Rugi akibat Bencana Lebih Besar dari Laba Pariwisata
Alih fungsi lahan kawasan Puncak membuat warga setempat semakin kehilangan akses terhadap lahan pertanian. Dampaknya, ada yang merambah hutan dan menjual tanah negara.
Oleh
Dhanang David Aritonang/Benediktus Krisna Yoga/Madina Nusrat
·6 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Kerugian akibat dampak bencana di kawasan Puncak jauh lebih besar dari penerimaan sektor wisatanya. Belum lagi selama puluhan tahun warga Puncak lebih banyak menjadi penonton kegiatan ekonomi di sana.
Badan Pusat Statistik menyebutkan 77 persen hotel di Bogor di Daerah Aliran Sungai Ciliwung ini. Dari data itu, sekitar 70 persen pendapatan pajak hotel dan hiburan Kabupaten Bogor berasal dari kawasan ini dengan total penerimaan Rp 174,5 miliar pada 2018. Angka itu lebih kecil dibandingkan potensi kerugian akibat bencana alam di Kecamatan Cisarua dan Megamendung sebesar Rp 500 miliar pada tahun yang sama, sebagaimana catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor.
Di kawasan Puncak, petani merupakan kelompok warga yang paling terpinggirkan, seperti terjadi di Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung. Warga di desa seluas 247 hektar itu umumnya petani. Namun, sebagian besar dari mereka tidak memiliki lahan pertanian sejak tahun 1990-an.
”Warga di sini menjual tanah untuk naik haji. Ketika mereka pulang haji, mereka sudah tidak punya tanah lagi (untuk bertani),” kata Kepala Desa Sukagalih Alwansyah Sudarman, awal Januari 2021.
Untuk bertani, warga memanfaatkan lahan tidur yang sebagian besar milik warga Jakarta atau daerah lain. Darto (55), salah satu petani di Desa Sukagalih, menggarap lahan 2.000 meter persegi milik orang Jakarta sejak 2003 untuk menanam cabai.
Dalam sekali panen, ia menghasilkan 1-3 ton cabai dengan hasil penjualan berkisar Rp 12,5 juta hingga Rp 37,5 juta.
Meski bertahun-tahun menggarap lahan itu, Darto tidak pernah sanggup membeli lahan itu. Saat ini, harga tanah minimal Rp 1 juta per meter persegi. Jika ingin memiliki lahan seluas 2.000 meter persegi yang digarapnya, ia harus menyiapkan dana tak kurang dari Rp 2 miliar. ”Saya tidak sanggup membeli tanah untuk bertani di sini,” ucapnya.
Harga tanah di desa ini sulit dikendalikan karena tingginya minat pembeli lahan di Puncak. Tanah yang digarap Darto, misalnya, sudah dua kali berpindah tangan. ”Selama saya menggarap tanah ini, sudah dua kali tanah ini berpindah tangan,” katanya.
Untuk bertani, lanjut Alwansyah, warga hanya dapat memanfaatkan lahan tidur di desanya yang telah dimiliki orang luar desa. Pemilik lahan ada yang dari Jakarta atau kota lain.
Merambah hutan
Sekitar 10 kilometer (km) di utara Desa Sukagalih, tepatnya di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, kondisinya tidak jauh berbeda. Sebagian warga setempat pernah menjadi perambah hutan, seperti ditemukan di Kampung Cibulao. Sekitar 5-10 tahun lalu, warga Kampung Cibulao masih banyak orang merambah hutan, menebang pohon untuk dijual atau dipakai sebagai kayu bakar.
Warga terpaksa merambah hutan karena penghasilan sebagai pemetik teh kurang dari Rp 30.000 per hari. Saat ini, upah pemetik teh di Desa Tugu Utara yang dikelola oleh PT Sumber Sari Bumi Pakuan naik menjadi Rp 32.500 per hari, tetapi tetap tidak memadai karena dalam sebulan hanya sekitar Rp 600.000 setelah dipotong hari libur.
”Dulu untuk memenuhi kebutuhan yang kurang dari perkebunan kami ambil dari hutan,” ujar Hendi (35), warga setempat.
Namun, sejak Kelompok Tani Hutan Cibulao berhasil mengajak warga kampung menanam pohon kopi sebagai upaya konservasi, lambat laun warga tak lagi merambah hutan.
”Untuk menghijaukan hutan, kami tidak hanya menanam kopi, tetapi juga tanaman keras lainnya, seperti alpukat. Kami juga menyediakan wisata alam, jelajah hutan dengan sepeda,” lanjutnya.
Sekitar 5 km di selatan Desa Tugu Utara, tepatnya di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kompas menemukan sejumlah buruh perkebunan dan petani penggarap perkebunan memperjualbelikan lahan perkebunan Gunung Mas milik PT Perkebunan Nusantara VIII.
Tim Kompas sempat mendapat tawaran tanah perkebunan seluas 3.000 meter persegi seharga Rp 300.000 per meter persegi. Jual beli ini pun direstui perangkat desa setempat. Pihak desa mengenakan biaya Rp 5.000 per meter persegi untuk kas desa.
Menanggapi temuan ini, Direktur PTPN VIII Mohammad Yudayat tak menampik bahwa ada oknum buruh perkebunan yang terlibat dalam jual beli lahan perkebunan. ”Ada istilah namanya biyong, makelar tanah. Bisa pegawai PTPN (pekerja perkebunan), mungkin ada. Pegawai kelurahan juga mungkin saja,” katanya.
Di desa ini, sebagian besar warga tidak ada yang memiliki lahan pertanian. ”Warga yang tidak punya lahan pertanian, kerja berdagang, kuli bangunan. Jadi, tanah di tempat kami ini sudah milik orang kota,” kata Umar (39), Ketua Kelompok Tani Telaga Tirta di Desa Sukagalih.
Sementara warga yang bekerja sebagai penjaga vila, menurut Umar, hanya sebagian kecil karena satu vila biasanya dijaga 1-2 orang saja. ”Misalkan saya diminta menunggu vila, itu bisa untuk mencari nafkah. Tetapi, itu kan hanya segelintir (orang) yang (mendapatkan) untung,” ujarnya.
Saking minimnya tanah yang dimiliki warga, Umar dan petani yang masih aktif harus meminjam lahan tidur milik orang luar desa. Di lahan ini, mereka melakukan penghijauan guna mengendalikan longsor. ”Desa ini tergolong lahan kritis, tetapi vila ada di mana-mana. Untuk penghijauan, kami hanya dapat menggunakan tanah orang Jakarta, dan itu harus izin,” ucapnya.
Partisipasi warga
Sejumlah pihak berpendapat, konservasi dapat terwujud selama ada pelibatan warga setempat. Cara ini, menurut peneliti di Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah IPB University, Febri Sastiviani, dapat mengatasi masalah sosial-ekonomi warga.
Febri mencontohkan konservasi hutan di Kampung Cibulao yang awalnya dipicu masalah ekonomi. Dengan menanam kopi di lahan kritis, warga bisa memperoleh penghasilan tambahan. Untuk memperkuat kemampuan warga dalam memproduksi kopi, lanjut Febri, mereka mendapat pelatihan mengolah kopi dan dipertemukan dengan penaksir kualitas kopi.
Mereka boleh membangun untuk akomodasi wisata karena Puncak tujuan wisata. Kita harus akomodasi kepentingan wisata. Namun, alamnya tetap harus dijaga.
Kegiatan ini membuat warga terdorong menjaga hutan dengan menanam kopi di lahan kosong. ”Jadi, krisis di Puncak bukan hanya krisis lingkungan, tetapi juga krisis sosial-ekonomi,” kata Febri.
Karena itu, menurut dia, dibutuhkan konsep wisata inklusif di Puncak. Jika masih mengandalkan wisata massal seperti yang ada sekarang, hal itu akan terus mendorong pendirian bangunan fisik. ”Kalau hutan rusak, bisnis mereka pun tidak akan jalan,” ujarnya.
Konservasi lingkungan membutuhkan dukungan warga sehingga masalah sosial-ekonomi mereka teratasi. ”Sosial-ekonomi warga harus dipahami. Apalagi di Puncak, untuk menghijaukan saja, petani harus pinjam lahan (tanah milik warga luar desa),” kata Kepala Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai-Hutan Lindung Ciliwung-Citarum Pina Ekalipta.
Ernan Rustiadi, ahli tata ruang IPB University, berpendapat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) merupakan institusi yang berwenang mengendalikan bangunan telantar. ”Ini menjadi ranah ditjen pengendalian tata ruang,” katanya.
Sulistya Ekawati, peneliti madya di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, pun memandang Pemerintah Kabupaten Bogor perlu mengkaji tingkat hunian vila dan hotel di Puncak. Sebab, satu hotel melati saja memakan lahan yang cukup luas untuk bangunan dan area parkir sehingga mengurangi penyerapan air ke dalam tanah.
”Yang saya amati, wisata di Puncak itu hanya laris di hari libur. Tidak semua hotel juga dikelola dengan baik. Bagus jika ada yang meneliti minat masyarakat untuk menginap di Puncak,” ujarnya.
Alih-alih mengendalikan, Pemkab Bogor tetap membuka tangan terhadap investor yang ingin mendirikan kondominium hotel di Puncak. ”Mereka boleh membangun untuk akomodasi wisata karena Puncak tujuan wisata. Kita harus akomodasi kepentingan wisata. Namun, alamnya tetap harus dijaga,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor Suryanto Putra.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengendalian, Pemanfaatan Ruang, dan Penguasaan Tanah Kementerian ATR/BPN Budi Situmorang membenarkan, tanah telantar bisa diambil negara asalkan izin peruntukan tanah itu lebih dahulu dicabut oleh pihak yang memberikan izin. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
”Sebelum kami ambil tanah itu, kami memberi peringatan dahulu pemiliknya agar tak menelantarkan. Tetapi, apabila tetap ditelantarkan, bisa kami ambil kembali,” ujar Budi.