Marak Penjualan Hotel di Tengah Jerit Keterpurukan Bisnis Penginapan dan Restoran
Pemasukan bagi hotel menurun karena tingkat hunian kamar anjlok. Bisnis meredup dan memicu pengurangan jumlah tenaga kerja. Sementara dalam sebulan, 125-150 usaha restoran juga tutup karena terdampak pandemi.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·5 menit baca
Beberapa hari terakhir, publik ramai membicarakan penjualan hotel di Indonesia. Hotel yang dimaksud mulai dari bintang tiga atau di bawahnya hingga bintang lima dan kelas yang lebih mewah. Harga jual hotel-hotel tersebut di situs jual beli daring berkisar di bawah Rp 100 miliar sampai di atas Rp 2,5 triliun.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta menilai wajar banyak hotel yang dijual secara daring, antara lain melalui lokapasar (marketplace), dan ditawarkan ke masyarakat dengan harga miliaran hingga triliunan rupiah. Hal itu menunjukkan betapa dalamnya empasan bagi sektor perhotelan akibat wabah Covid-19 yang disertai pembatasan aktivitas masyarakat.
”Itu wajar saja (penjualan hotel secara daring). Kalau tidak lewat itu, lewat apa? Kalau dulu, kan, biasanya lewat koran,” ujar Sutrisno Iwantono, Ketua Badan Pimpinan Daerah PHRI DKI, saat dihubungi pada Sabtu. Penjualan hotel yang marak merupakan kondisi yang logis akibat merosotnya pemasukan hotel-hotel.
Penjualan hotel secara daring, itu wajar saja.
Namun, Sutrisno menyebutkan, pihaknya tidak mewajibkan pengusaha hotel anggota PHRI untuk melaporkan rencana penjualan jika memang mereka hendak melepas kepemilikan sehingga tidak memiliki data berapa banyak hotel dijual di Jakarta selama pandemi. Penjualan hotel sejak sebelum pandemi sudah terjadi, tetapi menurut dia memang lebih banyak lagi yang dijual saat wabah.
Sutrisno mengatakan, pemasukan bagi hotel menurun karena tingkat hunian kamar anjlok. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sepanjang 2020, angka bulanan tertinggi untuk tingkat hunian seluruh kamar hotel berbintang di Jakarta dicapai pada Februari, yang berarti sebelum pandemi. Itu pun hanya 54,28 persen. Angka tingkat okupansi terendah terjadi pada April, yakni 19,84 persen.
Pada 2019, angka tingkat okupansi kamar hotel berbintang pernah mencapai 69,84 persen pada Januari, sedangkan angka terendah 50,51 persen pada Juni.
Sutrisno menuturkan, pihaknya juga tidak mengumpulkan data jumlah karyawan hotel yang terpaksa diberhentikan atau dirumahkan, tetapi penurunan okupansi pasti berbanding lurus dengan pengurangan tenaga kerja. Selain karena pengelola semakin sulit membayar gaji, jumlah karyawan yang terlalu banyak tidak efisien.
”Misalnya ada 100 kamar, dulu terisinya 80 kamar dan perlu mempekerjakan 50 orang, baik untuk membersihkan kamar, pelayanan, maupun makan. Sekarang terisinya 30 kamar, tentu tidak 50 orang lagi,” ujar Sutrisno.
Sebagian hotel di Jakarta tertolong karena dilibatkan dalam penanganan Covid-19. Sebelumnya, Wakil Panglima Komando Tugas Gabungan Terpadu Wisma Atlet Brigadir Jenderal TNI M Saleh Mustafa menyampaikan, 57 hotel dijadikan hotel repatriasi warga negara Indonesia yang baru saja kembali dari luar negeri dan diwajibkan karantina. Selain itu, lima hotel menjadi tempat isolasi bagi pasien positif Covid-19 yang tidak bergejala.
Saleh mengatakan, salah satu tujuan hotel digunakan sebagai tempat repatriasi ataupun isolasi pasien Covid-19 adalah untuk menghidupkan perekonomian. ”Namun, ada standarnya, itu langsung diawasi tim kami. Dengan digunakannya hotel tersebut, karyawannya dapat penghasilan, hotelnya pun bisa tidak tutup,” kata Kepala Staf Komando Daerah Militer Jaya ini.
Sutrisno sepakat bahwa pelibatan sejumlah hotel untuk program penanganan Covid-19 memang membantu hotel untuk bertahan hidup. Namun, jumlahnya terlalu sedikit, di bawah 10 persen dari total keseluruhan hotel di DKI.
Berdasarkan data BPS, pada 2019 ada 991 hotel di Ibu Kota, terdiri dari 397 hotel berbintang dan 594 hotel non-berbintang. ”Membantu bagi yang dapat, bagi yang tidak dapat, ya, tidak membantu,” kata Sutrisno.
Pengajar Program Studi D-III Perjalanan Wisata Universitas Negeri Jakarta, Khrisnamurti, belum mendapatkan informasi tentang penyebab utama semakin banyak hotel yang dijual selama pandemi ini. Namun, industri pariwisata memang salah satu industri yang paling keras terempas karena Covid-19.
Sebelum wabah, keunggulan hotel-hotel di Jakarta menurut Khrisnamurti adalah bisnis jasa pertemuan, insentif, konferensi, dan pameran (MICE). Namun, karena Covid-19 dan segala pembatasan aktivitas yang menyertainya, bisnis MICE meredup.
Khrisnamurti mengatakan, ini saatnya bagi para pelaku bisnis hotel lebih mendengar kebutuhan masyarakat guna menangkap peluang. Di luar negeri, hotel-hotel berjaringan besar banyak mengadaptasi kebiasaan baru dengan menawarkan paket menginap dalam waktu yang lama, misalnya sebulan, bagi tamu yang menjalani bekerja dari rumah. Kamar tidak hanya untuk tidur, tetapi juga beraktivitas sehingga segala layanan dan fasilitas membuat nyaman tamu untuk sekaligus bekerja di sana.
Di luar negeri, hotel-hotel berjaringan besar banyak mengadaptasi kebiasaan baru dengan menawarkan paket menginap dalam waktu yang lama, misalnya sebulan, bagi tamu yang menjalani bekerja dari rumah.
Namun, pengelola hotel di Jakarta tidak bisa langsung menerapkan strategi yang sama jika ingin menyasar orang-orang yang diwajibkan bekerja dari rumah. Hotel mesti menawarkan sesuatu yang tidak didapatkan di rumah, misalnya memiliki layanan yang membuat tamu lebih fokus bekerja.
Selain itu, lanjut Khrisnamurti, duduk bersama dengan pembuat kebijakan juga penting agar para pengusaha hotel saat menentukan langkah-langkah adaptif selaras dengan kebijakan pemegang otoritas, termasuk jika ada perubahan kebijakan.
Sutrisno menambahkan, pengusaha restoran juga sangat terpuruk. Sebagai gambaran, PHRI pusat melakukan survei pada September 2020 terkait kondisi restoran di seluruh Indonesia. Dari 4.469 responden, 1.033 restoran tutup permanen sehingga dari Oktober hingga sekarang diperkirakan 125-150 restoran tutup per bulan.
Karena itu, PHRI DKI memohon pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI setidaknya memberikan keringanan bagi para pebisnis hotel dan restoran. Mereka mengusulkan Pajak Layanan Hotel dan Restoran yang mesti disetor ke DKI atau PB1 sebesar 10 persen terhadap setiap layanan kepada konsumen tidak ditarik Pemprov agar bisa digunakan membantu perbaikan keuangan usaha.
Selain itu, PHRI DKI juga memohon pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk hotel dan restoran independen, membebaskan pajak reklame, serta mengurangi pembayaran biaya listrik dan air. Menurut Sutrisno, biaya listrik dan air rata-rata mencakup 10 persen-30 persen dari total pengeluaran.