Kerusakan Puncak: Mulai Jalan Daendels hingga Jalan Berliku Menuju Pemulihan
Longsor dan banjir bandang bak suara tangisan alam Puncak yang tak terdengar. Kemolekan alam di kaki Gunung Gede-Pangrango, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, digerogoti kepentingan pariwisata.
JAKARTA, KOMPAS - Longsor dan banjir bandang bak suara tangisan alam Puncak yang tak terdengar. Kemolekan alam kaki Gunung Gede-Pangrango, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ini digerogoti kepentingan pariwisata yang menuntut keuntungan lewat pendirian vila, hotel, restoran, dan tempat hiburan. Di balik selimut kabut, alam dan orang-orang hidup dalam kondisi kritis.
Selama berpuluh tahun, kemolekan alam Puncak dikenal di bumi Nusantara hingga Eropa. Hamparan kebun teh, kabut yang kerap turun menyelimuti lereng serta lembahnya, serta hawa sejuk kekal memikat wisatawan. Kemolekannya diceritakan dari masa ke masa secara turun-temurun.
Restoran Rindu Alam yang tutup beberapa waktu lalu, jadi buktinya. Selama beroperasi, restoran yang didirikan di bibir lereng pada tahun 1980-an ini tak pernah surut pengunjung. Restoran ini menjadi salah satu tempat perhentian sejenak warga yang hendak menikmati kemolekan alam Puncak, sambil menunggu kabut turun merayapi lereng dan lembah.
Saking moleknya, pedagang kaki lima menjamur di sepanjang Jalan Raya Puncak sejak 40 tahun lalu. Pendirian bangunan di atas hutan lindung pun sudah menjadi isu pelanggaran tata ruang di kawasan Puncak kala itu (Kompas, 14 Mei 1985).
Ahli sejarah JJ Rizal, dalam sebuah diskusi daring tentang kemacetan di Puncak yang diadakan Kementerian Perhubungan pada akhir Desember 2020, mengungkapkan, awal permasalahan tata ruang di Puncak terjadi semenjak jalan raya yang dibangun pemerintahan Daendles, sekitar tahun 1811. Jalan Raya Puncak pada mulanya dibuka untuk kebutuhan perang.
"Ini historis bagaimana jalan raya bisa mengubah tata ruang. Pasca-Daendles tiada, Puncak jadi ruang eksplorasi pengetahuan para ilmuwan dan juga menjadi bahan penelitian orang Belanda. Setelah Kebun Raya Bogor dibuka, muncul abad baru yaitu abad turis. Orang ingin melihat hal yang jauh. Salah satu wisata andalan di luar Batavia yaitu wisata Puncak," ujar Rizal.
Lalu ada eksploitasi perkebunan dan pariwisata, mengganggu keseimbangan ekologi Puncak yang mengakibatkan daerah tersebut kehilangan ruang resapan.
Rizal mengatakan, pada 1937, aktivitas penelitian di kawasan Puncak semakin sedikit, dan digantikan oleh pariwisata. Pada tahun tersebut, terbentuk pula perkumpulan para pemilik hotel yang menguasai daerah Puncak hingga Sukabumi.
"Lalu ada eksploitasi perkebunan dan pariwisata, mengganggu keseimbangan ekologi Puncak yang mengakibatkan daerah tersebut kehilangan ruang resapan. Ini mendapat kritik dari MH Thamrin ketika itu, karena banjir mulai muncul di Jakarta," ucapnya.
Pelanggaran tata ruang di Puncak pun dinilai sebagai penyebab banjir di Jakarta pada 1986. Kala itu, Menteri Kehutanan Soedjarwo menyebut pembangunan vila di kawasan Puncak atau hutan lindung harus memperhatikan faktor lingkungan agar tidak menyebabkan erosi dan banjir.
Vila yang telanjur dibangun akan sulit ditata, tetapi dapat diupayakan agar air di sekelilingnya dapat merembes ke bawah atau ke tanah. Kebun teh Gunung Mas sebagai peninggalan pemerintah Belanda pun disarankan agar dijadikan hutan lindung (Kompas, 16 Desember 1986).
Pada 1984, Bendung Katulampa dioperasikan sebagai sistem peringatan dini terkait banjir kiriman di Jakarta yang berasal dari hulu daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung di Puncak. Dalam sebuah pemberitaan di Kompas disebutkan, dioperasikannya Bendung Katulampa dapat memberikan informasi 12 jam sebelum banjir kiriman dari Puncak tiba di Jakarta. Sebelumnya pemberitahuan banjir kiriman hanya dapat diketahui 6 jam sebelumnya, karena pintu air yang tersedia hanya ada di Depok. (Kompas, 16 Januari 1984).
Berpuluh tahun berselang, permasalahan di Puncak tetap tak jauh berbeda yakni seputar pelanggaran tata ruang. Di kawasan perkebunan Gunung Mas di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kompas menemukan lahan perkebunan yang dikelola PT Perkebunan Nusantara VIII ini diperjualbelikan oleh warga dan turut melibatkan perangkat desa.
Di area itu, terlihat tak kurang dari 10 bangunan villa dan asrama pendidikan agama. Bangunan itu milik warga, dan tokoh masyarakat. Berdasarkan informasi dari masyarakat, diduga ada bangunan yang dimiliki oleh mantan pejabat negara.
Video Terkait : Puncak, Jalan Raya Pos "Mas Galak" Deandels
Pihak PTPN VIII pun menyebutkan, ada banyak lahan perkebunan Gunung Mas yang diokupasi secara ilegal oleh warga, dan diperjualbelikan kepada berbagai pihak. Dari lahan perkebunan berstatus Hak Guna Usaha seluas 1.623 hektar, terdapat 291 hektar di antaranya diokupasi secara ilegal oleh warga.
Okupasi lahan perkebunan itu, menurut Sekretaris PTPN VIII Naning Diah Trisnowati, terjadi saat Reformasi. Mulanya, lahan perkebunan PTPN VIII di Puncak merupakan hasil nasionalisasi aset perkebunan teh bekas Belanda. Kemudian, PTPN VIII mendapat HGU pertama kali pada 1973 dan berakhir pada 1997.
"Lalu, pada 1998, ada euforia reformasi di mana tanah negara diokupasi secara besar-besaran oleh masyarakat," ujarnya, Rabu (20/1/2021).
Naning mengatakan, okupasi lahan secara ilegal ini menjadi cikal bakal jual beli lahan milik PTPN VIII oleh sejumlah pihak. Padahal, pada tahun 1997, PTPN VIII sedang mengajukan kembali perpanjangan izin HGU yang telah habis.
"Kami baru mendapat izin perpanjangan kembali pada 2004. Terjadi kekosongan kepemilikan lahan dari 1997-2004 sehingga masyarakat berasa berhak menguasai tanah milik perkebunan tersebut," ucapnya.
Naning menuturkan, okupasi lahan dilakukan oleh masyarakat dengan cara membabat tanaman teh dan menguasai fisik tanah tersebut. Okupasi ini diketahui oleh kepala desa setempat, namun dibiarkan.
"Padahal, pada 2004, kami kembali mendapat HGU dan sepenuhnya hak kami. Lalu terjadi penguasaan fisik oleh masyarakat dan menjadi garapan liar. Luasnya sekitar 291 hektar," ujarnya.
Direktur Utama PTPN VIII Muhammad Yudayat menjelaskan, okupasi tanah seperti ini kerap terjadi terhadap lahan BUMN. Hal tersebut dikarenakan banyak lahan BUMN belum dapat dikelola dengan optimal.
"Oleh sebab itu, untuk mengembalikan lahan tersebut, kami melakukan somasi sebagai langkah awal. Mereka (okupan) sudah kami minta keluar dari wilayah kami," ujarnya.
Perambahan
Kawasan Puncak, meliputi Kecamatan Cisarua dan Megamendung, tahun demi tahun dipadati bangunan vila, hotel, restoran, dan tempat hiburan. Dampaknya hampir separuh kawasan Cisarua dan Megamendung kini diselimuti lahan dengan status sangat kritis, dengan luas tak kurang dari 4.600 hektar.
Terhitung 2016, bencana alam di kawasan Puncak tak hanya longsor, melainkan juga banjir dan banjir bandang yang dapat terjadi 5-9 kali setahun.
Banjir bandang yang menerjang perumahan pegawai perkebunan teh Gunung Mas, PT Perkebunan Nasional VIII, Cisarua, pada Selasa (19/1/2021), pun berada di tengah area lahan Agak Kritis hingga Sangat Kritis. Tingkat erosi di area itu dan sekitarnya mulai dari sedang hingga sangat berat, sebesar 60 ton hingga 480 ton per hektar/tahun.
Sementara tingginya minat mendirikan vila di kawasan Puncak membuat tak sedikit warga setempat tak lagi memiliki lahan pertanian. Lahan pertanian yang mereka miliki dijual kepada pendatang setidaknya sejak tahun 1990-an.
Umar (39), ketua Kelompok Tani Telaga Tirta di Kampung Bojongkeji Kecamatan Megamendung, mengungkapkan, untuk melakukan penghijauan di desanya, kelompok ini harus meminjam lahan tidur dan halaman vila milik warga luar Puncak. Di desanya, warga umumnya sudah tak lagi memiliki lahan pertanian. Di RT 3 misalnya, hanya lima orang warga yang masih memiliki lahan pertanian dengan luas 500-2.000 meter persegi.
“Waktu saya sekolah dasar, tahun 1990-an, masyarakat di sini sudah membebaskan (menjual) lahannya ke orang Jakarta. Saya tidak tahu, apakah orangtua dulu terimpit ekonomi atau segala macamnya (sehingga menjual tanahnya). (Akibatnya), masyarakat Sukagalih ini tidak ada yang punya lahan luas lebih dari 5.000 meter persegi,” tuturnya.
Tak hanya permasalahan sosial, permasalahan kewenangan turut mewarnai memburuknya alam Puncak. Kawasan lindung Puncak, contohnya, tak hanya dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tetapi juga perusahaan perkebunan BUMN dan swasta. Pemerintah Kabupaten Bogor pun memiliki kewenangan menata pola ruang di Puncak. Masing-masing memiliki kewenangan atas tanah yang dikelola, dan sulit saling intervensi.
Sebagai contoh, pendirian resor di tepian cagar alam Telaga Warna, hulu Sungai Ciliwung, tak dapat ditertibkan oleh Pemkab Bogor. Penyebabnya, Cagar Alam ini ada di bawah pengelolaan KLHK.
Demikian pula perkebunan memiliki kebijakan sendiri dalam mengatasi okupasi ilegal di lahan perkebunannya. Padahal, perkebunan memiliki fungsi lindung.
Berbagai keputusan Presiden maupun peraturan Presiden terkait penataan ruang Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur), dari masa ke masa juga nyaris tak memberikan dampak menuju pemulihan bagi Puncak. Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek Puncak Cianjur pun dinilai tak efektif mengatasi permasalahan lingkungan di Puncak.
Kini lewat Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan Jabodetabek Puncak Cianjur, pemerintah pusat membentuk Project Management Office (PMO) Bopunjur yang diketuai oleh Menteri Agraria Tata Ruang/BPN untuk memadukan semua program pemulihan kawasan Puncak. BKSP Jabodetabek Puncak Cianjur pun melebur di dalamnya.
Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Budi Situmorang mengatakan, PMO Bopunjur tugasnya menggabungkan semua program supaya dapat diatur waktu dan tempatnya, termasuk apa saja program pemerintah daerah setiap tahun untuk kawasan Bopunjur. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, contohnya, juga akan membagi kegiatan sumur resapan di kawasan Puncak kepada PMO.
Untuk membagi proyek kegiatan kepada PMO, menurut Budi, dapat langsung dimasukkan programnya ke PMO. Kemudian PMO yang menentukan lokasinya. “PMO yang menentukan lokasinya. Tetapi tetap melalui identifikasi oleh ahli-ahli hidrologi kita,” jelasnya.
Budi optimistis, PMO Bopunjur dapat berjalan lebih efektif dibandingkan BKSP Jabodetabek Puncak Cianjur, dengan syarat semua institusi mau melebur ke dalam PMO. Dia mengakui, yang masih keberatan adalah Kementerian Dalam Negeri, dan hingga saat ini pihaknya masih dilakukan pendekatan.
“BKSP Jabodetabek Punjur itu, dari hasil evaluasi kami, itu nggak jalan. Karena ini (kegiatan di BKSP Jabodetabek Punjur) hanya tukar baju saja setiap hari (BKSP setiap tahun dipimpin kepala daerah secara bergantian). Hari ini DKI, besok Banten, besoknya lagi Jawa Barat. Apa yang dikerjakan? Hanya nongkrong nggak jelas. Sekarang kami action. Kementerian Kehutanan Lingkungan Hidup, Kementerian PUPR, gubernur, sekian puluh kabupaten/kota, dan Pak Menteri sudah siap,” ujar Budi.
Lewat PMO ini, menurut Budi, pihaknya berharap friksi antar-kementerian dapat berkurang, dan begitu pula friksi antar-gubernur dan bupati. Karena di dalam PMO juga ada TNI dan Polri. “Tetapi tentu PMO nggak mampu menjawab semua tantangan. Karena itu media perlu mengawasi,” jelasnya.