Tunggakan sumbangan pembinaan pendidikan atau SPP hingga bayang-bayang putus sekolah tak terelakkan karena kondisi ekonomi belum kunjung membaik imbas tidak efektifnya penanganan pandemi Covid-19.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peluang putus sekolah semakin besar seiring belum terkendalinya penanganan pandemi Covid-19. Sejumlah keluarga sulit membayar sumbangan pembinaan pendidikan atau SPP sehingga anak terancam putus sekolah.
Salah satunya dialami OA, siswa sekolah dasar swasta di Jakarta Timur. Orangtuanya kesulitan melunasi tunggakan SPP yang mencapai belasan juta sejak April 2020 karena usaha rumah makannya sepi selama pandemi Covid-19.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turun tangan mempertemukan dinas pendidikan, orangtua, dan pengurus yayasan sekolah pada Januari 2021. Dari pertemuan mediasi ini tercapai kesepakatan pemotongan biaya SPP 50 persen.
Erlindawati, ibu OA, lantas melunasi biaya SPP sekaligus memutuskan anaknya pindah sekolah supaya tak menjadi polemik. Dengan bantuan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, OA pindah ke sekolah negeri di Pondok Bambu, Jakarta Timur.
”Saya sudah membayar semua. Saya memutuskan memindahkan anak dari sana. Minta tolong dinas (Dinas Pendidikan DKI) untuk membantu mengurus kepindahan siswa karena peristiwa ini sudah dimuat berita (media massa). Sekarang sudah di sekolah negeri karena saya cari aman,” kata Erlindawati kepada Kompas, Selasa (9/2/2021).
KPAI mencatat 21 pengaduan terkait tunggakan biaya SPP. Aduan itu berasal dari Jakarta, Tangerang Selatan, Bekasi, Bogor, Surabaya, dan Bali. Jika masalah ini tak tertangani, bisa berakibat pada hilangnya hak atas pendidikan atau putus sekolah.
Anggota KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, menuturkan, KPAI menyelesaikan masalah ini dengan mempertemukan pengurus sekolah, dinas pendidikan setempat, dan orangtua secara virtual karena pandemi dan wilayah yang jauh dari Jakarta. ”Kami memediasi para pihak mengingat pemenuhan hak atas pendidikan wajib dijamin pemerintah atau negara,” ucap Retno.
KPAI juga mencatat pengaduan lain di bidang pendidikan selama pandemi. Pengaduan terbesar ialah ketimpangan akses untuk pembelajaran jarak jauh. Anak dari keluarga mampu lebih terlayani ketimbang anak dari keluarga tidak mampu.
Selain itu, perundungan masih terjadi. Perundungan berpindah dari sekolah ke ranah maya. ”Kembali terlihat anak anak terdampak pandemi mayoritas dari keluarga tidak mampu,” katanya.
Pemantauan dampak Covid-19 melalui pendataan Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat di 1.104 desa pun menunjukkan bahwa 938 atau 1 persen anak berusia 7-18 tahun putus sekolah. Mayoritas karena alasan ekonomi.
Pemantauan ini melalui sensus terbatas pada sekitar 109.000 keluarga miskin penerima Program Keluarga Harapan dan Bantuan Langsung Tunai-Dana Desa di 1.404 desa yang mempunyai anak usia 4-18 tahun. Dari sekitar 145.000 anak yang dipantau, lebih dari 13.500 (11 persen) anak usia 7-18 tahun sudah putus sekolah sebelum pandemi.
Kondisi tersebut memperlihatkan dampak nyata pandemi terhadap pendidikan di Indonesia. Sebelum pandemi, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2019, lebih dari 4,34 juta atau 7,9 persen anak berusia 7-18 tahun putus sekolah.
Pemantauan yang dilakukan Unicef Indonesia bersama Direktorat Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi ini juga menemukan bahwa 70 persen Anak Berisiko Putus Sekolah karena pandemi. Dari jumlah itu, sebanyak 30 persen berisiko tinggi putus sekolah.
Faktor ekonomi karena anak harus bekerja membantu orangtua, kurangnya fasilitas pembelajaran jarak jauh, dan tugas pengasuhan menjadi faktor risiko terbesar yang berpotensi menyebabkan anak putus sekolah. Pada Maret 2020, penduduk miskin di Indonesia bertambah 1,63 juta orang.