Kisah Penjaga Budaya Betawi yang Kian Terpukul Pandemi
Berhentinya aktivitas kesenian karena Covid-19 mengurangi semangat para anggota yang rata-rata generasi muda. Upaya keras para seniman yang selama ini berjuang menjaga nilai Betawi dikhawatirkan meredup.
Oleh
STEFANUS ATO dan AGUIDO ADRI
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 sebentar genap satu tahun melanda Nusantara sejak pertama kali diumumkan pemerintah pada awal Maret 2020. Hampir satu tahun pula bangsa ini melalui berbagai kebijakan untuk terus berjuang melawan wabah yang mendunia itu. Namun, pandemi yang awal kedatangannya ditanggapi santai sejumlah pejabat di negeri ini tak juga usai. Masyarakat banyak terdampak, termasuk para seniman budaya betawi di Ibu Kota.
Korban jiwa akibat pandemi masih berjatuhan. Kehidupan ekonomi warga kian terpuruk termasuk para seniman di Ibu Kota sebagai penjaga pagar peradaban Jakarta. Seniman Betawi yang kehilangan panggung pentas akibat pembatasan berkepanjangan kini berada dalam kondisi serba sulit.
Tanpa pandemi pun, para pegiat seni itu sebenarnya tengah berjuang keras mengembalikan identitas Betawi yang tergerus kemajuan zaman. Sebagian dari mereka kini dihadapkan pada pilihan sulit, bertahan hidup atau harus tetap berkarya demi kelestarian tradisi.
Ada yang alat budayanya, seperti golok, gambang kromong, gendang, dijual untuk bertahan hidup. Saya sendiri pinjam sana-sini, gali lubang tutup lubang. Bagaimana pun caranya agar anak-anak bisa makan dan bisa sekolah. (Abdul Fian)
Sanggar Seni Betawi Mamit Cs yang dikelola salah satu seniman muda Betawi, Taufik Hidayat (25), di masa sebelum pandemi, rutin mendapat tawaran mengisi berbagai acara, mulai dari peresmian gedung, acara ulang tahun, hajatan, hingga sunatan. Sementara, di masa pandemi Covid-19, terutama di saat DKI Jakarta mulai menerapkan pembatasan sosial berskala besar, aktivitas mereka mati suri. Tawaran untuk mengisi acara sepi.
"Biasanya seminggu dua kali mengisi acara. Kalau sekarang nyaris tidak ada. Selama pandemi, kami baru satu kali mengisi acara, itu undangan dari salah satu stasiun televisi nasional," kata Taufik, Rabu (17/2/2021) di Jakarta.
Mengelola sanggar seni tradisional untuk menjaga nilai Betawi merupakan amanah dari ayah Taufik yang sudah berpulang. Nilai-nilai kebaikan orang Betawi tak boleh hilang digerus perubahan dan pembangunan.
Setelah tamat sekolah menengah kejuruan, lelaki yang berdomisili di bilangan Senen itu, pada 2017 tidak berpikir untuk mencari pekerjaan lain, selain melanjutkan usaha orangtua, yakni mengelola sanggar. Imbalan yang didapatkan saat pementasan merupakan bekal yang akan digunakan untuk memastikan aktivitas sanggar tetap eksis. Imbalan itu sebagian disisihkan demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan anggota sanggar.
Saat ini, di saat tak ada tawaran pementasan, Taufik beralih menjadi tukang ojek daring. Sementara para anggota sanggar yang jumlahnya 30 anggota dibebaskan oleh Taufik memanfaatkan ondel-ondel untuk mengamen dari kampung ke kampung. Uang dari hasil mengamen itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Situasi serupa dikisahkan pegiat budaya Betawi Abdul Fian (58). Selama pandemi Covid-19, berbagai jadwal latihan silat di sanggarnya dikurangi bahkan sebagian dihentikan. Aktivitas di luar sanggar, seperti atraksi palang pintu, lenong, atau ondel-ondel dihentikan. Langkah tersebut sebagai bagian dari dukungan budayawan terhadap anjuran pemerintah untuk mematuhi protokol kesehatan dan membantu pemerintah memutus mata rantai penularan Covid-19.
Aktivitas di sanggar, terutama melatih para generasi muda tentang silat, palang pintu, dan kesenian budaya Betawi lain didasarkan pada tujuan mulia menjaga kelestarian kesenian Betawi pada generasi penerus. Perekrutan dan pelatihan kesenian Betawi kepada para anggota atau murid-muridnya dilakukan secara cuma-cuma.
"Kalau secara finansial, sebelum pandemi, kami sering dapat tawaran kerja, misalnya palang pintu atau sebagai narasumber. Itu hampir setiap minggu kami tidak pernah kosong. Tetapi sekarang tidak ada sama sekali," kata lelaki yang akrab disapa Babe Doel, saat ditemui di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Bagi pendiri Generasi Muda Budaya Betawi itu, hal terpenting bagi pegiat seni, yakni menjaga kelestarian budaya. Namun, semangat itu tak akan cukup jika tanpa dukungan materi untuk keperluan operasional sanggar, kesejahteraan anggota, serta memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
"Dalam kondisi seperti ini, banyak kawan-kawan saya yang barang-barangnya dijual. Sampai yang paling miris, ada yang alat budayanya, seperti golok, gambang kromong, gendang, dijual untuk bertahan hidup. Saya sendiri pinjam sana-sini, gali lubang tutup lubang. Bagaimana pun caranya agar anak-anak bisa makan dan bisa sekolah," kata Abdul.
Butuh wadah
Bantuan dari pemerintah meringankan beban ekonomi pegiat seni selama pandemi dinilai masih minim. Selama satu tahun pandemi, Abdul baru sekali mendapat bantuan sembako dari pemerintah. Jumlah itu jauh dari cukup untuk mengarungi hidup.
Pemerintah daerah hingga pemerintah pusat tak cukup hanya membuat kebijakan, terutama ragam aturan yang membatasi aktivitas warga. Pegiat seni membutuhkan solusi dari pemerintah agar mereka tetap mendapatkan wadah atau panggung untuk berkarya. Panggung yang dibutuhkan seniman itu, bisa secara virtual atau pun acara terbatas dengan protokol kesehatan ketat.
"Saya pernah mengusulkan, kegiatan kebudayaan itu tidak harus mati total. Tetapi kembali lagi kepada mereka yang punya kewajiban untuk memperhatikan pelaku budaya," ucap Abdul.
Berhentinya aktivitas kesenian lambat laun mengurangi semangat para anggota sanggar, yang rata-rata anak-anak dan remaja. Upaya keras budayawan yang selama ini berjuang menjaga nilai Betawi dikhawatirkan kembali meredup jika terus dibiarkan.
Kesulitan seniman merupakan potret kecil ancaman kemiskinan yang kian membayangi warga Jakarta. Di Ibu Kota, selama enam bulan pandemi atau pada September 2020, ada tambahan 16.000 warga miskin. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Jakarta kini mencapai 4,69 persen.
"Pandemi memang memberi dampak berupa kenaikan jumlah penduduk miskin. Dari perhitungan, Garis Kemiskinan (GK) Jakarta pada September 2020 adalah 683.339. Artinya setiap orang miskin membelanjakan lebih sedikit dari GK per bulan," kata Kepala Badan Pusat Statistik DKI Jakarta Buyung Airlangga, (Kompas, 16/2/2021).
Perhatian kepada pegiat seni, bagi Abdul, amat penting. Sebab, budayawan dan seniman merupakan pahlawan bangsa yang menjadi pengingat akan nilai-nilai luhur di tengah banjirnya informasi. Kebudayaan merupakan pagar peradaban bangsa.
"Hancurnya budaya, hancurnya peradaban. Hancurnya peradaban, hancurnya negara. Sebab, negara yang tidak berbudaya tidak punya peradaban," ujar Abdul.