Penanganan Gelandangan Belum Sentuh Akar Persoalan
Urusan pemberdayaan gelandangan memang tidak mudah. DKI punya sejumlah langkah untuk mengurangi gelandangan. Sejauh mana langkah itu tepat?
JAKARTA, KOMPAS — Gelandangan masih menempati urutan pertama masyarakat kategori penyandang masalah kesejahteraan sosial di Jakarta. Kendati sudah ada peraturan daerah yang secara holistik menjamin kesejahteraan sosial, implementasi aturan yang setengah hati dinilai menyulitkan pengentasan gelandangan.
Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta mencatat, sepanjang 2020, masyarakat berstatus penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) mencapai 4.622 orang. Mayoritas, di antaranya, adalah gelandangan dengan jumlah 1.044 orang. Pada 2019, di mana jumlah PMKS lebih tinggi 22 persen daripada tahun lalu dengan angka 5.959 orang, gelandangan juga menempati urutan pertama dengan total 1.574 orang.
Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 16 Tahun 2019 tentang Standar Nasional Rehabilitasi Sosial, gelandangan adalah orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, dalam keterangan tertulis kepada Kompas, Minggu (31/1/2021), mengatakan, selama ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah melakukan berbagai hal dalam program pelayanan terhadap gelandangan. Pertama, dengan mengoptimalkan program penjangkauan atau penertiban gelandangan melalui Forum Kerja Sama Mitra Praja Utama di bidang kesejahteraan sosial. Kedua, melakukan penanganan bersama memulangkan gelandangan di Jakarta ke dareah asal.
”Ketiga, dengan program yang berkelanjuan, Pemprov menumbuhkan kesadaran masyarakat agar tidak berspekulasi datang ke Jakarta ketika tidak ada keterampiln yang memadai, jaminan pekerjaan, jaminan tempat tinggal, dan lainnya, kendati Jakarta bukan kota yang tertutup,” jelasnya.
Ia menambahkan, jauh sebelum pandemi, Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta telah memfasilitasi gelandangan di beberapa panti sosial dengan berbagai kategori atau latar belakang masalah dan daerah asal.
Contohnya, geladangan yang masih potensial diberi pembinaan di Panti Sosial Bina Karya Harapan Jaya, yang saat ini menampung 250 Warga Binaan Sosial (WBS). Mereka diberi bimbingan sosial dan pelatihan keterampilan serta dicarikan pekerjaan sesuai dengan kemampuan masing-masing pasca-proses pembinaan.
Orang telantar dengan kategori lanjut usia mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di empat panti sosial, yaitu Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1, 2, 3, dan 4. Total WBS di panti tersebut sebanyak 1.555 lansia.
Gelandangan dengan kategori orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) diberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial di tiga panti sosial. yakni Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 1, 2, dan 3. Total saat ini ada 2.369 orang.
”Semua itu merupakan bentuk kehadiran Pemprov DKI Jakarta bagi gelandangan. Mereka semua juga diberi NIK (nomor induk kependudukan) oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta dan layanan kesehatan oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta,” tutur Riza.
Selama adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB), Riza menambahkan, Pemprov DKI Jakarta juga banyak memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang hidup di Jakarta, meski tidak punya KTP Jakarta.
Tanggung jawab bersama
Ekonom Institute Development for Economics and Finance (Indef), Media Wahyudi Askar, berpendapat, penanganan gelandangan dan PMKS lainnya, sebagaimana diamanatkan undang-undang dan peraturan daerah, menjadi tanggung jawab bersama.
Peraturan Daerah Provinsi Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 4 Tahun 2013 tentang Kesejahteraan Sosial pun mengamanatkan kolaborasi antarpihak. Selain pemerintah, ada juga keluarga, komunitas, swasta, profesional, hingga pelayan kesejahteraan sosial.
Pemerintah memang memegang kunci dalam perlindungan PMKS, sebagaimana disebut di Pasal 9. Pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan upaya penjangkauan (Pasal 28-30), rehabilitasi (Pasal 31-35).
Kemudian, perlindungan jaminan sosial hingga advokasi hukum (Pasal 36-47), pemberdayaan sosial (Pasal 48-50), hingga penanggulangan kemiskinan (51-67).
Baca juga: Panti Sosial Belum Membuat Nyaman Gelandangan
Pemprov DKI Jakarta juga disebutkan senantiasa berkolaborasi dengan pemerintah pusat yang diwakili Kementerian Sosial (Kemensos), terlebih pada saat ada pandemi Covid-19.
”Pada saat Menteri Sosial dijabat Pak Juliari Piter Batubara, berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan, antara lain, memberikan bantuan alat pelindung diri (APD) dan pakaian kepada PMKS hasil penertiban atau penjangkauan. Termasuk di dalamnya gelandangan yang ditampung di lima GOR yang ada di lima wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta,” kata Riza.
Kemensos juga telah menerima rujukan gelandangan hasil penertiban atau penjangkauan Pemprov DKI Jakarta yang ada di GOR, untuk selanjutnya diberi serangkaian pembinaan atau pelayanan dan rehabilitasi sosial di balai milik Kemensos.
Kemensos pada saat yang sama bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Sosial DKI Jakarta dalam pemberdayaan 11 lembaga kesejahteraan sosial (LKS) atau yayasan yang menangani pemulung di lima wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta. Semuanya membantu pemerintah dalam melakukan pendampingan dan sosialisasi kepada para pemulung tentang bahaya dan cara pencegahan Covid-19.
Selain itu para pemulung diberi diberi APD dan layanan rapid tes Covid-19 dengan pendampingan 11 LKS tersebut.
Punya karakter tersendiri
Peneliti tentang gelandangan dan pengemis, Engkus Kuswarno, yang dihubungi dari Jakarta, menyebutkan bahwa kategori sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial berarti gelandangan dianggap sakit atau orang bermasalah. Padahal sudut pandang humanisme lain melihat adanya gelandangan karena ketidakmampuan negara mengurus sebagian warganya.
”Jangan dibalik, warga bermasalah berarti ada peran pemerintah yang tidak bisa mengelola dengan baik,” ujar Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran ini, Rabu (27/1/2021).
Engkus menuturkan, gelandangan punya ciri tersendiri, antara lain beraktivitas secara berkerumun, tidak mesti mengemis dan meminta bantuan sumbangan atau perhatian dari orang lain, menikmati kesendirian, dan berupaya mengambil atau mencari makanan sendiri.
Bahkan, sebagian gelandangan menjadi pemulung. Di samping bertahan hidup di perkotaan dengan mengais bukan meminta kepada orang lain.
Menurutnya ada beberapa hal yang luput dari perhatian pemerintah dalam menangani gelandangan. Mereka seperti warga kelas dua sehingga harga dirinya sering terabaikan; keluarga telantar setelah terjaring razia petugas karena tidak ada santunan; dan pelatihan dalam rehabilitasi sosial belum tentu menjamin keberlangsungan hidupnya.
”Mereka (gelandangan) juga homo ekonomikus yang punya kebutuhan. Tidak heran, mereka akan menghitung mana yang lebih menguntungkan. Di jalanan, kebutuhan harian tercukupi ketimbang hasil pelatihan seperti memijat, bengkel, atau lainnya yang sekarang terpukul pandemi,” katanya.
Di sisi lain, banyak dermawan di jalanan. Mereka ini rutin memberikan uang atau makanan kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial. Tak pelak, keberadaan gelandangan seperti lingkaran yang terus menerus berputar.
Ada sejumlah upaya mengentaskan gelandangan. Namun, upaya itu jalan di tempat karena minim data.
Pemerintah Kota Pekanbaru Riau, misalnya, mengesahkan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 12 Tahun 2008 tentang Gelandangan dan Pengemis. Dalam aturan ini, pemberi dan penerima uang didenda sebesar Rp 50 juta.
”Di Pekanbaru, memberi uang kepada gelandangan dianggap pelanggaran, ada perda-nya tetapi tidak berjalan dengan baik. Itu ranah polisi atau dinas sosial yang harus kelililing memantau,” kata Engkus.
Contoh lainnya, Kampung Pengemis di Kota Bandung, Jawa Barat. Kampung yang terletak di Kecamatan Sukajadi ini seharusnya bisa menjadi contoh pemetaan penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Hasil penelitian Engkus di situ antara lain ada batas-batas wilayah kerja atau operasi pemulung. Biasanya satu keluarga menempati satu area. Dari situ terbentuk pola dan komunitasnya masing-masing.
Selain itu, ada temuan banyak gelandangan yang hanya ingin memperbaiki hidup. Mereka ini prospektif sehingga butuh dukungan modal. Karena itu, pemerintah harus mendata gelandangan prospektif itu supaya tak kembali ke jalanan.
”Pemerintah dukung untuk berkembang. Selain pelatihan, ada dukung manajemen, permodalan, tempat, dan seterusnya,” ujarnya.
Upaya lainnya belajar dari Jepang yang tegas melarang penyandang masalah kesejahteraan sosial, seperti gelandangan atau pengemis masuk tindakan kriminal.
Jepang bahkan memberdayakan pensiunan atau lanjut usia dengan dikaryakan ke pekerjaan ringan tanpa beban pikiran. Contohnya petugas penunjuk arah di stasiun atau bandara.
Keberhasilan itu didukung mentalitas warganya yang selemah apa pun bisa menghasilkan sesuatu. Ada kebiasaan tidak bergantung pada orang lain untuk hidup yang dilatih sejak kecil.
”Masalah mentalitas juga perlu perhatian bukan hanya keterampilan dan razia. Hal itu supaya tidak kembali ke jalanan,” katanya.