Metamorfosis Kampung Kumuh Berlandaskan Kolektivitas Warga
Predikat kampung kumuh tidak lantas membuat warga di Kampung Inovasi Cimone dan Gerendeng Pulo, Kota Tangerang, Banten, terus terpuruk. Alih-alih pasrah, warga memutuskan turun tangan membenahi rupa kampung.
Predikat kampung kumuh tidak lantas membuat warga di Kampung Inovasi Cimone dan Gerendeng Pulo, Kota Tangerang, Banten, terus terpuruk. Alih-alih pasrah, warga memutuskan turun tangan membenahi wajah kampung. Kolektivitas antarwarga menjadi kunci lompatan besar kampung-kampung itu untuk bermetamorfosis menjadi kampung yang nyaman ditinggali.
Kini keberadaan kedua kampung tersebut bagaikan oase di tengah hiruk-pikuk Kota Tangerang. Kampung yang dulu turut menjadi bagian dari permasalahan kota sekarang berubah menjadi tempat warga sekitar melepas penat dan mencari hiburan.
Di Kampung Gerendeng Pulo, Karawaci, Kota Tangerang, tanaman hias dan peneduh berjejer di sepanjang jalan kampung. Di setiap rumah warga paling tidak terdapat lima jenis tanaman dalam pot. Di samping jalan masuk utama terdapat sebuah parit selebar 1,5 meter yang membelah kampung. Tanaman hias seperti pucuk merah, bugenvil, pepaya jepang, dan lidah mertua juga menghiasi tepian parit.
Di beberapa ruas jalan kampung, warga sekitar membangun pergola dengan tanaman menjalar di atasnya. Kehadiran pergola itu mampu meredam terik matahari. Tidak ketinggalan di tengah-tengah kampung ada sebuah lahan kosong yang ditanami sayur-sayuran serta tanaman hias. Di sekeliling tanaman hias itu terdapat beberapa kolam ikan.
Baca juga : Membangkitkan Rupa Kampung
Menyaksikan sederet keelokan tanaman hijau tertata dan nyaris tak ada sampah berserakan di jalan, warga luar barangkali tidak menyangka Kampung Gerendeng Pulo pernah memiliki masa lalu kelam.
”Dulu kampung ini dijuluki kampung kumuh,” kata Han Nio (65), salah seorang warga Kampung Gerendeng Pulo, Selasa (2/2/2021).
Han menuturkan, Kampung Gerendeng Pulo didiami mayoritas oleh warga kelas menengah ke bawah. Tahun 2017, kondisi jalanan kampung kerap becek saat musim hujan tiba. Sampah tak terurus dan berserakan di tepi jalan. Kampung tampak gersang lantaran belum banyak terdapat tanaman. Cuaca di siang hari terasa sangat sumpek dan panas. Selain itu, aliran got tidak tertutup sehingga menguarkan aroma tidak sedap.
Kondisi serupa dialami Kampung Inovasi Cimone, yang juga berada di kawasan Karawaci, pada tahun yang sama. Kampung tersebut berlokasi di tengah gang selebar kira-kira 1,5 meter. Wiwik (54), warga Kampung Inovasi Cimone, menyebut kampung tempat tinggalnya empat tahun lalu terkenal sebagai kampung kumuh.
Wiwik menggambarkan, dulu air got berserakan di mana-mana, warga buang air di jamban, dan gerobak dagangan warga diletakkan secara serampangan. Ditambah lagi lahan kosong yang ada di dalam kampung kerap menjadi lokasi warga membuang sampah secara sembarangan.
Permasalahan itu umum terjadi di kampung-kampung yang ada di kota besar. Nirwono Joga dan Dhaneswara Nirwana Indrajoga dalam bukunya, Membangun Peradaban Kota (2018), pernah mengulas hal tersebut.
Menurut mereka, kota-kota di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar. Kota telah memasuki fase urbanisasi kritis dengan pertambahan penduduk yang tidak terkendali, keterbatasan lahan kota, dan menjamurnya permukiman kumuh. Akibatnya, kota mulai mengalami defisit ekologis, kelebihan beban, semakin sesak dan sumpek, serta menghadapi ancaman banjir.
Dengan tingkat kepadatan yang semakin tinggi, kota harus mampu menjawab dampak urbanisasi sekaligus mengantisipasi, mitigasi, dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Wali kota atau bupati dituntut bersikap responsif, berpikir inovatif, dan bertindak kreatif untuk meningkatkan kualitas kehidupan kota dan mewujudkan kota bebas kumuh.
Kebangkitan kampung
Keprihatinan terhadap rupa kampung yang sedemikian terpuruk membayangi pikiran Suherman (38), Ketua RT 001 RW 002 Kampung Inovasi Cimone. Saban hari Suherman menyaksikan anak-anak kecil di kampungnya diintai bahaya karena bermain di tengah jalan kampung.
Kondisi itu terjadi karena Kampung Inovasi Cimone dulu tak memiliki ruang terbuka hijau sebagai arena bermain anak-anak. Di samping itu, ia tertegun melihat banyak warga yang membuang sampah sembarangan di lahan kosong tengah kampung.
”Makin lama makin jenuh melihat lingkungan kampung ini terus kumuh,” kata Suherman.
Baca juga : Menjemput Sejahtera di Kampung Topeng ”Desaku Menanti”
Suherman kemudian bergerak menggandeng karang taruna untuk membenahi kampung. Karena keterbatasan biaya, mereka membersihkan dan mempercantik kampung dengan barang-barang bekas. Panci-panci serta penanak nasi elektronik tak terpakai dimanfaatkan menjadi pot tanaman hias.
Penanaman tanaman hias juga menggunakan teknik hidroponik karena keterbatasan lahan. Menurut Suherman, cara memanfaatkan barang bekas dan teknik hidroponik mereka pelajari melalui kanal Youtube.
Tidak ketinggalan, mereka juga menyulap lahan kosong yang dulu dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah menjadi ruang terbuka hijau (RTH). Di RTH itu, warga Kampung Inovasi Cimone menanam sayuran dan beternak ikan lele. Pengelolaan RTH dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) bentukan warga. Anggota KWT secara bergiliran merawat tanaman sayur dengan rutin menyiram dan memberi pupuk setiap hari.
Selain sebagai lokasi menanam sayur-mayur, RTH juga dimanfaatkan sebagai taman bermain bagi anak-anak. Mainan anak di RTH itu juga dibuat dari barang bekas. Ban mobil dimodifikasi menjadi ayunan dan kotak kayu tempat penyimpanan buah diubah menjadi motor-motoran.
Setelah kampung tertata rapi, warga luar mulai berdatangan. Mereka mengincar lokasi-lokasi foto yang dibangun warga kampung. Mural dan juga tanaman hias menjadi obyek foto yang diincar warga pengunjung. Agar tidak monoton, lokasi-lokasi berfoto rutin diubah dalam jangka waktu tertentu.
Pada akhirnya kunjungan dari warga luar itu menggerakkan perekonomian warga Kampung Inovasi Cimone. Setelah dikenal luas, bantuan pun mulai berdatangan. Bantuan dari pihak luar itu kemudian dipergunakan Suherman untuk membangun balai warga dan ruang baca.
Kolektivitas warga
Upaya Suherman mengubah rupa kampung sempat mendapat penolakan di awal. Wiwik mengaku menyaksikan betapa Suherman harus ”berdarah-darah” dalam meyakinkan warga untuk turut serta memperbaiki kampung.
”Dulu warga masih cuek. Kan, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Pak Suherman berkorban dana, waktu, dan tenaga memulai perbaikan kampung dari awal,” kata Wiwik.
Baca juga : Hidup Mandiri di Kampung Sendiri
Sebagaimana karakter masyarakat urban, warga Kampung Inovasi Cimone, menurut Suherman, juga cenderung berwatak individualis. Setiap kali hendak mengajak warga turun tangan membenahi serta menata kampung, mereka merengut dan menyebut kegiatan itu hanya membuang-buang uang.
”Awalnya warga kurang antusias. Tetapi, saya gandeng karang taruna. Pelan-pelan dulu di awal. Akhirnya makin banyak warga yang ikut bergabung,” ujar Suherman.
Ketertarikan warga untuk bergabung dimulai saat mereka menyaksikan Suherman dan anggota karang taruna bahu-membahu membenahi kampung. Muncul perasaan sungkan dan tidak enak hati membiarkan Suherman berjuang sendirian.
Kegiatan gotong royong pun kemudian mulai berjalan. Dari sana warga pada akhirnya mengenal satu sama lain, hingga tidak disadari jumlah orang yang bergabung kian bertambah banyak. Baik warga pendatang maupun warga asli Kampung Inovasi Cimone berbaur menjadi satu membenahi kampung tanpa membeda-bedakan latar belakang masing-masing.
Kisah yang lebih kurang sama juga terjadi di Kampung Gerendeng Pulo. Di sana terdapat sekitar 235 kepala keluarga dari berbagai macam latar belakang. Perbedaan tidak menghalangi warga untuk menjadi satu dan bersama-sama terlibat dalam membenahi kampung.
Kunci agar warga kampung bersedia turut terlibat membenahi lingkungannya dengan cara menumbuhkan rasa percaya dan memiliki. Menurut seorang warga di sana, Hok Tjoan (46) atau akrab disapa Oce, setiap hari besar keagamaan, warga bersama-sama memasang ornamen yang identik atau menjadi ciri khas hari raya tersebut.
Pada saat Natal, misalnya, warga memajang hiasan pohon Natal di sekitar jalan masuk utama kampung. Demikian pula saat Imlek, warga beramai-ramai memasang lampion. Ketika Lebaran tiba, giliran ornamen lampu berbentuk ketupat yang dipasang warga.
”Itu membuat semua warga kampung merasa diakui dan pada akhirnya tumbuh rasa memiliki terhadap lingkungan dan sesama,” kata Oce.
Baca juga : Wahai Kota, Tangkaplah Peluang Tren Kebangkitan Beragama
Di samping itu, Han Nio mengutarakan, kolektivitas warga Kampung Gerendeng Pulo sudah terbentuk empat tahun lalu. Karena mayoritas warga merupakan golongan menengah ke bawah, mereka terbiasa saling membantu dan mengisi. Contohnya ketika Kampung Gerendeng Pulo meraih juara pertama dalam lomba kampung perilaku hidup bersih dan sehat. Setelahnya makin banyak tamu yang datang berkunjung melihat-lihat kampung mereka.
”Menyambut tamu-tamu itu butuh jamuan. Karena warga kebanyakan adalah golongan menengah ke bawah, jadinya mereka saling bantu untuk menyiapkan jamuan bagi para tamu,” ucap Han Nio. Dari momen itulah perasaan senasib sepenanggungan mulai tumbuh di dalam diri setiap warga.
Saat rasa memiliki tumbuh, upaya merawat dan membenahi lingkungan kampung menjadi relatif lebih mudah. Di Kampung Gerendeng Pulo, ada piket rutin menyapu jalan utama kampung. Setiap hari terdapat tiga warga yang bertugas piket. Selain itu, apabila ada pekerjaan gotong royong membersihkan lingkungan atau pekerjaan apa pun yang menyangkut lingkungan sekitar, umumnya akan dikerjakan pada Sabtu dan Minggu secara bersama-sama.
Kebersamaan warga di dua kampung itu pada akhirnya tetap terjaga hingga saat ini. Seperti ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, semangat kolektivitas antarwarga mampu mengubah kampung yang dulu buruk rupa menjadi menawan.