Pertanian di Ibu Kota, Alternatif Solusi Mengatasi Kemiskinan
Pandemi Covid-19 jadi berkah bagi Rizal. Sepanjang 2019, ia hanya mampu menjual 6.000-an batang bibit alpukat cipedak. Pada Maret-Desember tahun lalu, ia melepas 15.000 batang bibit ke daerah-daerah di Indonesia.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
Badan Pusat Statistik mencatat jumlah warga miskin di DKI Jakarta meningkat selama pandemi, dari 481.000 jiwa pada Maret 2020 menjadi 496.840 jiwa pada September 2020. Menggerakkan pertanian bisa menjadi solusi untuk mendorong warga miskin lebih berdaya dan mandiri memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Apalagi, 68,46 persen uang belanja pada orang miskin habis untuk membeli makanan. Selain itu, data November tahun lalu menunjukkan, 175.890 orang menganggur akibat Covid-19, antara lain karena perusahaannya terdampak atau karena pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
”Kalau di dunia wirausaha, apalagi di sektor pertanian, tidak ada pemecatan. Yang ada justru peningkatan produksi dan nilai tambah,” ucap petani bibit alpukat cipedak di Kelurahan Ciganjur Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Ahmad Fahrizal (33), Selasa (16/2/2021).
Kalau di dunia wirausaha, apalagi di sektor pertanian, tidak ada pemecatan.
Alasannya, menurut Rizal, adalah karena banyak warga yang diharuskan menjalankan berbagai aktivitas di rumah saja menjadikan kegiatan bercocok tanam sebagai pelepas stres. Mereka menjadi petani atau pekebun dadakan sehingga meningkatkan permintaan bibit. Selain itu, menanam membantu mengurangi pengeluaran untuk membeli bahan pangan karena mereka bisa menyediakannya secara mandiri.
Karena itu, Rizal mengajak seluruh warga di Jakarta yang kehilangan pekerjaan atau pendapatannya karena dikurangi perusahaan akibat wabah Covid-19 untuk bergabung menjadi petani.
”Anak muda sampai orang tua tetap masih bisa berproduksi. Jangan lagi memandang pertanian adalah dewa penolong saat kita pensiun,” ujarnya.
Rizal menjelaskan, alpukat cipedak merupakan varietas alpukat (Persea americana) yang berasal dari Kampung Cipedak di Kecamatan Jagakarsa. Kampung itu berlokasi di Kelurahan Cipedak dan Kelurahan Srengseng Sawah. Dengan demikian, alpukat cipedak merupakan tanaman khas Ibu Kota.
Selain untuk melestarikan tanaman asli Jakarta, Rizal memproduksi bibit alpukat cipedak karena potensi ekonominya yang besar. Itu lantaran alpukat cipedak merupakan salah satu varietas terbaik dengan rasa buah yang legit dan manis serta tidak berserat.
Pandemi Covid-19 pun jadi berkah bagi Rizal. Sepanjang 2019, ia hanya mampu menjual 6.000-an batang bibit alpukat cipedak. Pada Maret-Desember tahun lalu, ia melepas 15.000 batang bibit ke banyak daerah di Indonesia.
Terdapat pelanggan yang memesan hingga ribuan bibit. Rizal mencontohkan, seorang konsumen di Padang Sumatera Barat membeli 1.000 bibit, di Karawang Jawa Barat 3.000 bibit, dan di Jambi 1.000 bibit. ”Tanggal 31 Desember, ditutup dengan pengiriman 2.500 bibit ke Singkawang (Kalimantan Barat),” katanya.
Rizal enggan menyebut angka omzetnya, tetapi yang jelas ia sampai tidak sanggup memenuhi permintaan bibit hanya dari kebunnya. Karena itu, ia bermitra dengan sekitar tujuh petani lain yang tergabung dalam kelompok tani Sejahtera Makmur agar membantu menyuplai bibit sesuai spesifikasi yang dibutuhkan sewaktu-waktu ia kekurangan.
Pertanian yang dimotori Rizal menjadi sumber pendapatan bagi lima orang. Mereka sejauh ini fokus pada pembibitan, bukan mengelola kebun buah, karena lahan hanya seluas seribu meter persegi (0,1 hektar).
Pertanian kota juga digeluti 27 anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Kumbang di Srengseng Sawah. Mereka sejak Maret 2020 menggarap lahan tidur milik Dinas Kehutanan, atau sekarang bernama Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI.
Ketua Tim Kerja KTH Kumbang, Adam Yanuar (25), menyampaikan, kelompoknya baru saja merintis pertanian di sana sehingga belum merasakan adanya pemasukan tetap. Namun, mereka dalam jangka pendek setidaknya bisa menunjang kebutuhan pangan keluarga masing-masing karena bisa mengambil, antara lain, daun singkong, daun pepaya, kenikir, hingga kangkung di lahan itu.
Adam mencontohkan, ia selalu menyuplai kebutuhan cabe bagi ibunya untuk usaha gado-gado dan tidak pernah membeli lagi sejak bertani. Biasanya, 1 kilogram cabe habis untuk 3-4 hari dan harganya sekarang untuk cabe merah keriting Rp 60.108 per kg dan cabe rawit merah Rp 91.173 per kg, berdasarkan data di infopangan.jakarta.go.id.
Prospek pertanian KTH Kumbang pun positif. Sejak dikunjungi anggota DPRD DKI pada Oktober 2020, pesanan atas komoditas yang ditanam di sana terus datang. Hasil pertanian yang stabil terjual, antara lain, bibit alpukat cipedak sebanyak rata-rata 100-150 bibit per bulan, bunga rosela kering 10-15 kemasan (satu kemasan berisi 100 gram) per bulan, dan ikan 100 kg per bulan.
Adam mengatakan, mereka kadang-kadang membantu pengadaan bibit alpukat ke Rizal. Ke depan, lahan pertanian KTH Kumbang direncanakan menjadi kebun buah, terutama alpukat cipedak.
Sebelumnya, Guru Besar Ekonomi Universitas Tarumanagara, Jakarta, Carunia Mulya Firdausy, berpendapat, kegiatan produktif agar masyarakat bisa berswasembada penting digerakkan di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi. Pertanian kota bisa jadi alternatif lapangan kerja, tetapi sejauh ini umumnya bersifat sporadis dan dijalani segelintir orang saja.
Padahal, Jakarta punya sejumlah aset tanah yang menganggur, salah satunya karena penundaan pembangunaan infrastruktur.
”Tanah-tanah ini bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif warga dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan karena pengoperasiannya terkendali di bawah dampingan pemerintah atau lembaga mitra,” ucap Carunia (Kompas.id, 15/2/2021).