Masih Bergerak Leluasa, ATR/BPN Harus Berantas Mafia Tanah
Kasus mafia tanah yang menyasar keluarga Dino Patti Djalal seharusnya jadi momentum negara untuk bersih-bersih supaya tidak ada korban lagi.
JAKARTA, KOMPAS - Kasus mafia tanah yang menyasar orangtua dari Dino Patti Djalal, pendiri Foreign Policy Community of Indonesia dan mantan Wakil Menteri Luar Negeri, seharusnya menjadi pintu masuk negara untuk berantas mafia tanah. Kasus serupa ini banyak ditemukan, dan para pelakunya masih leluasa menjarah hak warga tanpa tersentuh hukum.
Dino melalui akun media sosialnya menyampaikan pemalsuan sertifikat rumah ibunya, Zurni Hasyim Djalal. Pemalsuan berlangsung pada 2019, hingga akhirnya diketahui pada penghujung 2020.
Di akunnya, Dino menyebutkan, sertifikat beralih nama di kantor pertanahan tanpa Akta Jual Beli, transaksi, dan pertemuan apapun. Komplotan mafia tanah membuat Kartu Tanda Penduduk palsu, berkolusi dengan broker, dan notaris bodong.
Belakangan, Fredy Kusnadi, yang merasa dirugikan dengan pesan yang dibagikan Dino di media sosial, melaporkan Dino ke kepolisian. Melalui kuasa hukumnya, Tonin Tachta, Fredy melaporkan Dino ke Polda Metro Jaya dengan dugaan telah menghina dan mencemarkan nama baiknya melalui media elektronik, pada Sabtu (13/2/2021) lalu.
Saat dikonfirmasi melalui telepon, Senin (15/2/2021), Dino mengatakan, akan melawan mafia tanah dengan segala kemampuannya. Tidak ada rasa takut justru sebaliknya akan memastikan bahwa komplotan pemalsu sertifikat rumah ibunya akan terungkap dan tertangkap.
Ia pun berharap kasus ini membangun kesadaran khalayak umum dan dapat ditangani dengan serius karena menyangkut keadilan masyarakat dan upaya untuk membasmi mafia tanah.
"Sudah waktunya ada dalang sindikat yang tertangkap karena selama ini tidak pernah terlihat ada dalang mafia tanah yang tertangkap," kata Dino.
Terkait laporan dugaan pencemaran nama baik yang dilayangkan Fredy, Dino merasa aneh sekaligus senang. Menurutnya, paling tidak satu orang yang diduga pemalsu sertifikat tanah milik keluarganya mulai muncul ke permukaan.
Baca Juga:
Komplotan Pemalsu Sertifikat Tanah, Raup Ratusan Miliar
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaharuan Agraria, Iwan Nurdin mengatakan, kasus pemalsuan sertifikat tanah sudah banyak terjadi. Berhubung Dino merupakan mantan pejabat tinggi negara dan berpengaruh. Kasusnya pun menjadi atensi dan seolah segera diselesaikan baik oleh kepolisian maupun Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
"Kasus yang seperti itu banyak. Ini sebenarnya momentum badan pertanahan (Kementerian ATR/BPN) bersih-bersih secara internal. Pulihkan kepercayaan publik. Buka posko pengaduan kasus mafia tanah dan menghukum internal yang jadi bagiannya. Proses ini harus melibatkan masyarakat lalu penyelesaiannya dipimpin langsung oleh menteri," kata Iwan.
Baca Juga:
Waspada Penggelapan dalam Jual-Beli Tanah
Iwan mencontohkan seorang warga, Anie Sri Cahyani, yang melapor ke pihaknya bahwa tanahnya di Bintaro, Tangerang, Banten, telah diklaim oleh pengembang. Dalam laporannya ke Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Anie menyebutkan tanahnya seluas 2.000 meter persegi itu dilengkapi Sertifikat Hak Milik. Sementara, lanjut Iwan, muncul klaim tanah tersebut milik pengembang dengan dokumen Sertifikat Hak Guna Bangunan dan telah memperoleh legalisasi dari pengadilan.
Kasus lain dialami Robert Sudjasmin di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Di atas tanah yang dibelinya dari lelang negara seluas 9.000 meter persegi pada 1989, terbit dokumen sertifikat tanah atas nama salah satu pengembang. Padahal Robert tengah mengajukan proses balik nama kepemilikan tanah tersebut dari atas nama negara menjadi atas nama dirinya di Kantor ATR/BPN Jakarta Utara.
Pulihkan kepercayaan publik. Buka posko pengaduan kasus mafia tanah dan menghukum internal yang jadi bagiannya. Proses ini harus melibatkan masyarakat lalu penyelesaiannya dipimpin langsung oleh menteri.
Kasus lainnya terjadi pada warga Pulau Pari, Kepulaun Seribu. Mereka memprotes penerbitan sertifikat kepada pengembang tanpa ada pengukuran sebelumnya medio 2017.
"Kasus-kasus tanah itu seharusnya lebih mudah dituntaskan karena kasus pidana pemalsuan," ucap Iwan.
Iwan juga mengingatkan pemerintah untuk fokus pada konflik agraria karena dimensi sosial dan politik yang luas. Karena itu, perlu adanya kerja sama lintas lembaga, terutama perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan pengadaan tanah.
Mafia tanah
Kepolisian Daerah Metro Jaya menyebutkan bahwa mafia tanah memalsukan sertifikat tanah dan bangunan milik orangtua Dino dengan tipu daya. Caranya pelaku berpura-pura membeli hingga terjadi proses tawar-menawar rumah.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan, pelaku meminjam sertifikat dan mengubah identitas dirinya sesuai nama di sertifikat.
"Modusnya sama, sertifikat dipalsukan. Sekarang sertifikat sudah dimiliki orang lain. Kami dalam penyelidikan," kata Yusri.
Baca Juga:
Warga Pertanyakan Rencana Penerbitan Sertifikat Tanah Elektronik
Melalui Kompas.com, praktisi hukum dari Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia Erwin Kallo menyampaikan, mafia tanah menggunakan beragam modus dan terorganisasi. Mereka bisa memalsukan blangko sertifikat tanah atau mencuri blangko yang asli. Dalam aksi ini bisa terjalin kerja sama dengan oknum di BPN.
Modus lainnya dengan memalsukan warkah atau girik. Selanjutnya membuat sertifikat palsu untuk menggugat pemilik asli.
Pelaku juga bisa membuat surat kuasa palsu seolah-olah sudah ditandatangani oleh pemilik asli sertifikat. Kemudian melengkapi dengan dokumen lain kependudukan supaya leluasa beraksi. Modus ini memanfaatkan celah notaris atau petugas BPN yang tidak terlalu memerhatikan autentikasi data yang diserahkan.
"Ada juga yang warkahnya dipalsukan, surat kuasanya dipalsukan. Misalnya sertifikat atas nama Erwin terus ada orang buat KTP namanya Erwin. Sama karena di sertifikat tidak ada foto," ucap Erwin.
Baca Juga:
58 Juta Bidang Tanah di Indonesia Belum Terdaftar
Erwin mencontohkan salah satu modus mafia tanah yang diungkap Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan Polda Metro Jaya. Pelaku berpura-pura bertemu dengan korban untuk membeli properti.
Mereka mengajak korban ke kantor pertanahan dengan alasan memastikan keaslian sertifikat. Di situlah pelaku menukar dokumen asli dengan sertifikat palsu setelah berpura-pura meminjam sertifikat asli untuk difotokopi. Dalam aksinya pelaku bekerja sama dengan notaris fiktif.
"Aktif memeriksa status sertifkat tanah secara berkala ke Kantor BPN misalnya setiap tiga atau enam bulan sekali," ucapnya.
Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayana dalam keterangannya menyebutkan, dokumen-dokumen analog rawan untuk pemalsuan sehingga ke depannya dengan sistem elektronik akan lebih aman.
"Elektronifikasi ini untuk melindungi orang-orang seperti Dino Patti Djalal dan melindungi semua masyarakat. Jadi semua transaksi kedepan memang harus dibuktikan dengan informasi lain yang tidak ada di dalam fisik, misalnya sidik jari dan lain-lain," katanya.
Kementerian ATR/BPN menargetkan seluruh tanah sudah terdaftar dan dapat mengurangi sengketa dan kejahatan oleh mafia tanah.
Berdasarkan statistik pendaftaran tanah tercatat jumlah sertifikat tanah sebanyak 72.315.659 dan total luas tanah bersertifikat 30.960.765 hektare. Sertifikat tanah itu terbagi atas 66.011.341 Hak Atas Tanah terdiri dari Hak Milik, 15.770 Hak Guna Usaha, 5.320.176 Hak Guna Bangunan, 800.246 Hak Pakai, 5.767 Hak Pengelolaan, dan 162.338 Tanah Wakaf.