Trotoar bukan tidak boleh dijamah PKL. Dengan pengaturan tegas dan penataan tepat, keberadaan PKL dan atraksi termasuk kegiatan budaya hingga taman kecil akan membuat warga betah dan mau berlama-lama di trotoar.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Trotoar di Jakarta, terutama di wilayah-wilayah ikonik pariwisata, telah beberapa kali menjalani pembenahan, mulai dari perlebaran, pemasangan tegel untuk membantu navigasi pejalan kaki buta, serta penataan taman agar menarik. Akan tetapi, okupasi trotoar baik oleh pedagang kaki lima, parkir liar, maupun pengojek tetap tidak terbendung.
Mari kita lihat kondisi trotoar di Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, yang menjadi ikon Ibu Kota, seperti di Jalan Cikini Raya, Jalan Wahid Hasyim, dan Jalan Agus Salim yang juga dikenal sebagai Jalan Sabang. Ketiga trotoar jalanan itu memiliki nasib yang sama. Mereka sudah diperlebar menjadi 2,5 meter sehingga semestinya nyaman untuk para pejalan kaki. Di atasnya juga dipasangi ubin-ubin kuning penanda jalan bagi pedestrian buta.
Namun, yang terjadi ialah hampir sepanjang jalan dipenuhi oleh pedagang kaki lima (PKL) dan mobil maupun serta sepeda motor yang diparkir di atasnya. Di Jalan Cikini Raya, titik teramai okupasi trotoar mulai dari seberang Stasiun Cikini sampai ke Taman Ismail Marzuki. Setelah itu, hingga Jalan Kalipasir, jumlah PKL dan parkir liar relatif berkurang.
Jalan Cikini Raya terkenal dengan deretan gedung bersejarah, kafe-kafe gaul, dan pusat-pusat kuliner yang menjadi ikon Ibu Kota, seperti bubur ayam, bakmi ayam, dan pusat PKL Megaria. Pada tahun 2015 sempat ada program mempercantik trotoar yang baru direvitalisasi ini dengan grafiti dan mural karya para mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (Kompas, 17 Desember 2015).
Di Jalan Agus Salim justru sepanjang ruas jalan dipenuhi mobil yang parkir. Demikian pula di ruas Jalan Wahid Hasyim, terutama di depan Gedung Sindo. Parkir liar bagi para pengunjung pertokoan ataupun untuk ojek daring yang beristirahat sembari menunggu pesanan di aplikasinya. Biasanya, ketika ada sekelompok ojek daring, juga ada penjaja kopi dan minuman panas keliling.
Beberapa PKL berdalih tidak berjualan di atas trotoar. Mereka mengatakan berjualan di area parkir milik ruko atau bangunan kantor tertentu. Salah satu contohnya Sarah (bukan nama sebenarnya) yang berjualan nasi bungkus di parkiran sebuah bank di Cikini Raya.
Secara teknis, kios Sarah tidak menyentuh trotoar. Meskipun begitu, ia mengakui tidak memiliki izin resmi berjualan, semua berdasar kesepakatan dengan ”orang dalam” di kantor tersebut. ”Kalau pihak kantor bilang hari ini jangan jualan dulu karena suatu hal, ya, saya nurut. Besoknya baru jualan lagi,” kata PKL yang sudah empat tahun berjualan ini.
Yongki, tukang ojek daring yang memarkir sepeda motornya di trotoar Cikini Raya, mengaku tidak memiliki pilihan. Wilayah tersebut tidak memiliki parkiran khusus atau selter gojek daring. Padahal, jalanan itu dipenuhi restoran dan kafe terkenal yang diminati konsumen pengguna layanan antar.
Mau tidak mau, tukang ojek berkumpul di trotoar sembari berharap ada pesanan yang masuk. Mereka duduk di atas trotoar sambil menyesap kopi panas dari penjaja keliling. Kebanyakan dari tukang ojek ini juga tidak memakai masker ketika berkumpul.
Di Jalan Agus Salim, kondisi trotoar tidak sebagus Cikini Raya. Di Cikini, meski ramai diokupasi dan ada tumpukan sampah di pojokan, trotoarnya mulus. Sebaliknya, trotoar Agus Salim atau Jalan Sabang ini tidak rata, bahkan bolong-bolong. Menelusurinya seperti tengah berjalan di labirin yang berliku-liku dengan risiko tersandung ataupun terjeblos becek.
Apabila di Cikini parkir motor merajai jalur pedestrian, di Agus Salim mobil-mobil manis nangkring di atas trotoar. Di antara kendaraan-kendaraan beroda empat ini ada PKL. Otomatis, tempat berjalan kaki yang paling ”leluasa” adalah di badan jalan dengan risiko diklakson dan diserempet mobil atau sepeda motor.
Rusli, pengunjung salah satu gerai cetak foto, mengatakan sebenarnya ia tidak setuju dengan memarkir mobilnya di atas trotoar. Akan tetapi, di jalan itu tidak ada lagi tempat parkir. ”Kalau begini bukan salah pengunjung, dong. Semestinya pemerintah menyediakan lahan parkir yang rapi,” ujarnya.
Tidak ada tempat
Camat Menteng Edi Suryaman mengakui wilayahnya sudah tidak lagi memiliki tempat untuk mengalokasi PKL maupun lahan parkir. PKL-PKL legendaris sudah diberi tempat di berbagai pusat kuliner, seperti Megaria, Thamrin 10, Kebon Sirih, dan Kampung Lima MH Thamrin. Mereka adalah PKL makanan yang terkenal dan selalu dicari oleh pembeli.
”Di pusat-pusat kuliner ini kuota PKL sudah terpenuhi, apalagi para pedagang juga tidak ingin menambah persaingan,” tuturnya.
Menurut dia, para PKL yang tersisa di trotoar ialah PKL baru atau PKL yang biasa berkeliling di wilayah Menteng lalu berhenti sejenak di jalan-jalan ternama itu. Mereka kerap bermain kucing-kucingan dengan aparat penegak kedisiplinan, seperti satuan polisi pamong praja.
Apalagi, di masa pandemi, satpol PP memiliki pekerjaan ganda selain merazia PKL dan parkir liar, juga melakukan operasi yustisi terkait penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Wilayah razia yang awalnya adalah jalan-jalan raya kini masuk ke pelosok permukiman guna memastikan tidak ada orang yang berkumpul.
Kendala lain, papar Edi, ialah tidak ada lahan parkir yang memadai. Jalan Agus Salim dan Kebon Sirih contohnya. PKL penjual makanan ikonik, seperti nasi goreng kambing dan sate, sudah ditempatkan di pusat kuliner binaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dari sisi ketertiban penjual sudah tidak ada masalah. Akan tetapi, para pengunjung yang mengkibatkan tidak ada tata tertib karena jumlah mereka banyak dan memarkir kendaraan di atas trotoar.
Trotoar bukan berarti tidak boleh untuk kegiatan selain warga berjalan kaki. Dengan pengaturan tegas dan penataan yang tepat, keberadaan PKL dan atraksi termasuk kegiatan budaya hingga taman kecil justru akan membuat warga betah dan mau berlama-lama di jalur khusus pejalan kaki tersebut.
”Dulu sempat ada usulan dari konsultan tata kota dan usaha kecil untuk membuat area parkir agak jauh dari pusat-pusat kuliner supaya pengunjung harus berjalan kaki menikmati suasana trotoar dan pertokoan, tetapi memang susah diterapkan. Budaya masyarakat kita maunya parkir di satu titik dan langsung memperoleh makanan di titik itu juga,” tuturnya.
Saat ini, upaya yang dilakukan Kecamatan Menteng ialah memblokade Jalan Agus Salim dan sudah diterapkan berkali-kali sejak mulai pandemi Covid-19. Edi mengatakan, hal ini lebih efektif dibandingkan menegur pemilik toko atau pengunjung. Sekalian saja jalan ditutup dan untuk mengaksesnya orang harus berjalan kaki.
Sementara itu, Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus mengeluhkan lambannya respons pemerintah. Pihaknya telah beberapa kali melaporkan okupasi trotoar di Jalan Wahid Hasyim ke Satpol PP dan Dinas Perhubungan Jakarta, tetapi hingga kini belum ada tanggapan.