Pendekatan yang Keliru Menggagalkan Kampanye Kebiasaan Baru
Membangun kebiasaan baru harus dilakukan dengan pendekatan yang tepat. Tanpa teladan dari elite dan dialog yang cukup, kebiasaan baru hanya terwujud pada jargon.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski pandemi Covid-19 berlangsung hampir satu tahun, masih banyak warga yang belum terbiasa dengan kebiasaan baru. Kebiasaan untuk melindungi diri dari paparan virus itu belum menjadi kesadaran dalam kehidupan sehari-hari. Ahli dari lintas disiplin ilmu menyarankan pendekatan budaya kebiasaan baru benar-benar dapat terbentuk.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dalam laporan pemantauan kepatuhan protokol kesehatan secara nasional per 24 Januari 2021 menyebutkan 22,6 persen restoran, 18,9 persen permukiman, 12,5 persen jalan umum, 11,8 persen tempat olahraga publik, dan 7,1 persen tempat ibadah masuk kategori kepatuhan memakai masker kurang dari 60 persen.
Pemantauan dalam waktu sepekan itu juga mencatat 13,8 persen restoran, 12,9 persen permukiman, 12 persen tempat olahraga publik, 10 persen jalan umum, dan 8,7 persen tempat ibadah masuk kategori kepatuhan
menjaga jarak dan menghindari kerumunan kurang dari 60 persen.
L Meily Kurniawidjaja, ahli keselamatan dan kesehatan kerja, dalam diskusi ”Strategi Budaya Adaptasi Wabah Pandemi Covid-19” menyarankan adaptasi kebiasaan baru berbasis ragam budaya karena ada banyak kluster seperti keluarga, perkantoran, dan pasar dengan adaptasinya masing-masing.
”Panduan adaptasi harus diperkaya dengan pengalaman, pengetahuan, dan kesadaran sehingga bisa mengubah perilaku. Tidak selesai dengan rekomendasi dan instruksi saja,” ujar Meily, Kamis (28/1/2021).
Caranya dengan menampilkan karakteristik virus dan cara penularannya sesuai kluster. Misalnya penularan yang terjadi ketika makan bersama, berada di dalam mobil tanpa mengenakan masker meskipun satu keluarga, dan terpapar virus saat berada di ruangan berpendingin, kerumunan, ruangan tertutup, dan kontak langsung.
Dalam kluster-kluster, Meily mengategorikan tiga kelompok warga. Ada kelompok yang bandel pada adaptasi kebiasaan baru sehingga butuh tekanan seperti sanksi atau denda supaya terbentuk kebiasaan baru. Ada pula kelompok yang memperhitungkan untung dan rugi dari kebiasaan baru sehingga butuh pemahaman terus-menerus. Selain itu, kelompok yang dengan sendiri mengadaptasi kebiasaan baru karena tahu risiko pandemi.
”Tampilkan bahwa virus bisa dibawa dari tempat kerja, pasar, dan lainnya sehingga timbul kesadaran bahwa diri sendiri bisa membahayakan orang lain kalau abai pada kebiasaan baru,” katanya.
Yunita T Winarto, Guru Besar Emeritus Antropologi Universitas Indonesia, juga memandang imbauan dan kampanye adaptasi kebiasaan baru belum terinternalisasi dalam adaptasi keseharian warga di tengah pandemi. Salah satu penyebabnya ialah virus tidak kasatmata sehingga tidak mudah masuk dalam nalar dan tidak mudah percaya.
Oleh karena itu, gunakan pendekatan budaya lewat visualisasi dengan edukasi yang dialogis. Dari situ warga melihat mana yang salah dan benar sehingga beradaptasi.
”Mengubah perilaku tidak seperti membalikkan telapak tangan sehingga gunakan metode dialog dan partisipasi. Warga, tokoh masyarakat diajak, saling tegur, dan saling mengingatkan bahwa ada kebiasaan sosial baru di tengah pandemi,” ucap Yunita.
Hadi Pratomo, Ketua Tim Periset Pemberdayaan Edukasi dan Literasi Covid-19 untuk Perubahan Perilaku Komunitas Universitas Indonesia, menambahkan, pelatihan dan pendampingan akan efektif mengubah perilaku serta pranata sosial untuk kebiasaan baru. Sebab, warga butuh contoh konkret dari pimpinan atau tokoh masyarakat.
Adapun jumlah kasus positif harian bertambah 13.695 kasus sehingga total menjadi 1.037.993 kasus sejak Maret 2020. Data harian juga menyebutkan, sebanyak 10.792 pasien sembuh dan 476 orang meninggal. Pasien positif yang tercatat meninggal sejak kasus pertama sebanyak 29.331 orang.