Beberapa Masukan dalam Perubahan Rancangan Detail Tata Ruang Jakarta
Dari 672 pasal dalam RDTR DKI Jakarta, ada 130 pasal yang hendak diubah. Sebanyak 64 persen dari usulan perbaikan itu soal perubahan zonasi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Rapat mendengar masukan pakar terkait perubahan Rancangan Detail Tata Ruang DKI Jakarta di DPRD, Kamis (11/2/2021). Dari kiri ke kanan: pakar tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga; Wakil Ketua Badan Pembuatan Peraturan Daerah DPRD Jakarta Dedi Supriadi; dan pakar tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna.
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan Rancangan Detail Tata Ruang DKI Jakarta sudah terdengar oleh sejumlah khalayak, di antaranya terkait proyek infrastruktur strategis nasional. Namun, di level pengambil kebijakan, target dan dampak perubahan itu belum jelas.
Kamis (11/2/2021), diskusi mendengar masukan pakar digelar oleh Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bamperda) DPRD DKI Jakarta. Sesi kali ini menghadirkan dua pakar tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna dan Nirwono Joga. Mereka menyoroti sisi infrastruktur dan dasar hukum perubahan rancangan detail tata ruang (RDTR).
”Proyek strategis saat ini untuk Jakarta ialah pembangunan berbagai angkutan publik berbasis rel, seperti MRT dan LRT. Belum lagi nanti jika ada integrasi dengan kereta rel listrik juga,” kata Yayat Supriatna. Semua itu berpengaruh pada tata ruang.
Pengembangan moda transportasi tidak hanya soal wahana pengangkut manusia, tetapi ada aspek pengembangan potensi wilayah yang dilalui jalur rel itu. ”Kita melihat jalur pembangunan rel MRT dari Bundaran Hotel Indonesia ke Kota Tua, misalnya. Kemungkinan akan ada blok permukiman atau blok pertokoan yang harus dipindah guna membangun sarana baru, bisa berupa sarana teknis transportasi atau malah sarana komersial, seperti pusat perbelanjaan, apartemen, dan pertokoan,” papar Yayat.
KOMPAS/AYU PRATIWI
Suasana di Jalan Agung Perkasa VIII, Sunter Jaya, Jakarta Utara, Selasa (19/11/2019). Permukiman warga dibongkar sejak Kamis pekan sebelumnya. Beberapa warga masih bertahan, menolak direlokasi. Pemerintah hendak menata kawasan itu agar lebih ramah lingkungan dan tidak banjir.
Salah satu ketidakjelasan dalam pengembangan RDTR ialah keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja yang mengakomodasi pengambilalihan lokasi-lokasi di bawah kewenangan pemerintah daerah oleh pemerintah pusat demi kepentingan nasional. Tanpa pembahasan detail dua pihak soal pemetaan zonasi, pengembangan potensi wilayah akan menimbulkan persoalan sosial di kemudian hari,
Misalnya, kata Yayat, zona bonus dalam pembangunan MRT dan LRT. Sepatutnya ada aturan soal insentif dan disinsentif bagi para pihak yang membangun di sepanjang jalur itu dengan menghitung aspek sosiologis serta kapasitas wilayah.
Pada zona itu harus dibuka perhitungannya jika ada sekelompok warga yang harus direlokasi. Kompensasi berupa ganti rugi ditambah subsidi perlu dipertimbangkan dari keuntungan perusahaan pengelola lahan komersial yang dibangun di lokasi itu.
”Hitung-hitungan secara terbuka ini bagian dari skema pembangunan bersama yang melibatkan masyarakat. Jadi, warga tidak dicabut dari akarnya. Mereka diberi lahan baru, bisa berupa rumah susun yang masih dekat domisili asal,” katanya.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Suasana warung makan milik Sofiah di Rumah Susun Bidara Cina, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (3/11/2020). Sofiah sudah mendaftarkan diri ke Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk program bantuan usaha mikro, kecil, dan menengah sebesar Rp 2,4 juta, tetapi belum lolos.
Untuk itu, koordinasi pusat dengan daerah harus jernih agar jelas peraturan teknis yang boleh dituangkan dalam peraturan gubernur dan perda serta peraturan yang harus dikeluarkan pemerintah pusat, seperti peraturan presiden.
Pada tahun 2019, Jakarta Property Institute mengeluarkan hasil kajian bahwa kaum milenial (lahir tahun 1980-2000) mayoritas berminat tinggal di hunian vertikal selama harganya terjangkau. Hunian vertikal umumnya dianggap dekat dengan moda angkutan terintegrasi sehingga memungkinkan orang tidak memakai kendaraan pribadi (Kompas.id, 6 Maret 2020).
Kajian JPI itu mengajukan beberapa pilihan lokasi pembangunan hunian vertikal di wilayah Jakarta. Pasar di bawah pengelolaan Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya, terminal bus, dan stasiun kereta adalah contohnya. Di sejumlah negara padat penduduk Asia, seperti Hong Kong, Jepang, dan China, metode ini telah diterapkan.
Menurut Yayat, konsep tersebut sangat bisa dituangkan ke dalam RDTR baru, terutama aspek pemindahan penduduk di jalur proyek strategis nasional tanpa harus mencabut mereka dari akar. Aturan teknis ini juga tidak boleh setengah-setengah karena mitigasi risiko bencana di Jakarta juga harus diperhitungkan.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Kondisi Pantai Maju atau Pulau D reklamasi Jakarta di Teluk Jakarta, Senin (17/8/2020). Di sebagian pulau ini sudah terbangun perumahan dan area bisnis yang sudah beroperasi.
Dasar hukum
Nirwono Joga mengajukan pentingnya pembuatan dasar hukum setiap elemen dari RDTR. Perlu ada peninjauan ulang dengan menanyakan kembali pertanyaan dasar alasan RDTR harus diubah. ”Apakah memang kenyataannya sudah tidak relevan, ada faktor janji politik semasa kampanye, ada tekanan dari pusat, apa saja yang perlu diubah, dan di wilayah mana saja?” katanya.
Ia menghitung, dari 672 pasal dalam RDTR, ada 130 pasal yang hendak diubah. Sebanyak 64 persen dari usulan perbaikan itu soal perubahan zonasi. Ini menunjukkan perencanaan di atas kertas yang disetujui pemerintah, perusahaan pengembang, dan warga ternyata tidak diterapkan di lapangan.
”Jangan asal mengubah pasal tanpa mengetahui penyebab masalah di lapangan. Apakah masalah penyalahgunaan zonasi dan tata ruang itu karena ada korupsi, aparatur pemerintah tidak mampu memantau dengan baik karena kekurangan sarana, masyarakat yang bandel, atau penipuan oleh pihak swasta? Jangan-jangan, ketika setiap masalah ditelaah, penyelesaiannya bukan membuat RDTR baru, tetapi efisiensi kinerja atau malah jalur hukum,” ujar Nirwono.
Menurut dia, RDTR sebaiknya mengatur peruntukan wilayah berbasis potensi dan keterbukaan informasi publik. Setiap wilayah harus jelas status hukumnya. Ini termasuk pulau-pulau reklamasi di Teluk Jakarta yang hingga kini tidak jelas dalil hukum serta pengategorian titik-titik reklamasi itu sebagai pulau atau justru sebagai bagian dari daratan Jakarta.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Jalur putar balik di kolong jembatan layang Tebet, Jakarta Selatan, telah rampung dibuat, Sabtu (26/12/2020). Pembangunan jalur putar balik ini menjadi rangkaian proyek penataan plaza Stasiun Tebet di kolong jembatan layang Tebet. Stasiun Tebet akan ditata layaknya Stasiun Tanah Abang untuk mengoptimalkan integrasi antarmoda bagi penumpang yang mengakses transportasi kereta api.
Kejelasan status hukum akan membuat wilayah itu berkurang risiko konfliknya. Peruntukannya juga agar diprioritaskan sebagai sarana umum, misalnya untuk ruang terbuka hijau, wisata pesisir, cagar alam, bahkan kalau mau ekstrem untuk lahan pemakaman khusus Covid-19.
Ketua DPRD Jakarta Prasetyo Edi Marsudi setelah mendengar masukan pakar mengatakan, legislatif akan membawa diskusi perubahan RDTR pada topik komersialisasi wilayah permukiman yang selama ini seolah didiamkan semua pihak. ”Daerah Kemang, Kelapa Gading, Jalan Gunawarman, dan Jalan Jaksa itu kan semestinya untuk hunian. Kenyataannya, rumah-rumah kini menjadi kafe, toko, gudang, dan sebagainya. Selain wilayah pembangunan sarana umum, rapat RDRT juga harus membahas fakta ini. Kalau perlu, di lokasi-lokasi komersial ini juga ditata ulang zonasinya,” tuturnya.
Yusmada Faizal, Asisten Bidang Pembangunan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, mengatakan, pihaknya juga akan berkoordinasi mengenai pembangunan regional terkait mitigasi bencana, seperti banjir. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten harus duduk bersama merancang ruang terbuka hijau dan pemberian insentif/disinsentif bagi pihak-pihak yang membangun di sekitarnya.