Kepadatan kendaraan menuju kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, menjadi keluhan warga bertahun-tahun. Menurut mereka, kepadatan lalu lintas di kawasan itu sudah tidak masuk akal.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepadatan lalu lintas kendaraan setiap liburan selalu dikeluhkan warga yang berkunjung ke kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kepadatan kendaraan di kawasan ini sudah keterlaluan hingga mengurangi kegembiraan berwisata.
Warga menyampaikan berbagai pengalaman mereka saat berkunjung ke kawasan Puncak, Senin (1/2/2021). Keluhan tentang kemacetan dan kepadatan kunjungan selalu ada, bahkan tetap terjadi selama pandemi Covid-19.
Adrian Khaerul (30), pengemudi taksi daring di Daan Mogot, Jakarta Barat, terakhir terjebak macet di Puncak pada November 2020. Dia bersama keluarga harus berada di antrean mobil lantaran sistem satu arah berlaku pada Sabtu pagi. Sebagian waktunya terpaksa habis dipakai menunggu antrean demi bisa sampai ke kawasan Megamendung.
”Kalau sudah terjebak antre begitu, enggak bisa ngapa-ngapain lagi. Mesti sabar menunggu sampai tujuan. Kalau mau turun pun, mesti menunggu waktu satu arah naiknya selesai biar lebih mudah,” kata dia yang waktu itu mengunjungi wahana Cimory Riverside.
Menurut Adrian, kepadatan di Puncak tergolong tidak normal. Setidaknya dua kali kunjungan ke Puncak selama setahun kemarin dia mengalami macet berkepanjangan akibat dampak sistem satu arah.
Helda (21) juga sependapat. Mahasiswa lulusan perguruan tinggi di Bogor ini hapal betul momen macetnya jalur menuju Puncak setiap akhir pekan. Kendaraan begitu padat di sepanjang jalan, sedangkan jalur alternatif kini juga semakin padat.
”Kawasan itu menurutku sudah terlalu crowded. Tiap akhir pekan pasti dari kota menuju Puncak selalu padat di sepanjang jalan karena satu arah. Kalau mau lewat jalan alternatif yang sempit saja sudah ramai banget,” ujarnya.
Dengan kondisi seperti itu, Aditya Pratama (26) cenderung mengurungkan niat berwisata ke Puncak selama tahun 2020. Warga Tambora, Jakarta Barat, ini sudah terbayang dengan padat dan rumitnya situasi ketika berlibur ke sana.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menyebutkan, kondisi kemacetan di Puncak dapat dipahami lantaran ada sedikitnya sekitar 19.000 kendaraan yang melintas setiap akhir pekan. Dengan jumlah sebanyak itu, dia menilai perlu adanya kajian ulang terkait daya dukung wilayah. Hal itu untuk melihat apakah kawasan Puncak sudah kelebihan ”beban” serta risiko apa saja yang bakal muncul dengan kondisi sekarang (Kompas, 27/10/2019).
Selama 2017 tercatat sedikitnya 7,4 juta wisatawan Nusantara (wisnus) yang berkunjung ke Kabupaten Bogor. Warga Jabodetabek-lah yang menjadi pengunjung setia kawasan Puncak. Menurut laporan ”Penyusunan Strategi Pemasaran Pariwisata Kabupaten Bogor” (Edi, 2018), sebanyak 92 persen dari total wisatawan pada 2017 berasal dari Jabodetabek (Kompas, 3/1/2021).
Pakar tata ruang IPB University, Ernan Rustiadi, memandang perlunya tinjauan kembali terhadap daya dukung kawasan Puncak. Sebab, hal tersebut berkaitan dengan risiko kerusakan lingkungan yang mungkin akan terjadi di kemudian hari.
Menurut dia, tinjauan daya dukung itu mesti menyeluruh, mulai dari kawasan lingkungan, wisata, permukiman, hingga jalur transportasi. Seluruh aspek itu mesti dilihat apakah berimplikasi pada kerusakan lingkungan.
Seperti pada peristiwa banjir bandang yang melanda kawasan Gunung Mas, Ernan merekomendasikan pembatasan aktivitas wisata dan permukiman hingga berakhirnya puncak musim hujan. Pembatasan itu juga bergantung pada monitoring harian dengan teknologi pemantauan jarak jauh di area rawan tanah longsor.
Untuk rekomendasi jangka menengah dan panjang, kata Ernan, perlu dibangun sistem pemantauan rutin terpadu di kawasan rawan longsor, disediakannya area tangkapan air, serta sistem sempadan sungai yang memadai untuk mengantisipasi dan menampung potensi banjir bandang alami.
”Selain itu, menata ulang area permukiman dan wisata di sekitar Kampung Blok C, Kampung Rawa Dulang, dan sekitarnya berbasis pertimbangan geomorfologis dan daya dukung lahan. Juga mengembangkan sistem proteksi atau penghalang buatan dan biologi, seperti rumpun bambu,” tutur Ernan.