Pelatihan kewirausahaan menjadi salah satu upaya balai sosial supaya gelandangan berdaya dan tidak kembali ke jalanan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kewirausahaan menjadi salah satu upaya balai sosial untuk memutus mata rantai gelandangan kembali jalanan pasca-pembinaan di panti sosial.
Salah satu balai sosial yang mengupayakan keterampilan kewirausahaan tersebut ialah Balai Rehabilitasi Sosial Eks Gelandangan dan Pengemis Pangudi Luhur di Bekasi, Jawa Barat. Pada Senin (25/1/2021), ada 27 gelandangan dan pengemis di balai. Sepuluh orang di antaranya tengah bekerja di proyek jalan tol dan mitra.
Kepala Seksi Layanan Rehabilitasi Sosial Pangudi Luhur Ahmad Sahidin menyebutkan, pelatihan kewirausahaan sebagai pemberdayaan berlangsung dalam waktu yang bervariasi sesuai dengan kemampuan gelandangan dan pengemis untuk mandiri.
”Ada yang sepekan, sebulan, atau tiga bulan. Kami asesmen, apakah mereka sudah bisa kembali ke keluarga atau masyarakat. Kalau ke masyarakat, bisa salurkan untuk magang atau kerja di tempat usaha seperti bengkel motor, proyek, dan sebagainya,” kata Ahmad.
Balai menyediakan pelatihan, antara lain kuliner, budidaya ikan, tanaman hidroponik, berkebun, daur ulang sampah, bengkel, dan lainnya. Pelatihan berlangsung setiap hari agar gelandangan dan pengemis punya rutinitas.
Ahmad menuturkan, pelatihan sudah disesuaikan dengan kapasitas gelandangan dan pengemis yang notabene tingkat pendidikan rendah. Tujuan pelatihan ini supaya berdaya guna alih-alih menyulitkan.
Setidaknya balai sudah memiliki satu kebun berukuran setengah lapangan sepak bola di bagian depan dekat pintu masuk. Di situ tumbuh sayur mayur.
Balai juga memiliki setidaknya sepuluh kolam ikan, satu mesin untuk mengolah sampah, satu mesin pencacah bahan kompos, dan dua instalasi hidroponik.
Ke depannya balai masih memerlukan tambahan peralatan, misalnya tambahan alat pengolah sampah seperti milik pengepul agar hasil daur ulang punya nilai jual lebih; tambahan mesin pencacah supaya proses pembuatan kompos bertambah cepat; dan instalasi hidroponik supaya gelandangan dan pemulung bisa bekerja sama dengan pelaku usaha sebagai salah satu pemasok sayur mayur.
”Sudah saatnya belajar pemberdayaan ekonomi dan pemasaran. Kalau sekarang hasilnya kebanyakan untuk internal saja,” ujarnya.
Upaya itu supaya gelandangan dan pemulung berdaya bisa terwujud. Dengan demikian potensi mereka kembali ke jalanan berkurang.
Secara keseluruhan, balai mampu menampung 250 gelandangan dan pengemis. Akan tetapi, kapasitas tempat tidur yang tersedia baru 100-150. Balai menerima gelandangan dan pengemis dengan syarat, antara lain sehat jasmani dan rohani, usia 18-59 tahun, punya surat rekomendasi dari dinas sosial, rujukan perseorangan atau lembaga sosial.
Sebaliknya, panti sosial masih dianggap menakutkan bagi sebagian gelandangan. ”Di situ (panti sosial di Jakarta, tahun 2014), saya terkurung seperti di penjara. Tidak bisa ke mana-mana. Anak saya sakit di dalam, tetapi sulit dapat perawatan. Saya marah, tendang pintu dari tripleks sampai jebol,” kata Heni (38), gelandangan asal Kepulauan Bangka Belitung.
Firmansyah (50) alias Imang, tunawisma yang baru setahun hidup di Jakarta, khawatir masuk panti. Ditemui di kawasan Pinangsia, Taman Sari, Jakarta Barat, Imang yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di pasar, tidak mau hidup terikat di panti sosial.
”Saya pernah dengar sih, soal panti sosial itu. Kalau saya ditawari, saya enggak mau walaupun dapat tempat tinggal dan pelatihan karena hidup jadi terikat,” ujar pria yang mengaku berasal dari Surabaya, Jawa Timur, itu.
Tantangan
Balai sosial mendapatkan dukungan dari internal dan eksternal dalam pemberdayaan gelandangan dan pemulung. Kendati demikian, ada beragam tantangan.
Tantangan itu seperti lembaga merujuk gelandangan dan pemulung tidak sesuai kriteria seperti mereka datang dengan kondisi gangguan jiwa, lansia atau disabilitas; tidak punya dokumen kependudukan; serta berada di zona nyaman selama di jalanan.
Ahmad menyampaikan bahwa harus ada penguatan kerja sama. Ia mencontohkan, pemda di Jabodetabek bisa melakukan penertiban sehingga tidak ada ruang bagi gelandangan dan pengemis untuk kembali ke jalan.
”Mereka kadang menolak pembinaan karena lebih baik bertahan hidup di pinggir kali, kolong jembatan. Tidak banyak yang mau ikut pembinaan, mau bebas, tidak mau arahan,” ujarnya.
Di tengah situasi pandemi Covid-19 ini kegiatan balai tetap berjalan dengan protokol kesehatan ketat. Gelandangan dan pemulung wajib tes cepat dan terapkan protokol kesehatan.