Pekerja Rumah Tangga Rawan Terpapar Korona dan Di-PHK
Pekerja rumah tangga di tengah bencana wabah global ini sering kali tidak tercatat sebagai bagian dari warga kota terdampak pandemi dan berhak mendapat bantuan dari pemerintah.
Oleh
Krishna P Panolih
·4 menit baca
Pekerja atau asisten rumah tangga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan rumah tangga di perkotaan. Namun, di masa pandemi ini, mereka rawan terpapar Covid-19 dan banyak yang harus kehilangan pekerjaan.
Peran pekerja atau asisten rumah tangga, yang dalam bahasa sehari-hari biasa disebut PRT atau ART, sangat dibutuhkan dalam kehidupan keluarga, terutama di kota-kota besar. Pekerjannya membantu menyelesaikan pekerjaan di rumah, dari mencuci dan menyetrika pakaian, membersihkan rumah, hingga memasak. Bahkan, ada juga yang berfungsi ganda menjadi pengasuh anak.
PRT ini merupakan pekerjaan informal dengan sistem dan cara bekerja yang bervariasi. Ada PRT yang bekerja hanya pada satu majikan, tetapi ada juga yang bekerja kepada beberapa majikan. Biasanya PRT ini tidak menginap di rumah majikan. Dari sistem tersebut, jam kerjanya ada yang harian, ada juga yang paruh waktu.
Di masa pandemi ini, kesejahteraan PRT makin terpuruk karena belum adanya undang-undang pelindung pekerja rumah tangga yang melengkapi ketiadaan jaminan ketenagakerjaan dan kesehatan, serta bantuan sosial.
Data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) 2015 tercatat ada sekitar 4 juta PRT usia 10 tahun ke atas di Indonesia. Mayoritas pekerja adalah perempuan dengan rasio 292 PRT perempuan untuk setiap 100 PRT laki-laki. Selama 2008-2015, jumlah PRT yang tidak menginap cenderung meningkat dibandingkan yang menginap. Tahun 2015, mayoritas PRT (3,35 juta orang) adalah tidak menginap alias tidak tinggal bersama majikan.
Penghasilan PRT cukup bervariasi. Hasil olahan Sakernas dari penelitian ”Profil Pekerja Rumah Tangga di Indonesia dan Strategi Perlidungannya (Ari, 2017), nilainya berkisar Rp 500.000 hingga Rp 2,5 juta. Namun, PRT yang menerima gaji Rp 500.000 jumlahnya relatif banyak, hingga sekitar 1 juta orang. Adapun pekerja bergaji Rp 2,5 juta tercatat hanya sekitar 60.000 orang.
Dari data tersebut terlihat masih banyak ART yang menerima gaji bulanan cukup kecil dan tak layak dengan pekerjaannya. Padahal, bisa jadi pekerjaannya cukup banyak. Tak sekadar membersihkan rumah dan memasak, tetapi juga mengasuh anak.
Selain urusan gaji yang kecil, kesejahteraan PRT juga masih rendah, di antaranya situasi kerja yang tidak layak serta jam kerja yang panjang dan tidak ada kejelasan mengenai waktu istirahat atau cuti. Bahkan, mereka juga tidak mempunyai jaminan sosial.
Sejumlah catatan kekerasan dan penyiksaan juga kerap terjadi. Seperti kasus Sunarsih (14) yang dipaksa bekerja di Surabaya, Jawa Timur. Pekerja anak tersebut akhirnya meninggal setelah mengalami penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dari majikannya pada tahun 2001. Hingga akhirnya, pada 15 Februari 2001, saat jenazahnya ditemukan, dijadikan Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional.
Setelah kasus Sunarsih tersebut, kesejahteraan PRT tak kunjung meningkat. Menurut survei Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) tahun 2019, sebanyak 82 persen PRT di enam kota di Indonesia tak mendapat jaminan kesehatan, ketenagakerjaan, ataupun bantuan jaringan pengaman sosial (Kompas, 17/2/2021).
Dirumahkan
Kondisi PRT tersebut semakin suram saat Covid-19 melanda. Posisi PRT yang bekerja informal membuatnya tidak terdaftar sebagai pekerja, yang berarti tidak mendapat bantuan sosial ketenagakerjaan di masa pandemi. Hal tersebut dibenarkan oleh Lita Anggraini, koordinator Nasional Jala PRT, yang dihubungi melalui telepon, Dalam masa pandemi, PRT tidak terdaftar sebagai warga miskin ataupun warga kota”.
Selain urusan jaminan sosial tersebut, PRT di masa pandemi juga rawan terpapar virus. Bagi PRT yang tidak menginap, akan berpotensi tertular virus saat perjalanan menuju rumah majikan. Hal ini akan semakin rawan jika PRT menggunakan angkutan umum. Bagi PRT yang menginap pun rentan terpapar dari keluarga majikannya.
Pekerja rumah tangga ini juga berpotensi untuk kehilangan pekerjaan. Alasannya, majikan merumahkan PRT karena kondisi ekonomi ataupun takut terpapar virus. Beruntung bagi PRT yang sementara dirumahkan tetapi tetap dibayar meski hanya sebagian.
Tidak hanya di dalam negeri, kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) juga menimpa pekerja migran Indonesia di luar negeri. Laporan bertajuk International Migration of Indonesian Care Workers During Covid-19” menyebutkan, ada 126.742 pekerja migran yang terpaksa pulang karena Covid-19.
Pemutusan hubungan kerja asisten rumah tangga juga terjadi secara global. Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebutkan, PHK di kalangan PRT mencapai 49,3 persen di awal pandemi. Kondisi tersebut terus melonjak hingga 72,3 persen pada Juni 2020. Proporsi PRT yang dirumahkan di Asia Tenggara, termasuk tinggi, yakni 87,5 persen.
Namun, saat banyak PRT dirumahkan, profesi ini justru dilirik oleh pekerja sektor lain yang kehilangan pekerjaan selama masa pandemi. Mengutip pemberitaan media, jumlah pelamar sebagai PRT di salah satu lembaga pelatihan penyaluran pembantu meningkat 40 persen pada April 2020.
Bukan tidak mungkin, profesi ART ini juga dilirik oleh pekerja migran yang mengalami pemutusan hubungan kerja selama pandemi. Pengalaman sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri biasanya menjadi nilai lebih untuk mendapatkan gaji yang lebih tinggi.
Peran PRT cukup penting bagi kehidupan keluarga di perkotaan, tetapi hingga sekarang rencana undang-undang perlindungan PRT belum dituntaskan. Akibatnya, di masa pandemi ini, kesejahteraan PRT makin terpuruk karena ketiadaan jaminan ketenagakerjaan dan kesehatan, serta bantuan sosial. (LITBANG KOMPAS)