yang linu.
Ketakutan pada penularan Covid-19 membuat Soimah enggan berobat ke fasilitas kesehatan seperti puskesmas. Dia memilih membiarkan penyakitnya sembuh dengan sendirinya.
”Kemarin pas masih basah-basahan, kaki linu dan kesemutan. Sekarang yang linu di bawah leher,” katanya.
Banjir akhir pekan lalu membuat Soimah harus mengungsi di pinggir Jalan Manggarai 2 bersama tetangganya. Untuk tidur, dia memanfaatkan rak penyimpanan kayu milik penjual kusen di pinggir jalan.
”Tidur di atas kayu-kayu. Alasnya pakai terpal seadanya. Namanya juga capek, mau gimana juga tetap bisa tidur,” ungkapnya.
Soimah juga mengakui, kondisi pengungsian saat itu seakan tidak mengenal Covid-19. Hanya segelintir orang yang mengenakan masker. Menjaga jarak juga hampir mustahil diterapkan.
Akademisi dan praktisi kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ari Fahrizal Syam, menjelaskan, kerentanan pengungsi banjir dipengaruhi oleh daya tahan tubuh yang menurun akibat banjir, kebersihan lingkungan, serta kebersihan makanan dan minuman. Genangan air dapat tercemar oleh lalat, tikus, bakteri dan kotoran (Kompas, 5 Januari 2020).
Penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan dan minuman saat banjir, di antaranya infeksi kolera, disentri, rotavirus, dan demam typhus. Sementara penyakit yang bisa dibawa oleh nyamuk adalah demam berdarah dengue.
Penyakit lain yang berpotensi muncul seusai banjir, antara lain, infeksi saluran pernapasan akut, asam lambung, migrain, flu, demam, dan infeksi kulit. ”Selain sampah dan kotoran bercampur air banjir, dikhawatirkan ada hewan liar serta pecahan benda tajam yang terbawa arus banjir,” kata Ari.