Abdul Rohim, Mengangkat Derajat Anak-Anak Pemulung
Pengalaman mengenyam kerasnya kehidupan sebagai anak jalanan menempa Abdul Rohim (36) untuk bertekad mengentaskan anak-anak pemulung dari kemiskinan. Jalur pendidikan dia tempuh bagi anak-anak ini.
Abdul Rohim (36) memahami betul kompleksnya permasalahan sosial yang dihadapi oleh para pemulung. Jerat kemiskinan yang mendera mereka perlu dihentikan. Salah satunya dengan memutus generasi pemulung. Melalui Yayasan ERBE, Abdul bermimpi agar anak-anak jalanan dapat merengkuh pendidikan yang layak.
Kepedulian Abdul terhadap anak-anak pemulung berangkat dari cerita kelam masa lalunya. Semua bermula ketika dia berusia sekitar 12 tahun. Abdul yang saat itu menjadi korban keretakan keluarga memutuskan untuk hidup di jalanan.
Berbagai hal pernah dia lakoni. Mulai dari mengamen, menjadi joki 3 in 1, menjadi tukang parkir, menyemir sepatu, hingga berjualan kantong plastik. Saban malam, Abdul harus rela tidur di emperan ruko, terminal, hingga stasiun bersama komunitas anak jalanan lainnya. Hal ini dia jalani hampir sepuluh tahun.
"Awalnya saya jadi anak jalanan di kawasan Jalan Gadjah Mada, terus pindah ke Pulogadung dan Kalimalang. Pernah saya tidur di Stasiun Gambir, malah dikerjain sama anak-anak di sana sampai dipukuli," ungkapnya saat ditemui di Jakarta, Jumat (29/1/2021).
Baca juga:
Memulung Nasib di Emperan Toko
Saking kerasnya kehidupan di jalanan, Abdul bahkan nyaris menjadi korban pelecehan seksual oleh sesama anak jalanan. Pengalaman itu dia dapatkan pada suatu malam saat sedang tidur di emperan ruko Jalan Gadjah Mada, Jakarta Pusat.
Bahkan, dia juga pernah diperdaya oleh preman-preman di sekitarnya untuk menjadi kurir narkoba dengan upah Rp 5.000. Belakangan, dia baru tahu bahwa bungkusan yang kerap dititipkan kepadanya berisi ganja.
"Di usia saya saat itu, saya enggak tahu itu barang apa. Saat itu saya dikasih uang Rp 5.000 sudah seneng. Saya baru tahu kalau barang itu ganja setelah abang-abang preman yang menyuruh saya, ditangkap polisi," kenangnya.
Abdul mengaku beruntung karena dirinya tidak ikut terlibat mengonsumsi barang haram tersebut. Meski kerap diperdaya, preman-preman tersebut tidak pernah sekalipun menjerumuskannya ke dalam dunia narkoba.
Satu-satunya tanda fisik yang menandakan Abdul pernah menjalani kerasnya hidup di jalanan adalah sebuah bekas tindik yang ada di telinga kirinya. "Tanda tindik ini yang mencirikan saya pernah ada di jalanan," ungkapnya.
Baca juga :
Sulitnya Mengentas dari Lingkaran Pemulung
Proses rehabilitasi
Pada tahun 2002, Abdul kemudian dipertemukan dengan salah satu pekerja sosial dari Rumah Singgah Setia Kawan Mandiri (Sekam). Pertemuan itu mengantarkannya bergabung dalam rumah singgah untuk menjalani proses rehabilitasi sosial.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Abdul. Di sana, dia cukup aktif mengikuti kegiatan-kegiatan pemberdayaan remaja. Lambat laun dia mulai meninggalkan kegiatannya sebagai anak jalanan.
"Saat awal-awal bergabung dengan rumah singgah, saya masih tetap mengamen setiap sore. Tapi lama-lama saya sudahi," katanya.
Di Rumah Singgah Sekam ini, Abdul yang sebelumnya sempat putus sekolah mendapatkan kesempatan untuk kembali mengenyam pendidikan. Tidak hanya sampai level SMA, dia bahkan sempat mendapatkan beasiswa untuk mencicipi pendidikan diploma III.
Dari sini, keinginan Abdul untuk membantu anak-anak jalanan mentas dari jerat kemiskinan semakin menguat. Karena merasa terbantu oleh para pekerja sosial, dia tergerak untuk melakukan gerakan yang sama.
"Saya tidak ingin anak-anak pemulung jatuh di lubang yang sama. Mereka berhak mendapatkan pendidikan dan lepas dari belenggu kemiskinan," ujar pemuda yang hingga kini masih menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Kesejahteraan Sosial, Universitas Binawan, itu.
Sadar dirinya butuh dukungan, Abdul kemudian mengajak beberapa teman kampusnya untuk melakukan aksi pemberdayaan anak jalanan secara sukarela. Area-area yang disasar saat itu adalah kolong-kolong jalan layang.
Dari situ, Abdul menggawangi lahirnya Komunitas Peduli Pendidikan Anak Jalanan. Seiring berjalannya waktu, komunitas ini kemudian berubah nama menjadi Komunitas Rumah Belajar yang fokus untuk mendidik anak-anak pemulung.
"Mengapa pemulung? Karena di sini masalahnya sangat kompleks. Dari kalangan pemulung inilah muncul tunawisma, anak jalanan, manusia silver atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) lainnya. Untuk menghentikan lingkaran ini, anak-anak harus mendapatkan akses pendidikan," katanya.
Baca juga:
Kompleksitas Fenomena Gelandangan di Indonesia
Rumah belajar
Pada tahun 2016, Abdul kemudian menjadikan Komunitas Rumah Belajar sebagai Yayasan Education, Religion, Bee, Entertainment (ERBE). Perubahan ini dilakukan karena banyaknya desakan dari berbagai pihak agar lembaga yang dikelolanya berbadan hukum.
"Sebelumnya kami sudah banyak menggalang dana dari berbagai pihak. Karena legalitasnya dipertanyakan kami akhirnya mendirikan yayasan," tambahnya. Soal adanya kata "bee" alias tawon, Abdul memaknaiknya sebagai upaya menebar kebaikan.
Yayasan ERBE, setidaknya sudah memiliki tiga rumah belajar hingga saat ini. Salah satunya berlokasi di RT 02/03 Rawadas, Pondok Kopi, Duren Sawit, Jakarta Timur. Lokasi rumah belajar ini sangat strategis karena terletak di tengah-tengah perkampungan pemulung Rawadas yang dihuni sekitar 700 keluarga.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan Yayasan ERBE, kebanyakan anak-anak pemulung di Rawadas tidak bersekolah. Salah satu yang mengganjal adalah minimnya kepemilikan kartu identitas seperti KTP dan Kartu Keluarga (KK) orangtua pemulung yang kebanyakan berasal dari daerah Karawang dan Indramayu, Jawa Barat. Padahal, dengan KTP, mereka bisa mengakses sekolah gratis di Jakarta atau mendaftar sebagai penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Melalui rumah belajar ini, anak-anak pemulung kemudian diberikan pemahaman betapa pentingnya pendidikan bagi mereka. Setiap hari Senin hingga Kamis, anak-anak pemulung diajak untuk mengikuti pengajian. Sementara pada hari Sabtu dan Minggu, mereka mendapatkan bimbingan belajar.
"Bimbingan belajar ini berisi pelajaran umum. Selain itu mereka juga dilatih untuk membuat prakarya. Harapannya prakarya ini bisa bernilai ekonomi. Saat ini kami masih butuh bantuan dari banyak pihak untuk memasarkan karya-karya mereka," katanya.
Untuk memfasilitasi kegiatan bimbingan belajar, Abdul menggandeng beberapa sukarelawan dari kalangan mahasiswa dan karyawan swasta. Di samping itu, Abdul juga dibantu oleh setidaknya delapan pendamping yang tersebar pada tiga rumah belajar.
Upaya Abdul dan pendamping-pendamping Yayasan ERBE untuk mendidik anak-anak pemulung bukan tanpa tantangan. Cibiran demi cibiran berkali-kali datang dari orangtua pemulung. Mereka lebih setuju jika sang anak ikut mengais rongsokan di jalan ketimbang belajar. Sebab, hal itu bisa menghasilkan uang.
"Kalau cuma belajar dapat apa? Kalau memulung kan dapat duit," ujar Abdul menirukan ucapan salah satu orangtua pemulung.
Baca juga :
Namun, Abdul enggan menyerah. Dia dan pendamping melakukan segala cara agar anak-anak tertarik belajar di rumah belajar. Salah satunya adalah dengan memberikan bingkisan berisi makanan ringan kepada anak-anak setelah mengikuti pembelajaran. Dengan begitu, anak-anak tertarik untuk datang sekaligus diizinkan orangtuanya.
Untuk merebut simpati para orangtua pemulung, Yayasan ERBE juga beberapa kali memberikan bantuan sembako dan membuat toilet umum yang layak. Yayasan ERBE, kini juga tengah memfasilitasi para pemulung agar bisa mendapatkan kartu identitas kependudukan.
Kini, mimpi Abdul belum usai. Dia bertekad tidak akan berhenti menyadarkan para orangtua dan anak-anak pemulung agar bisa terdidik dan mengentas dari kemiskinan. Dia bahkan bermimpi untuk menjadikan rumah belajar di Rawadas menjadi sekolah gratis untuk anak-anak pemulung. Namun, dia membutuhkan dukungan dari banyak pihak.
Abdul Rohim
Lahir : Cirebon, 12 Januari 1985
Istri : Ismayati Latifah
Anak : 2 orang
Pendidikan :
Jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Binawan (2018 - sekarang)
Pekerjaan : Pendiri/Ketua Yayasan ERBE