Buka Kolaborasi Seluas-luasnya untuk Pembatasan Mikro Ibu Kota
Kajian Fakultas Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah, hampir 90 persen responden mengetahui bahaya Covid-19, tetapi baru 70 persen dari mereka yang rutin bermasker, itu pun belum tentu dipakai dengan benar.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM skala mikro di Ibu Kota jangan hanya bertumpu pada pengetesan dan pelacakan kasus aktif, tetapi benar-benar kepada aksi pencegahan yang nyata. Pemetaan potensi kelurahan, rukun warga, dan rukun tetangga dengan keunikan masalah dan kearifan lokal masing-masing harus dibuka informasinya kepada masyarakat.
”Prinsip Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah kolaborasi. Ini senjata yang bagus sekali untuk menangani pandemi. Semua pihak mengeroyok masalah pencegahan penularan Covid-19 sampai ke penanganan kasus aktifnya,” kata peneliti senior Center for Metropolitan Studies (Centropolis) Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, di Jakarta, Selasa (9/2/2021).
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerangkan bahwa konsep PPKM mikro di Jakarta tidak bisa disamakan dengan di kabupaten/kota lain. Ibu Kota adalah wilayah yang pergerakan masyarakatnya sangat dinamis. Sebagai gambaran, warga Jakarta Utara bisa bekerja di Jakarta Pusat dan setelah itu bersosialisasi di Jakarta Selatan. Tidak menutup kemungkinan individu itu bahkan tidak pernah atau jarang berinteraksi dengan tetangganya karena kehidupannya murni di luar tempat tinggal.
Prinsip Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah kolaborasi. Ini senjata yang bagus sekali untuk menangani pandemi.
Berbasis fakta ini Anies mengatakan tidak mungkin mengarantina RT, RW, atau kelurahan apabila ada beberapa keluarga yang tertular Covid-19. Menurut dia, mayoritas kluster keluarga diperoleh dari kegiatan di luar lingkungan domisili pasien positif tersebut. Pendekatan yang diambil oleh Pemprov Jakarta ialah memastikan ketersediaan tempat isolasi mandiri, baik di rumah sakit rujukan maupun hotel. Total ada 17.000 ruang isolasi.
Menanggapi pendekatan tersebut, Suryono menjelaskan bahwa situasi pandemi Covid-19 di Jakarta memang kompleks, mengingat jumlah penduduk yang masif, status Ibu Kota sebagai pusat pemerintahan, pusat ekonomi dan industri strategis, serta titik transit. Akan tetapi, penyediaan tempat isolasi yang banyak itu adalah salah satu dari sekian banyak mata rantai penanganan pandemi.
”Bagaimana prosedur isolasi mandiri di tempat yang bukan rumah sakit rujukan, terutama bagi masyarakat dari kalangan ekonomi lemah? Apabila fokus kepada isolasi saja, tandanya kita hanya menangani orang-orang yang sudah tertular, bukan mencegah,” ujarnya.
Centropolis rutin mengolah data perkembangan Covid-19 di Jakarta dan memetakannya dengan pemutakhiran tiap pekan. Berdasarkan data lembaga kajian perkotaan dan real estat ini per tanggal 6 Februari, dari 267 kelurahan di Jakarta ada 88 kelurahan memiliki kasus aktif di atas 100.
Peta kasus ini relatif tidak berubah sejak Desember 2020, yakni kelurahan yang berbatasan dengan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi memiliki kasus terbanyak. Sejak awal Februari, kelurahan lain di sebelahnya mulai mengalami kenaikan kasus. Adapun pola penyebarannya belum diketahui meskipun fakta dari Dinas Kesehatan Jakarta menunjukkan kluster keluarga meningkat dengan 1.643 kasus aktif.
”Berdasarkan peta Centropolis, kelurahan yang jumlah kasusnya di atas 100 ini umumnya dihuni masyarakat kelas menengah ke bawah yang identik dengan permukiman padat. Kalau hanya membicarakan isolasi, memang memisahkan pasien dari lingkungan rumah yang ramai, tetapi berapa biaya yang mau ditanggung pemerintah?” kata Suryono.
Kolaborasi dengan semua pihak, apalagi pengawasan mikro berbasis RT, RW, dan kelurahan, adalah untul memperkuat pengawasan di level komunitas. Pengetatan pengawasan dan protokol kesehatan berarti mengurangi penyebaran.
Gugus tugas
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengeluarkan Instruksi Nomor 3 Tahun 2021 yang meminta setiap kabupaten/kota membentuk gugus tugas penanganan Covid-19 di tingkat RT dan RW. Di Jakarta, keberadaan gugus tugas ini sudah dicanangkan sejak Juni 2020.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia untuk wilayah Jakarta, Baequni Boerman, mengatakan bahwa di atas kertas RT dan RW sudah memiliki gugus tugas. ”Akan tetapi, dari pemantauan kami di lapangan, lebih banyak gugus tugas yang tidak berkiprah dengan baik,” ujarnya.
Menurut dia, anggota gugus tugas RT/RW tidak hanya bertugas melakukan patroli untuk mengingatkan agar warga memakai masker dan menjaga jarak. Lebih penting lagi ialah mereka berdialog dengan warga mengenai bahaya Covid-19 dan cara pencegahannya sehingga tercapai pendidikan dan pemahaman di kalangan warga. Pantauan IAKMI Jakarta, keaktifan gugus tugas RT/RW ini masih bergantung kepada kesadaran pribadi ketuanya.
Pernyataan ini senada dengan yang dikemukakan pakar biostatistik Universitas Indonesia, Iwan Ariawan. Ia tergabung dalam Tim Sinergi Mahadata UI untuk pencegahan Covid-19. Apabila Jakarta ingin sukses mengendalikan pandemi, setiap aspek dari 3M (memakai masker, menjaga jarak fisik, dan mencuci tangan memakai sabun serta air mengalir) harus dilakukan oleh paling sedikit 85 persen warga.
Kenyataannya, tidak satu pun dari ketiga aspek ini yang mencapai 70 persen. Bahkan, memakai masker yang semestinya telah menjadi norma serta gaya hidup baru masyarakat hanya dilakukan oleh 68 persen warga Jakarta. Apabila disandingkan dengan data kajian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, hampir 90 persen responden mengetahui bahaya Covid-19, tetapi baru 70 persen dari mereka yang rutin bermasker, itu pun belum tentu dipakai dengan benar.