Warga di Kelurahan Cipinang Melayu, Makasar, Jakarta Timur, memanfaatkan lahan di kolong Tol Becakayu untuk bercocok tanam dan budidaya lele. Sebagian dari mereka adalah pekerja dan pelaku usaha yang terdampak Covid-19.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sudah empat bulan ini Suwadi (62), warga RT 003 RW 001 Cipinang Melayu, bercocok tanam di lahan kosong kolong Jalan Tol Becakayu. Setiap pagi hingga sore, dia datang ke lahan untuk mencangkul dan menanam bibit sayuran. Dia memanfaatkan lahan berukuran sekitar 4 meter × 10 meter di bantaran Kali Malang.
”Iseng-iseng saja ikut teman-teman yang sebelumnya sudah bercocok tanam di sini. Kalau nanti lahan ini dimanfaatkan untuk hal lain, saya siap digusur kapan saja,” katanya saat ditemui, Kamis (4/2/2021).
Suwadi sebelumnya memiliki usaha kuliner di sekitar Bandara Halim Perdanakusuma. Namun, pandemi Covid-19 membuat penghasilannya menurun drastis. Dalam sehari, dia pernah mendapatkan keuntungan Rp 150.000 saja. Padahal, idealnya dia harus mengantongi untung di atas Rp 1 juta agar usahanya tetap berjalan.
”Belum lagi buat bayar kontrakan ruko seharga Rp 18 juta. Hitungannya saya selama ini selalu rugi, tidak pernah untung. Akhirnya utang ke mana-mana buat menutup kerugian,” katanya.
Sembari menunggu masa pandemi Covid-19 berakhir, dia menyibukkan diri dengan bercocok tanam. Jika nantinya kondisi mulai normal, dia mengaku akan kembali fokus pada usaha kulinernya. Meski begitu, saat ini Suwadi belum merasakan keuntungan dari hasil bercocok tanam.
”Saya lagi menanam cabai sama kemangi. Belum ada yang panen, ini juga masih belajar,” ungkapnya.
Meski terlahir dari keluarga petani di daerah Wonogiri, Jawa Tengah, Suwadi masih merasa asing saat memulai menanam sayuran. Dia baru banyak mendapat pelajaran saat bergabung dengan Kelompok Tani Pilar Jati. Kelompok ini terdiri atas warga Cipinang Melayu yang tertarik untuk menyulap kolong tol menjadi lahan produktif.
Saat ini, Kelompok Tani Pilar Jati memiliki 22 anggota. Enam orang di antaranya tidak hanya mengolah lahan pertanian, tetapi juga mengelola budidaya lele menggunakan sistem biofolk.
Harun Haryadi (50), Ketua Kelompok Tani Pilar Jati, mengatakan, setidaknya enam anggota baru bergabung saat pandemi Covid-19. Mereka ikut mengolah lahan kolong tol menjadi area pertanian karena pendapatan rutin mereka menurun akibat pandemi.
”Ada yang dulunya tukang las, pedagang, bahkan karyawan swasta yang kena PHK. Mereka olah lahan di sini. Kalau sekarang sudah susah cari lahan lagi,” kata petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) Kelurahan Cipinang Melayu ini.
Harun mengungkapkan, pemanfaatan lahan kolong tol untuk area pertanian sudah berlangsung sejak 2018. Lama-kelamaan, lahan ini meluas seiring dengan banyaknya warga yang berminat untuk bergabung.
Ide ini berawal dari Lurah Cipinang Melayu Agus Sulaeman yang ingin menyulap kolong tol menjadi lebih tertata. Dulunya, area ini banyak dipenuhi sampah-sampah yang dibuang sembarangan oleh warga. Selain itu, parkir mobil liar turut memperburuk kawasan tersebut.
”Makanya sekarang diubah supaya lebih hijau. Itu saja masih ada satu-dua orang yang setiap hari buang sampah di sini. Enggak pernah ketahuan orangnya,” ungkap Harun.
Saat ini, area kolong Jalan Tol Becakayu sudah dipenuhi ratusan tanaman sayur-sayuran. Sebut saja kol, kangkung, bayam, sawi, selada, brokoli, labu, tomat, cabai, hingga terung.
Pada 21 Desember 2020, Kelompok Tani Pilar Jati mulai membudidayakan lele menggunakan sistem biofolk. Saat ini setidaknya tersedia empat kolam terpal biofolk di sana. Satu di antaranya digunakan untuk pemijahan. Setiap kolam berisi setidaknya 3.000 lele dengan berbagai ukuran.
”Dari situ paling separuhnya yang bisa diternak karena lele ini, kan, kanibal. Untuk mengurangi sifat kanibalnya, kami kasih makan teratur setiap pukul 07.00, 15.00, dan 21.00,” ujarnya.
Harun mengatakan, tanaman dan lele yang dikelola oleh Kelompok Tani Pilar Jati banyak dikonsumsi warga Cipinang Melayu ataupun di luar Cipinang Melayu. Warga tertarik membeli sayuran dan ikan lele dari kelompok ini karena harganya bersaing dengan harga pasaran.
Untuk 1 kilogram lele, Harun biasa menjual dengan harga Rp 25.000. Di pasar, 1 kilogram lele bisa dijual dengan harga Rp 27.000. Harga sayuran yang dijual oleh Kelompok Tani Pilar Jati juga diklaim lebih murah dibandingkan dengan harga pasaran.
”Kol kalau di warung satu ikat dijual Rp 3.000, di sini kami jual tiga ikat Rp 5.000. Bayam juga sama, satu ikat Rp 5.000,” katanya.
Uang dari hasil penjualan sayuran akan langsung masuk ke kantong si pengelola lahan. Sementara uang hasil penjualan lele masuk ke kelompok pengelola yang berisi enam orang. Penghasilan tersebut sebagian besar akan dibagi rata. Sebagian lagi digunakan untuk operasional.
Ke depan, Harun berencana menambah kolam biofolk di kolong Jalan Tol Becakayu, Cipinang Melayu. Kebetulan, masih banyak lahan yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya lele. Setidaknya, dalam waktu dekat dia akan menambah empat kolam lagi.
”Sekarang mungkin kami bisa panen 5 kilogram lele per hari. Kami mau tambah terus biar bisa menyuplai warung-warung pecel lele di sekitar Kalimalang. Satu warung setidaknya butuh 5 kilogram lele sehari. Kalau ada 10 warung berarti kami harus panen 50 kilogram per hari,” katanya.
Yanto (47), warga RT 001 RW 002 Cipinang Melayu, mengaku cukup terbantu dengan keberadaan kolam budidaya lele di kolong Jalan Tol Becakayu ini. Lokasi yang berseberangan dengan rumahnya membuat Yanto cukup sering membeli lele di sana.
”Harganya mungkin sama dengan di pasar, tapi biasanya dibanyakin lelenya. Selain itu lebih yakin juga karena kita, kan, lihat langsung ternak lelenya,” katanya.