Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bisa disebut sebagai primadona wisata di ujung ”senja”. Ini menandakan kawasan tak lagi bersinar karena potensi bencana alam kian mengancam.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sudah saatnya kawasan Puncak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, berbenah. Industri pariwisata di kawasan itu perlu dilihat ulang dengan menyesuaikan daya dukung lingkungan saat ini. Jika tidak, berbagai bencana alam kian mengancam keselamatan warga seperti yang terjadi berkali-kali.
Rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Bogor 2018-2023 dalam laman Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Barat menyebutkan bahwa kawasan Puncak menjadi daya tarik wisata dengan perpaduan alam, kebudayaan, dan kepurbakalaan.
Tak pelak, bertahun-tahun kawasan ini menjadi primadona, khususnya bagi warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Minimnya akses jalan menuju ke kawasan ini memicu kepadatan lalu lintas kendaraan yang jamak terjadi pada hari libur. Kenyataan ini hampir berulang ketika ribuan warga berbondong-bondong ke sana pada hari yang sama.
Pengajar Program Studi Perjalanan Wisata Universitas Negeri Jakarta, Khrisnamurti, menyebutkan, Puncak sebagai area konservasi dan pariwisata berkembang untuk memenuhi kebutuhan warga setidaknya 20 tahun terakhir. Puncak bertransformasi menjadi salah satu kawasan strategis di Jawa Barat dan tujuan berlibur yang berbeda bagi warga untuk suasana berbeda, seperti udara segar dari hiruk-pikuk kota-kota di sekitarnya.
”Seiring waktu tidak ada perencanaan pariwisata yang komprehensif. Hanya mementingkan segi ekonomi dengan efek penggandanya. Akibatnya membebani lingkungan hingga rusak dan terjadi bencana,” kata Khrisnamurti, Selasa (2/2/2021), di Jakarta.
Dua pekan lalu terjadi banjir bandang di kawasan Gunung Mas, Puncak. Kajian tim IPB University menyebutkan banjir bandang yang menerjang dua kampung di Cisarua, Selasa (19/1/2021), karena longsor di gunung anakan Pangrango. Longsor susulan berpotensi terjadi jika turun hujan berintensitas tinggi.
Tim merekomendasikan pembatasan aktivitas warga dan permukiman hingga berakhirnya puncak musim hujan. Tim juga meminta adanya pemantauan harian dengan teknologi jarak jauh di area rawan tanah longsor selama musim hujan sebagai langkah jangka pendek.
Sementara itu, rekomendasi jangka menengah dan panjang berupa pembangunan sistem pemantau rutin terpadu di kawasan rawan longsor, disediakannya area tangkapan air, serta sistem sempadan sungai yang memadai untuk antisipasi dan menampung potensi banjir bandang alami.
Paradoks
Pengembangan Puncak sebagai kawasan wisata bagaikan pisau bermata dua. Wisatawan yang ke sana berkontribusi pada bergairahnya perekonomian wilayah, tetapi di sisi lain menjadi beban lingkungan karena pembangunan infrastruktur tidak sesuai dengan peruntukan.
Sekian tahun berlalu, ketergantungan pada pariwisata di kawasan Puncak makin besar. Bahkan, upaya diversifikasi aktivitas wisata seperti paralayang, sepeda gunung, hingga buka tutup kawasan sesuai jam tidak membuahkan hasil.
Khrisnamurti menyarankan strategi pentahelix atau pemerintah, akademisi, pengusaha, masyarakat atau komunitas, dan media duduk bersama mencari solusi komprehensif. Sebab, persoalan Puncak bukan hanya tanggung jawab satu pihak maupun pemerintah daerah.
Kemacetan yang terjadi di kawasan itu setiap akhir pekan atau masa liburan justru membawa berkah bagi warga setempat. Di sisi lain, banyak pembangunan untuk menarik wisatawan yang bablas tidak sesuai peruntukan.
Karena itu, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan atau contoh dari negara lain. Misalnya, pembangunan area parkir terpadu sehingga warga berjalan kaki, naik bus gratis atau akses gondola untuk ke Puncak; berbayar untuk masuk kawasan sehingga menyaring wisatawan ke sana; dan alternatif wisata lain seperti Sentul dengan aktivitas jalan-jalan di alam terbuka tanpa membawa kendaraan sehingga meminimalkan kemacetan. ”Meskipun kesannya memaksa, tetapi di luar negeri, ke taman nasional atau area konservasi harus bayar mahal untuk biaya perawatan alam,” ujarnya.
Secara terpisah, antropolog Aris Arif Mundayat juga memandang daya dukung sosial kawasan Puncak sudah hampir mencapai klimaks. Puncak tidak bisa berdiri sendiri sebagai lokasi pelarian masyarakat Jabodetabek dari persoalan keseharian.
Perlu untuk menciptakan ruang rekreasi dan ruang sosial budaya yang nondiskriminatif. Ruang rekreasi, misalnya, bisa dibangun di tepi daerah aliran sungai karena masyarakat cenderung mencari tempat-tempat yang relatif sejuk. ”Ini belum pernah tersentuh dalam setiap pembahasan desain ruang publik, termasuk fasilitas rekreasi,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Puncak, Mengapa Diminati meski Macet Menanti-Menggali Solusi Persoalan Kawasan Puncak dari Berbagai Sisi” yang diselenggarakan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek, Selasa (29/12/2020), di Jakarta.
Pengembangan
Rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Bogor 2018-2023 menyebutkan, kawasan ini masuk dalam perencanaan Destinasi Pariwisata Nasional Bogor-Halimun dan sekitarnya. Begitu juga dengan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Gunung Gede-Pangrango dan Gunung Halimun-Salak serta Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional Bogor-Ciawi dan alam perkotaan Bogor-Depok.
Kabupaten Bogor juga masuk dalam perencanaan Kawasan Strategis Pariwisata Provinsi Ekowisata Alam Puncak dan sekitarnya; Kawasan Pengembangan Pariwisata Provinsi alam perkotaan Bogor-Depok dan sekitarnya, serta Ekowisata Gunung Halimun Salak-Gede Pangrango dan sekitarnya.
Hal ini menunjukkan penanganan kawasan harus melibatkan antarpemerintah daerah karena wisatawan dari tiap daerah punya karakter masing-masing. Salah satu hal yang perlu dibenahi, menurut Khrisnamurti, adalah mengurai kemacetan lalu lintas di Puncak dengan membatasi kunjungan wisatawan.
”Singapura, misalnya, membatasi pengunjung Universal Studio. Di tempat lain, pembatasan dengan sistem kode batang untuk akses masuk demi kenyamanan dan keamanan. Awalnya pasti susah, tetapi kalau tidak dipaksakan tidak akan jalan untuk mengatasi persoalan,” katanya.
Di sisi lain harus ada upaya menghidupkan usaha mikro, kecil, dan menengah. Caranya bisa lokalisir di satu titik atau beberapa titik, serta pelatihan dan pendampingan supaya mereka tidak hanya berjualan, tetapi juga menjadi pemandu wisata.
Namun, Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Kabupaten Bogor Boboy Ruswanto memandang bencana alam tidak begitu memengaruhi kunjungan wisata di Puncak. Keterpurukan pariwisata di kawasan itu dipicu oleh pandemi Covid-19 sebab pergerakan warga dibatasi. ”Sejauh ini, kejadian seperti banjir bandang tidak terlalu berpengaruh (terhadap kunjungan wisatawan),” ucap Boboy, Minggu (31/1/2021).