Bencana di Puncak yang Kian Memuncak
Kawasan Puncak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, masih menjadi magnet bagi wisatawan. Kondisi ini ibarat pisau bermata dua, yakni memberikan pendapatan bagi warga sekitar sekaligus mengancam kelestarian alam.
JAKARTA, KOMPAS — Secara kasatmata, eksotisme alam di kawasan Puncak tak henti-hentinya menggugah warga berdatangan, utamanya untuk berwisata di sana. Tanpa disadari, ancaman bencana dari tahun ke tahun terus-menerus mengintai.
Pada awal tahun 2021, banjir bandang sempat menerjang Kampung Blok C dan Kampung Rawa Dulang, Desa Tugu, Cisarua, Kabupaten Bogor. Lokasinya tidak jauh dari kawasan wisata Gunung Mas, Puncak. Tim IPB University mengkaji, banjir bandang tersebut dipicu oleh longsoran gunung anakan Pangrango (Kompas, 30 Januari 2021).
Dua kampung tersebut terkena dampaknya karena berada di bawah area cekungan Sub-DAS Cisampai, hulu sungai Ciliwung. Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB University Ernan Rustiadi merekomendasikan agar aktivitas wisata dan permukiman dibatasi hingga berakhirnya puncak musim hujan.
Kendati demikian, pada akhir pekan lalu, masih banyak warga yang tetap antusias berkunjung ke Puncak. Salah satunya Setyo (32), warga Cileungsi, Kabupaten Bogor. Meski hujan, dia tetap berlibur ke kawasan Telaga Saat, Cisarua, Kabupaten Bogor. Dengan mengendarai sepeda motor, Setyo pergi bersama istri dan dua anaknya yang masih berusia 3 tahun dan 10 bulan.
”Kalau naik sepeda motor dari rumah sekitar 2,5 jam dengan waktu istirahat, tetapi terbayar capeknya karena anak-anak juga senang,” katanya saat ditemui pada Sabtu (30/1/2021).
Bencana hidrometeorologi yang terjadi awal tahun lalu bukan yang pertama dan sepertinya bukan pula menjadi yang terakhir. Harian Kompas mencatat, bencana yang sama juga merebak pada 1990-an.
Pada 20 Maret 1992, longsor memutus akses dari Jakarta menuju Bandung, Jawa Barat. Longsor yang terjadi di Desa Cijedil, Sugenang, Cianjur, tersebut menutupi jalan sepanjang lebih kurang 100 meter (Kompas, 21 Maret 1992).
Baca juga : Macet Bukan Halangan bagi Warga Berlibur ke Puncak
Bupati Kabupaten Cianjur saat itu, H Eddi Soekardi, menjelaskan, longsor dipicu oleh hujan yang turun dalam sepekan terakhir. Hal ini menyebabkan tanah di sepanjang jalan menuju Puncak yang kondisinya labil akhirnya longsor.
Kejadian serupa kembali terulang di kawasan Gunung Mas, Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, 13 Juni 1998. Longsor yang menutup area jalan sepanjang 10 meter ini menyebabkan arus lalu lintas dari Bogor menuju Cianjur tidak dapat dilalui kendaraan selama hampir 10 jam (Kompas, 14 Juni 1998).
Pada 9 Januari 2013, tebing di Jalan Raya Puncak, Kabupaten Cianjur mengalami longsor setelah dua hari sebelumnya sempat mengalami longsor kecil. Sepekan setelahnya, bencana longsor kembali melanda kawasan Puncak. Kali ini di Desa Cipayung, Megamendung, Kabupaten Bogor.
Longsor yang menghancurkan tiga rumah, satu mushola dan satu warung ini mengakibatkan enam orang tewas. Empat diantaranya merupakan satu keluarga, dimana rumah yang mereka tinggali berada di bawah tebing dengan kemiringan 45 derajat dan diapit aliran anak Sungai Ciliwung. (Kompas, 16 Januari 2013)
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menjabat saat itu, Sutopo Purwo Nugroho, menduga, longsor terjadi karena lemahnya penegakan tata ruang. ”Tak ada bangunan talut atau tanaman penguat dari tebing tersebut sehingga sangat mudah longsor. Struktur batuan dan jenis tanahnya gembur,” katanya.
Banyak pihak menuding, bencana hidrometeorologis yang kerap melanda kawasan di lereng Gunung Gede-Pangrango ini disebabkan oleh kerusakan lahan. Masifnya pembangunan hotel, vila, dan restoran di sana menyebabkan pembukaan lahan tak mampu dibendung. Padahal, hutan di kawasan Puncak berfungsi untuk menahan banjir, khususnya bagi DKI Jakarta yang berada di hilir.
Pandji Yudistira dalam buku Sang Pelopor: Peranan Dr. S.H. Koorders dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia menyebutkan, kawasan Puncak yang terletak di sekitar Gunung Gede pada masa pemerintahan Hindia-Belanda memiliki jenis-jenis flora yang beragam. Untuk mempelajari flora-flora yang ada di sana, pemerintah Hindia-Belanda bahkan mendirikan Kebun Raya Cibodas pada abad-19.
Para peneliti botani, zoologi, dan pertanian pun menjadikan lokasi cagar alam ini sebagai surganya penelitian. Tempat-tempat peristirahatan pun mulai dibangun, bersandingan dengan laboratorium-laboratorium penelitian. Kawasan puncak kemudian semakin ramai dikunjungi, seiring dengan dibukanya Jalan Raya Puncak oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels di masa yang sama.
Debit air meningkat
Restu Gunawan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa menyebutkan, penggundulan hutan yang terus meningkat di hutan pedalaman mengakibatkan debit air yang masuk ke Sungai Ciliwung semakin meningkat. Hal ini dapat terlihat dari kerusakan Bendung Katulampa yang terjadi pada tahun 1911.
Puluhan tahun berselang, debit air di Sungai Ciliwung semakin meninggi hingga kerap menyebabkan banjir di kawasan Bogor, Depok, Bekasi, dan Jakarta yang dilalui oleh Sungai Ciliwung. Setiap hujan tiba di kawasan Puncak, air tidak mampu meresap ke dalam tanah dan langsung menuju sungai.
Tahun 1996, luapan Sungai Ciliwung mengakibatkan banjir terparah dalam 20 terakhir di Jakarta. Sedikitnya, ribuan rumah terendam banjir dan empat orang dinyatakan meninggal dalam peristiwa tersebut. Genangan, diantaranya terlihat di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur dan Tebet, Jakarta Selatan (Kompas, 8 Januari 1996).
Setiap tahun sejak 2007, warga yang tinggal di sekitar Bendung Katulampa juga sudah mengeluhkan banjir. Padahal, sebelumnya para warga yang bermukim di hulu dari Sungai Ciliwung tersebut cukup jarang merasakan dampak banjir. Banjir biasanya mereka alami sekali dalam kurun waktu belasan tahun (Kompas, 19 Januari 2009).
Baca juga : Menguntai Antrean Panjang di Kawasan Puncak
Arsip Harian Kompas mencatat, permukiman di daerah hulu Ciliwung yang mencakup Megamendung, Cisarua, dan Ciawi (Kabupaten Bogor) serta sebagian kecil Bogor Timur dan Selatan (Kota Bogor) mencapai 2.170 hektar pada 2011. Jumlah ini naik dibandingkan tahun 2001 yang hanya mencapai 1.521 hektar. Hal ini berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Ketua Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Institut Pertanian Bogor Suryadarma Tarigan pada 2011 (Kompas, 15 November 2011).
Pada 1996, Pakar Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan Transtoto Handadhari pernah menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi kawasan Puncak kepada Harian Kompas. Menurut dia, rencana umum tata ruang (RUTR) dan rencana detail tata ruang (RDTR) kawasan Bogor-Puncak-Cianjur yang disusun 10 tahun sebelumnya terbukti tidak efektif.
Dia menilai, penyusunan RUTR/RDTR masih berorientasi pada pembagian lahan untuk alokasi kegiatan pembangunan. Padahal, yang terpenting dari RUTR/RDTR ini adalah kesepakatan hasil air agar bermanfaat dan tidak menimbulkan bencana di daerah hilir.
Pada 12 April 2000, Kepala Bagian Humas Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Helmy Gustian mengakui, banyak pelanggaran terkait dengan pembangunan di Puncak. Menurut dia, ada oknum-oknum tertentu yang menguasai lahan di Puncak untuk diperjualbelikan (Kompas, 14 April 2000).
Saat itu, pihaknya juga mengaku telah menerjunkan tim khusus untuk membongkar bangunan yang berdiri di atas lahan negara. Setidaknya terdapat 100 bangunan yang dibongkar dan 40 bangunan lain yang ditegur.