Sejumlah warga miskin di Ibu Kota masih bekerja. Ada yang menjadi pengemudi ojek daring, pedagang kaki lima, dan buruh cuci. Akan tetapi, penghasilannya berkurang tiga sampai lima kali lipat dari sebelum pandemi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Seorang ibu yang mencari nafkah dengan menjadi badut beristirahat ditemani putrinya di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (6/2/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Persentase penduduk miskin di Ibu Kota meningkat akibat pandemi Covid-19, yaitu menjadi 4,69 persen dari total penduduk Jakarta. Akan tetapi, di saat yang sama, garis kemiskinan per September 2020 juga meningkat jika dibandingkan dengan data Maret 2020.
Selain meringankan beban warga dari kalangan ekonomi lemah dengan berbagai bantuan sosial dan stimulus fiskal, patut dipikirkan pula kemungkinan membuat berbagai kegiatan produktif agar mereka bisa berswasembada atas kebutuhan mereka sekaligus meningkatkan perputaran uang di masyarakat.
Data kemiskinan terkini di Ibu Kota diungkapkan oleh Kepala Badan Pusat Statistik DKI Jakarta Buyung Airlangga, Senin (16/2/2020). Laporan kemiskinan dilakukan dua kali dalam satu tahun. Kali ini adalah laporan berbasis pencacahan yang dilaksanakan pada September 2020 atau enam bulan pandemi Covid-19 melanda Jakarta dan Indonesia.
Jumlah penduduk miskin di Jakarta adalah 4,69 persen atau setara dengan 497.000 jiwa. Sebelumnya, ketika BPS Jakarta melakukan pencacahan Maret 2020, jumlah penduduk miskin adalah 481.000 jiwa. Persentase ini lebih rendah jika dibandingkan dengan angka penduduk miskin nasional, yakni 10,21 persen.
”Pandemi memang memberikan dampak bagi kenaikan jumlah penduduk miskin. Berdasarkan perhitungan, kami menemukan garis kemiskinan (GK) Jakarta pada September 2020 ialah Rp 683.339. Artinya, setiap orang miskin membelanjakan lebih sedikit dari GK per bulan. Mayoritas, yaitu 68,46 persen uang dibelanjakan untuk makanan,” papar Buyung. GK Maret 2020 adalah Rp 680.401.
Sejumlah warga miskin masih bekerja. Ada yang menjadi pengemudi ojek daring, pedagang kaki lima, dan buruh cuci. Tapi, penghasilannya berkurang tiga sampai lima kali lipat sebelum pandemi. (Dika Moehammad)
Ia menjelaskan, komoditas pangan merupakan sektor dengan gejolak inflasi yang paling banyak dibandingkan dengan sektor nonpangan. Oleh sebab itu, masyarakat miskin cenderung fokus membelanjakan uang di pangan dan tidak di kebutuhan lain. Pengeluaran mereka pun berkurang 3,77 persen karena memotong belanja pakaian ataupun kebutuhan yang dianggap sekunder lainnya.
Buyung menambahkan, dalam satu rumah tangga miskin rata-rata terdiri dari 5,70 anggota keluarga. Artinya, satu keluarga miskin memiliki lima hingga enam orang yang harus dinafkahi. Pengeluaran satu keluarga miskin per bulan adalah Rp 3.895.032.
Masalah teknis
Koordinator Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia yang merupakan bagian dari Koalisi Pemantau Bantuan Sosial Indonesia, Dika Moehammad, menjelaskan, intervensi yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah sejauh ini ialah memberikan bantuan sosial (bansos) dan stimulus fiskal. Khusus di Jakarta, bansos berupa bantuan reguler yang rutin diberikan kepada penerima, antara lain Program Keluarga Harapan dan Kartu Jakarta Pintar; bansos tunai (BST); serta bantuan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Kendala teknis masih terjadi di lapangan, seperti data yang tidak sinkron antara fakta dan data Dinas Sosial Jakarta serta Kementerian Sosial. Akibatnya, berbasis pantauan KPBI, ada 582 keluarga miskin ber-KTP Jakarta yang tersebar di 30 kelurahan tidak menerima BST. Pada saat yang sama, ada 135 keluarga yang menerima bansos reguler, tetapi mendapat bantuan ganda karena juga memperoleh BST.
”Laporan terus bergulir kepada pemerintah, tetapi pemutakhiran data tidak bisa terjadi dalam 1-2 bulan sehingga keluarga-keluarga miskin tetap harus melewati beberapa bulan tanpa bantuan pemerintah,” ujar Dika.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Anak jalanan makan nasi bungkus di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa (8/9/2020).
Banyaknya jumlah anggota keluarga turut menjadi penyebab masalah. BST dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang diturunkan sejak Januari 2021 jumlahnya adalah Rp 300.000 per bulan untuk setiap keluarga. Akibat anggota keluarga jumlahnya di atas empat orang, BST langsung habis dibelanjakan dalam dua hari. Paling lama adalah tujuh hari.
Setelah itu, keluarga miskin yang didata KPBI umumnya mengaku dibantu oleh kerabat berupa mi instan dan beras. Kadang-kadang, ada kerabat yang mengajak mereka untuk makan siang dan makan malam bersama sebagai balasan warga miskin tersebut membantu membersihkan rumah atau mencuci kendaraan.
”Sejumlah warga miskin masih bekerja. Ada yang menjadi pengemudi ojek daring, pedagang kaki lima, dan buruh cuci. Tapi, penghasilannya berkurang tiga sampai lima kali lipat sebelum pandemi. Misalnya, warga yang bekerja sebagai buruh cuci dulu melayani lima keluarga, sekarang cuma tersisa satu keluarga dan itu pun jarang,” kata Dika.
Kegiatan produktif
Guru Besar Ekonomi Universitas Tarumanagara, Jakarta, Carunia Mulya Firdausy menjelaskan, bansos dan stimulus memang bukan solusi permanen. Kedua program itu sifatnya membantu meringankan beban masyarakat untuk jangka waktu pendek. Sejatinya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun APBD tidak akan pernah cukup untuk menjadi tumpuan penyejahteraan rakyat tanpa disokong program-program lain yang lebih sistematis dan permanen.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Warga pengurus kelompok wanita tani Teratai RW 005, Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara, membersihkan media tanam seusai panen sawi yang ditanam pada media hidroponik di dalam ruangan green house, Minggu (7/2/2021).
Menurut dia, sambil terus mengucurkan bansos, juga harus ada pengalokasian anggaran ke penanganan pandemi yang bersifat pencegahan guna menurunkan biaya pengobatan. Selain itu, ada pula stimulus berupa penurunan biaya listrik atau bahan bakar minyak untuk masyarakat miskin.
”Kegiatan produktif agar masyarakat bisa swasembada juga penting. Sejauh ini, pertanian kota umumnya bersifat sporadis dan dilakukan secara mandiri oleh segelintir orang. Jakarta memiliki banyak aset tanah menganggur karena penundaan pembangunan infrastruktur atau hal lainnya. Tanah-tanah ini bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif warga dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan karena pengoperasiannya terkendali di bawah dampingan pemerintah atau lembaga mitra,” kata Carunia.