Warga Pertanyakan Rencana Penerbitan Sertifikat Tanah Elektronik
Rencana pemerintah menerbitkan sertifikat tanah elektronik menggelinding bak bola liar. Pembicaraan warga mengenai hal ini meluas di berbagai kalangan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana penerbitan sertifikat tanah elektronik memicu pembicaraan hangat di kalangan warga. Terbatasnya informasi mengenai program itu memunculkan sejumlah pertanyaan.
Sebagian warga menyoroti salah satu dari empat poin Pasal 16 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik. Bunyinya, Kepala Kantor Pertanahan menarik sertipikat untuk disatukan dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkah pada Kantor Pertanahan.
Poin lain menyebutkan, Penggantian Sertipikat menjadi sertipikat-el (elektronik) termasuk penggantian buku tanah, surat ukur dan/atau gambar denah satuan rumah susun menjadi dokumen.
Sementara kata elektronik merujuk pada Penggantian Sertipikat-el dicatat pada buku tanah, surat ukur dan/atau gambar denah satuan rumah susun; dan Seluruh warkah dilakukan alih media atau pemindaian dan disimpan pada pangkalan data. Kementerian ATR/BPN menyebut surat tanah dengan sertipikat karena sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Adapun publik menyebutnya sertifikat merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Siti mumpuni (57), warga Ciganjur, Jakarta Selatan, tidak setuju penggantian buku sertifikat menjadi sertifikat elektronik karena kurang afdal keabsahannya. ”Lebih bagus sertifikat asli (manual berbentuk buku),” ujar Siti, Jumat (5/2/2021).
Ia justru berharap kementerian membenahi pengurusan sertifikat tanah agar lebih terjangkau. Itu berkaca dari pengalamannya yang terhambat biaya ketika akan mengurus sertifikat sehingga baru mengurusnya ketika ada pemutihan sertifikat tanah dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Warga lebih memilih ikut PTSL karena merupakan program sertifikasi gratis dari pemerintah. ”Kalau mengurus sendiri susah, bisa sampai puluhan juta karena lewat perantara. Balik nama saja bisa Rp 27 juta. Kalau PTSL, ada panitia dan hanya bayar administrasi,” katanya.
Veronica Tonce (53), warga Ciracas, Jakarta Timur, mempertanyakan untuk apa adanya sertifikat elektronik. Ada kekhawatiran bakal terjadi penyalahgunaan ketika sertifikat fisik ditarik ke badan pertanahan. ”Nanti enggak pegang yang asli bisa repot kalau ada klaim-klaim hak milik. Aturannya juga belum tahu seperti apa,” ucap Veronica. Dulu sertifikat tanahnya diurus lewat program pemutihan oleh pemerintah.
Sertifikat elektronik juga mendapat penolakan dari warganet. Drone Emprit, platform analisis media sosial, dalam analisisnya mencatat kecenderungan sentimen negatif. Warganet takut, marah, dan tidak percaya dengan peraturan sertifikat elektronik.
Topik itu mulai ramai menjadi perbincangan warganet pada 3 dan 4 Februari. Warganet dominan takut sertifikat asli ditarik lalu diganti elektronik, marah karena pemerintah selama ini dianggap belum mampu menjaga data pribadi, praktik suap masih marak, serta tidak percaya karena rawan penyalahgunaan dan tidak adanya perlindungan hak warga.
Tercatat ada 1.600 cuitan ketakutan, 403 cuitan marah, 158 cuitan tidak percaya, dan lainnya. Cuitan-cuitan itu membentuk kluster besar penolakan berdasarkan social network analysis.
Kementerian ATR/BPN menurut rencana akan mulai menerbitkan sertifikat elektronik tahun ini. Sehubungan dengan penolakan publik, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian ATR/BPN Yulia Jaya Nirmawati menyampaikan bahwa Kepala Kantor Pertanahan tidak akan menarik sertifikat di masyarakat.
”Sertifikat akan ditarik, disimpan di kantor pertanahan, dan tidak dikembalikan jika masyarakat ingin berganti ke sertifikat elektronik,” kata Yulia dalam dalam siniar ATR/BPN.
Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kementerian ATR/BPN Virgo Eresta Jaya dalam siniar yang sama menuturkan, pengubahan sertifikat menjadi sertifikat elektronik untuk layanan yang lebih baik, aman, cepat, dan efisien.
Pengurusan sertifikat elektronik melalui tiga jalur, yakni warga yang belum mempunyai sertifikat, warga yang sudah punya sertifikat untuk keperluan hak tanggungan, seperti meminjam uang ke bank, dan warga datang ke kantor pertanahan untuk verifikasi data.
”Jadi, bukan pegawai pertanahan datang menarik sertifikat di masyarakat. Pengubahan jika masyarakat yang memegang sertifikat datang untuk ditukar menjadi sertipikat elektronik,” ucap Virgo. Kementerian ATR/BPN menjamin keamanan data server sertifikat elektronik. Sertifikat elektronik dilengkapi kode batang atau QR code, hashcode atau identitas obyek, dan tanda tangan elektronik.
Kritik dan saran
Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat mengkritisi program sertifikat elektronik karena salah satu pasal mengatur sertifikat warga ditarik untuk disimpan menjadi warkah di kantor pertanahan.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyampaikan bahwa kebijakan itu kurang tepat karena warga akan kehilangan bukti fisik kepemilikan atas tanah, niatan digitalisasi sertifikat harus dilihat apakah jaringan internet di seluruh Indonesia telah memadai dan menjamin dokumen sertifikat dalam bentuk elektronik dapat diakses oleh warga, dan keterbatasan sumber daya manusia untuk penatalaksanaan sertifikasi elektronik.
Ia menyarankan, sebaiknya data sertifikat tanah warga dirapikan terlebih dulu. Setelahnya, baru sertifikat fisik didigitalisasi atau diubah ke dalam bentuk elektronik. Kendati demikian, sertifikat fisik yang telah disimpan oleh pemilik tanah tidak diambil kantor pertanahan karena akan timbul risiko pemalsuan atau penyalahgunaan oleh pihak yang tidak berhak. Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo akan meminta Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil menjelaskan program itu kepada Komisi II DPR.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika menyampaikan bahwa sertifikat elektronik bukan hal yang mendesak dan prioritas karena pendaftaran tanah sistematis di seluruh wilayah Indonesia belum dilakukan.
”Seharusnya konsentrasi dana APBN dan kerja kementerian diarahkan kepada usaha pendaftaran seluruh tanah di Indonesia, tanpa kecuali, baik tanah kawasan hutan maupun tanah nonkawasan hutan. Dengan usaha ini, terangkum basis data pertanahan yang lengkap sebagai dasar perencanaan pembangunan nasional ataupun sebagai basis pelaksanaan Reforma Agraria, khususnya Land Reform,” tutur Dewi.