Dongkrak Ekonomi, DKI Sederhanakan Perizinan Pembangunan
Kemudahan perizinan sangat penting untuk menerapkan fleksibilitas alih guna gedung ataupun ruang perkantoran. Tentu dengan syarat ada persetujuan dari Pemprov DKI Jakarta, warga setempat, dan amdal yang komprehensif.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 118 Tahun 2020 tentang Izin Pemanfaatan Ruang memangkas proses pengurusan izin pembangunan dari 360 hari kerja menjadi 57 hari. Langkah ini dinilai bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi selama pandemi Covid-19 agar roda keuangan secara masif bisa berputar kembali.
Dalam diskusi daring berjudul ”Percepatan Perizinan untuk Pemulihan Perekonomian Jakarta”, Senin (8/2/2021), Asisten Ekonomi dan Keuangan Pemprov DKI Jakarta Sri Haryati mengatakan bahwa pergub tersebut muncul dari evaluasi rutin semua kebijakan yang ada guna melihat aturan yang masih relevan, perlu dimutakhirkan, bahkan jika ada aturan yang sudah ketinggalan zaman dan perlu dihapus atau diganti.
”Ini bagian dari skema besar bernama paket pemulihan ekonomi yang di dalamnya ada insentif fiskal dan nonfiskal. Penerima manfaatnya juga mulai dari orang-orang yang masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial hingga ke sektor perusahaan investasi,” tuturnya.
Dalam pergub ini percepatan izin juga berkaitan erat dengan ketertiban tata ruang. (Sri Haryati)
Dalam Pergub No 118/2021, hal yang paling mencolok adalah percepatan perizinan untuk gedung-gedung yang awalnya 360 hari menjadi 57 hari kerja. Adapun pembangunan rumah tinggal kini izinnya hanya memerlukan 14 hari kerja. Meskipun demikian, Sri mengatakan segala proses masih memenuhi standar dari dinas-dinas terkait dan kini proses pengajuannya hanya melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta.
”Dalam pergub ini percepatan izin juga berkaitan erat dengan ketertiban tata ruang. Nanti akan ada peta digital pemanfaatan ruang Ibu Kota yang bisa diakses, mulai dari orang awam sampai perusahaan pengembang properti, supaya tidak ada tumpang tindih,” kata Sri.
Menurut dia, 60 persen ekonomi di Jakarta masih bergantung kepada sektor konsumsi. Penanaman modal yang dianggap bisa mengembangkan berbagai jenis usaha baru dan menyerap tenaga kerja jumlahnya baru 34 persen. Oleh sebab itu, percepatan perizinan diharapkan bisa melecut antusiasme pelaku usaha mulai dari mikro hingga global untuk mau berinvestasi di Jakarta. Apalagi, dengan rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, Jakarta ingin mengambil posisi sebagai pusat keuangan dan ekonomi.
Direktur Jakarta Property Institute Wendy Haryanto menuturkan, adanya penyederhanaan perizinan juga harus diikuti dengan fleksibilitas alih fungsi unit usaha. Apalagi, situasi pandemi meminta semua jenis sektor untuk cepat beradaptasi dengan mengubah cara kerja dan peruntukan asetnya sesuai kebutuhan yang ada saat ini ataupun di masa depan. JPI mencatat ada 179 industri yang berhubungan dengan sektor properti.
Lembaga ini juga menemukan di Jakarta ada 2 juta meter persegi ruang kantor yang tidak termanfaatkan akibat pandemi Covid-19. Perkantoran ini kemudian menganggur, sementara perusahaan pemiliknya masih harus mengeluarkan biaya perawatan dan menggaji karyawan.
”Setiap perusahaan pengelola kantor harus bisa memikirkan model bisnis baru dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Kantor-kantor itu mungkin bisa dialihgunakan menjadi apartemen, sarana kesehatan, atau berbagai bentuk lain sesuai dengan kebutuhan di Jakarta dan jika bisa spesifik di lokasi tersebut,” kata Wendy.
Kemudahan perizinan sangat penting untuk menerapkan fleksibilitas alih guna gedung ataupun ruang perkantoran. Tentu dengan syarat ada persetujuan dari Pemprov DKI Jakarta, warga setempat, dan analisis dampak lingkungan yang komprehensif.
Sementara itu, Steve J Manahampi, konsultan di bidang arsitektur, mengatakan, perlu juga ada insentif kepada perusahaan pengembang yang konsep pembangunannya sesuai dengan arah pembangunan berkesinambungan dan ramah lingkungan. Contohnya ialah dengan adanya moda raya transportasi (MRT), kereta ringan (LRT), kereta rel listrik, dan Transjakarta akan memicu pembangunan properti skala kecil-menengah yang tidak memiliki ruang parkir karena mengandalkan ketersediaan angkutan umum.
”Pembangunan seperti ini membantu masyarakat mengurangi pemakaian kendaraan pribadi sehingga menurunkan kemacetan. Semestinya di pelaku bisnis ini juga ada semacam insentif dari Pemprov DKI Jakarta,” ujarnya.
Membatasi, bukan melarang
Pengamat kebijakan publik independen, Mulya Amri, berpendapat tidak ada jurus yang ampuh untuk menangani pandemi. Permasalahan di Indonesia, bahkan di Jakarta sekalipun, ialah menjamin kesejahteraan masyarakat terpenuhi ketika karantina secara penuh diterapkan.
Per Januari ini, Pemprov DKI Jakarta baru mengganti sistem bantuan sosial dari bahan pokok ke transfer uang tunai agar bisa dibelanjakan. Kemudian, ada stimulus bagi para pengusaha mikro, kecil, dan menengah. Akan tetapi, datanya terus bergulir karena dimutakhirkan dan ada orang-orang baru yang awalnya tidak memerlukan bantuan, kini layak ditolong, sementara nama mereka belum masuk dalam daftar pemerintah.
”Pendekatannya akhirnya membatasi, tetapi tidak melarang. Kuncinya memang di komitmen untuk terus menegakkan protokol kesehatan, misalnya agar terus memakai masker ketika berada di luar rumah dan menjaga jarak fisik,” katanya.