Polisi menetapkan 15 tersangka kasus mafia tanah yang merampas tanah milik ibunda Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal. Tindakan cepat ini juga diharapkan dilakukan kepada masyarakat awam.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan 15 tersangka kasus mafia tanah yang berkomplot untuk merampas tanah milik Djurni Hasyim Djalal, ibunda Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal. Terungkapnya kasus ini menjadi momentum untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria yang dihadapi warga biasa.
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran mengatakan, sindikat mafia tanah tersebut diungkap dari tiga laporan yang diajukan Djurni ke kepolisian. Laporan itu terkait adanya indikasi perampasan tanah dan rumah milik Djurni di Pondok Indah, Pondok Pinang, dan Cilandak.
"Dalam melihat kerja kasus mafia tanah ini, kita membedakan tiga kluster. Pertama adalah korban, yakni pemilik sertifikat hak milik sekaligus bangunananya. Kedua, kelompok pelaku mafia tanah. Yang ketiga adalah korban yang merupakan pembeli beritikad baik," ujar Fadil dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (19/2/2021).
Masyarakat yang dirugikan atau menjadi korban, dapat mengadu ke Satgas Mafia Tanah ke nomor 08128171998 dengan menyiapkan bukti-bukti yang cukup. (Fadil Imran)
Dalam melakukan aksinya, kelompok mafia tanah ini berbagi peran untuk mengelabui pemilik tanah. Setelah mengetahui ada tanah dan bangunan yang dijual, aktor intelektual langsung menyusun rencana untuk melancarkan aksi untuk mengelabui calon korban dan petugas pertanahan.
Selebihnya, ada yang berperan menyiapkan sarana dan prasarana, ada yang mengaku sebagai pemilik atas tanah dan bangunan, ada yang berperan sebagai staff PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), dan ada yang bertindak sebagai figur pemilik sertifikat tanah.
Sebelumnya, Dino Patti Djalal menyebut keterlibatan seseorang bernama Fredy Kusnadi dalam kasus mafia tanah ini. Dia mengatakan, sertifikat tanah milik ibunya itu digadaikan Rp 5 miliar tanpa sepengetahuan ibunya. Setelah melakukan penyidikan, polisi menemukan dua alat bukti keterlibatan Fredy dalam kelompok mafia tanah itu. Fredy ditangkap penyidik pada Jumat (19/2) pagi di Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat, belum bisa menerangkan lebih lanjut peran Fredy dalam kasus ini. Penyidik masih memeriksa Fredy untuk mengetahui lebih jauh keterlibatannya dalam kelompok mafia tanah tersebut.
"Dari laporan ketiga, sudah terjadi pemindahan hak dari atas nama korban kepadanya (Fredy Kusnadi). Padahal si korban tidak pernah menjual," kata Tubagus.
Dalam siaran pers tersebut, hadir juga Direktur Jenderal Pengendalian dan Pemanfaatan Tanah dan Ruang (PPTR) Kementerian ATR/BPN, Budi Situmorang. Budi menjelaskan, kelompok mafia tanah ini berupaya mengelabui korban dan proses di Kementerian ATR/BPN untuk mengalihkan hak atas tanah.
Sejak 2018 Kementerian ATR/BPN sudah bekerja sama dengan kepolisian. Budi mengatakan, sertfikat tanah palsu sama sekali tak bisa diproses di Kementerian ATR/BPN. Kelompok mafia tanah biasanya mengelabui petugas dengan mengutus seseorang untuk menyamar sedemikian rupa menjadi pemilik sertifikat tanah dan membuat KTP palsu. Setelah tanah berpindah kepemilikan, kelompok tersebut membuat sertifikat palsu yang diserahkan kepada korban.
"Oleh karena itu, karena keterbatasan informasi, maka kita (kepolisian dan Kementerian ATR/BPN) bersepakat untuk bekerja sama dalam menangani kasus yang terindikasi mafia tanah," ujar Budi.
Untuk mengoptimalkan upaya penumpasan mafia tanah, kepolisian dan Kementerian ATR/BPN akan bekerja sama dengan Kejaksaan Agung. Itu dilakukan untuk menyamakan persepsi mengenai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh mafia tanah. Sebab, kasus mafia tanah ini memiliki karakteristik spesifik yang berbeda dengan kejahatan lain.
Dihubungi terpisah, Tonin Tachta selaku Kuasa Hukum Fredy Kusnadi, mengatakan, akan mengikuti proses hukum kliennya. Ia belum bisa memberi keterangan lebih karena sedang mendampingi kliennya di Polda Metro Jaya.
"Benar, Pak Fredy saat ini masih di Polda Metro Jaya dan saat ini akan menandatangani berita acara perkara," kata Tonin melalui pesan singkat.
Dino Patti Djalal, melalui akun instagram resminya, mengapresiasi kinerja kepolisian, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Koordinator Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang cepat mengusut kasus ini. Ia berharap, ini bisa menjadi momentum untuk melawan mafia tanah yang selama ini sangat lihai menipu para korbannya. Ia berharap penelusuran terus berlanjut untuk mengungkap kemungkinan adanya aktor-aktor lain dalam mafia tanah.
"Semoga kasus ini menjadi inspirasi kepada orang lain, terutama rakyat miskin yang tak berdaya berhadapan dengan mafia tanah," kata Dino.
Untuk melindungi masyarakat pemilik tanah, Polda Metro Jaya membuat Satgas Mafia Tanah yang bekerja dengan Kementerian ATR/BPN. Masyarakat yang dirugikan atau menjadi korban, dapat mengadu ke nomor 08128171998 dengan menyiapkan bukti-bukti yang cukup.
Bersih-bersih
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, mengatakan, kasus pemalsuan sertifikat tanah sudah banyak terjadi. Kasus Dino menjadi perhatian publik karena dia merupakan mantan pejabat tinggi negara dan orang berpengaruh.
Menurutnya, status Dino juga membuat kasus ini terlihat cepat diusut oleh kepolisian dan pihak terkait lainnya. Ia berharap, kepolisian dan pihak terkait lainnya bisa bergerak cepat ketika masyarakat awam berhadapan dengan mafia tanah.
"Kasus yang seperti itu banyak. Ini sebenarnya momentum badan pertanahan (Kementerian ATR/BPN) bersih-bersih secara internal. Pulihkan kepercayaan publik. Buka posko pengaduan kasus mafia tanah dan menghukum internal yang jadi bagiannya. Proses ini harus melibatkan masyarakat lalu penyelesaiannya dipimpin langsung oleh menteri," kata Iwan.
Iwan mencontohkan, terdapat laporan yang masuk ke KPA terkait dengan mafia tanah beberapa waktu lalu. Seorang warga, Anie Sri Cahyani, melaporkan bahwa tanahnya di Bintaro, Tangerang, Banten, telah diklaim oleh pengembang. Tanah Ani seluas 2.000 meter persegi itu dilengkapi Sertifikat Hak Milik. Sementara, lanjut Iwan, muncul klaim atas tanah milik Ani dari pengembang dengan dokumen Sertifikat Hak Guna Bangunan. Pengembang tersebut memperoleh legalisasi dari pengadilan.
"Kasus-kasus tanah itu seharusnya lebih mudah dituntaskan karena kasus pidana pemalsuan," ucap Iwan.
Iwan juga mengingatkan pemerintah untuk fokus pada konflik agraria karena berkaitan dengan dimensi sosial dan politik yang luas. Karena itu, perlu adanya kerja sama lintas lembaga, terutama perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan pengadaan tanah.