Protokol Kesehatan Terabaikan di Lokasi Banjir Jakarta
Penerapan protokol kesehatan di lokasi banjir terabaikan. Perhatian warga tertuju pada genangan di permukiman mereka. Padahal, potensi penularan virus SARS-CoV-2 masih ada di setiap kerumunan warga.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski pandemi masih belum terkendali, warga terdampak banjir di Jakarta mengabaikan penerapan protokol kesehatan. Perhatian mereka tertuju pada genangan yang merendam sejumlah permukiman. Pengabaian ini berisiko memperparah pandemi Covid-19 di sekitar lingkungan mereka.
Pantauan Kompas menunjukkan, warga di lokasi banjir cenderung mengabaikan protokol jaga jarak fisik dan menggunakan masker. Kondisi ini terlihat di beberapa permukiman, antara lain Kompleks Perumahan Green Garden Kebon Jeruk, Jalan Pulo Nangka I Cengkareng, dan Jalan Timbul Cengkareng, Jakarta Barat.
Suparti (60), warga RT 014 RW 002 Rawa Buaya, Cengkareng, berkumpul bersama sejumlah warga saat banjir merembes masuk hingga ke dalam rumah. Genangan di permukiman warga bervariasi, mulai dari 10 sampai 50 sentimeter. Dalam kondisi itu, mereka sulit untuk menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19.
”Semalam sekitar pukul 23.00 hujan sudah sangat lebat. Genangan mulai masuk ke rumah waktu dini hari sekitar 50 sentimeter. Boro-boro kepikiran protokol kesehatan, ini rumah saja hampir kelelep,” tutur perempuan itu, Minggu (7/2/2021) siang.
Ketua RT 014 Tugiman menuturkan, hampir semua warga di sana terdampak banjir selama tiga hari terakhir. Ada faktor daerah permukiman yang rendah dan intensitas hujan tinggi sehingga banjir kerap pasang surut dengan ketinggian air berkisar 10-50 sentimeter. Dengan kondisi itu, kerumunan antarwarga tidak terelakkan.
”Total ada sekitar 325 penduduk di wilayah RT ini. Selama mereka berkondisi sehat, saya enggak terlalu melarang berkumpul. Sebagian mereka juga berkumpul untuk saling bantu bersih-bersih lingkungan,” ucap Tugiman.
Dalam kondisi banjir, Tugiman juga mengantisipasi paparan pandemi dari warga yang menjadi penyintas Covid-19. Dia meminta dua penyintas Covid-19 yang baru pulang agar tetap di dalam rumah. Hal itu sebagai upaya jaga-jaga jika ada orang yang masih berpotensi menularkan Covid-19.
Kondisi serupa terjadi di sekitar Kompleks Perumahan Green Garden. Rohmat (33), pegawai restoran cepat saji dekat lokasi banjir, menyatakan sulitnya penanganan genangan tanpa bantuan warga setempat. Sulit sekali untuk tetap menjaga jarak ketika genangan tinggi.
”Tadi pagi waktu genangan tingginya sampai 50 sentimeter, orang-orang pada nyelamatin diri dulu. Banyak yang enggak pakai masker. Ya, waktu kondisi begitu mungkin genting banget, sampai lupa pakai masker segala macam,” jelasnya. Adapun sebagian kondisi kerumunan warga juga terjadi saat genangan masih tinggi. Sebagian orangtua, misalnya, membiarkan anak mereka bermain pada lokasi genangan di wilayah Cengkareng.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta Sabdo Kurnianto menyampaikan, warga diarahkan untuk tidak berkumpul demi mencegah penularan Covid-19. BPBD menyediakan tenda pengungsian sesuai dengan protokol kesehatan Covid-19 untuk berjaga-jaga. Ada tenda terpisah untuk pengungsi umum, tenda kelompok rentan (ibu hamil, warga lansia), dan tenda kontak erat/terduga Covid-19.
Menurut Sabdo, ada lokasi pengungsian alternatif yang juga disediakan oleh pihak lurah setempat. Pemprov DKI Jakarta juga menyiagakan petugas kesehatan/sukarelawan kesehatan dan gugus tugas wilayah setempat. Petugas diminta rutin melakukan disinfeksi lokasi pengungsian secara teratur dan menyediakan fasilitas cuci tangan.
Pengungsi juga mendapat tes cepat antigen dari petugas dinas kesehatan. Apabila ada yang positif Covid-19, mereka segera dirujuk ke fasilitas kesehatan terdekat. ”Semua fasilitas tes dan lain-lain dijamin Pemprov DKI selama warga di lokasi pengungsian. Kami juga sudah gencar sosialisasi lewat berbagai kanal,” katanya, Kamis (28/1/2021).
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan menyatakan, protokol memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan (3M) adalah hal yang tidak bisa ditawar dalam situasi pandemi. Sebab, risiko penularan tetap ada ketika banjir sekalipun.
Apabila sulit berjaga jarak, tindakan yang paling minim dilakukan adalah tetap memakai masker dan cuci tangan. Hal itu lantaran setiap orang tidak pernah tahu terjadinya penularan saat kontak fisik atau berbicara dengan orang lain. Risiko penularan harus disampaikan dengan cara yang mudah dimengerti publik.
”Pendekatan kepada warga itu tidak bisa hanya secara medis, tetapi juga secara sosiologis sehingga menyentuh pemahaman masyarakat umum. Pengurus warga harus benar-benar paham serta terlibat aktif dalam penanganan pandemi dan bencana banjir,” ucapnya.