Cokelat menjadi istimewa pada Hari Valentine. Namun, camilan manis ini baru dikonsumsi masyarakat Indonesia dalam porsi kecil. Ini menjadi ironi karena Indonesia salah satu produsen biji kakao terbesar di dunia.
Oleh
Albertus Krisna (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Siapa tidak tahu Hari Valentine? Hari kasih sayang sedunia ini dirayakan di secara global. Berbagai tradisi dilakukan saat tanggal 14 Februari, di antaranya bertukar kartu pos, bunga, keik, dan cokelat.
Dari bermacam bentuk kado yang diberikan, cokelat menjadi salah satu pilihan favorit di Indonesia. Terlihat dari hasil survei Snapcart (2016) terhadap 10.000 struk belanja dari 2.000 pengguna aplikasi Snapcart di Indonesia. Dibandingkan dengan rata-rata bulanan selama setahun, pembelian cokelat selama Februari melonjak hingga 38 persen. Selain itu, lonjakan pembelian juga terjadi pada Desember sebesar 14 persen.
Peningkatan ini terjadi di semua kelompok usia dan jenis kelamin. Terbesar terjadi pada konsumen usia muda 15–24 tahun, baik perempuan maupun laki-laki. Keduanya masing-masing meningkat 53 persen dan 45 persen. Setelah itu, disusul kelompok 35-44 tahun yang meningkat 50 persen pada konsumen laki-laki dan 42 persen di konsumen perempuan.
Akan tetapi, rata-rata konsumsi cokelat di Indonesia sangat kecil. Pada 2017 setiap orang hanya mengonsumsi 65,2 gram per tahun. Diperkirakan pada 2020 menjadi 70,9 gram per tahun.
Banyaknya pembelian cokelat di kelompok konsumen 35-44 tahun ini karena mayoritas konsumen sudah bekerja, menikah, serta memiliki banyak anggota keluarga/kerabat. Hingga akhirnya mereka cukup mampu membeli kado cokelat dalam jumlah banyak untuk diberikan kepada pasangan, anak, orangtua, ataupun kerabat.
Konsumsi cokelat
Akan tetapi, rata-rata konsumsi cokelat di Indonesia sangat kecil. Catatan Kementerian Pertanian, pada tahun 2017 setiap orang hanya mengonsumsi 0,0652 kilogram atau 65,2 gram per tahun. Diperkirakan pada 2020 menjadi 0,0709 kg per tahun
Dari total konsumsi 2017, terdiri dari cokelat instan 54,8 gram dan cokelat bubuk 10,4 gram atau setara dengan perbandingan 8 : 2. Dengan konsumsi cokelat instan sebanyak itu, berarti dalam setahun rata-rata masyarakat Indonesia hanya makan satu cokelat batangan dalam kemasan. Diketahui, jenis cokelat yang banyak dijual di pasaran memiliki berat sekitar 65 gram.
Rata-rata konsumsi cokelat di Indonesia ini masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan negara lain. Pada tahun yang sama, menurut data Econstor dalam tulisan ”A Brief Economic History of Chocolate”, disebutkan tidak sedikit negara lain sudah cukup lama mengonsumsi cokelat lebih dari 1 kg par kapita setiap tahun.
Konsumsi terbanyak mayoritas ditemukan di negara-negara Eropa. Mulai dari Swiss dengan konsumsi cokelat 8,8 kg/kapita/tahun, Austria (8,1 kg), Jerman (7,9 kg), Inggris (7,6 kg), hingga Swedia (6,6 kg). Setelah itu, disusul Australia (4,9 kg) dan Amerika Serikat (4,4). Sementara di Asia, konsumsi terbesar ada di Jepang (1,2 kg), China (0,2 kg), dan India (0,1 kg).
Besarnya konsumsi di Eropa tidak lepas dari menjamurnya industri pengolahan cokelat. Secara global, setidaknya ada tujuh perusahaan cokelat multinasional, yaitu Mars, Ferrero, Meiji, Hershey, Lind & Sprungli, Nestle, dan Mondelez. Sepanjang tahun 2017, ketujuhnya diestimasi mengimpor hingga 1,8 juta ton biji kakao.
Negeri kakao
Bahan baku cokelat itu didatangkan dari sejumlah negara produsen kakao. Menurut data Foresight Commodity Services (2015/2016), produksi kakao di Indonesia mencapai 320.000 ton. Angka itu menjadikan Indonesia sebagai negara produsen terbanyak ketiga setelah Pantai Gading (1,581 juta ton) dan Ghana (778.000 ton).
Akan tetapi, kondisi ini tidak bertahan lama. Periode 2018/2019, total produksi kakao Indonesia berkurang menjadi 220.000 ton dan turun ke peringkat keenam. Sementara Pantai Gading masih berada di puncak dengan peningkatan produksi menjadi 2,154 juta ton. Setelah itu disusul Ghana (812.000 ton), Ekuador (322.000 ton), Kamerun (280.000 ton), dan Nigeria (270.000 ton).
Di sisi lain, saat produksi kakao menurun, industri cokelat Indonesia mulai berkembang untuk menjawab konsumsi masyarakat yang mulai meningkat perlahan. Tercatat, ada sejumlah industri cokelat lokal, seperti Cokelat Monggo di Yogyakarta, Chocodot di Garut, Soklat Inyong di Purwokerto, Pod Chocolate di Bali, hingga Pipiltin Cocoa di Jakarta.
Kerap kali permintaan bahan baku yang cukup besar harus dipenuhi dari biji kakao impor. Tahun 2018, contohnya, para penggiat industri pengolah cokelat mengimpor sekitar 226.000 ton biji kakao. Hal ini dilakukan karena pasokan bahan baku dalam negeri hanya mampu mengisi 32,5 persen dari total kebutuhan industri (laman Kontan, 18/19/2020).
Hal ini terjadi karena belum semua petani memahami pengetahuan budidaya kakao sehingga belum menghasilkan panen yang maksimal. Dampaknya, tidak sedikit petani yang menyubsititusi kebun kakao menjadi tanaman lain, seperti kelapa sawit, bahkan area tambang.
Tradisi Valentine melalui kado cokelat bisa untuk lebih mengembangkan komoditas kakao Indonesia. Produksi cokelat bisa makin dipacu dengan meningkatkan kualitas sumber daya petani dan menjembataninya dengan industri cokelat lokal. Mari merayakan valentine dengan produksi cokelat dalam negeri.