Bayangan Rumit bagi Orang-orang yang Sakit di Masa Pandemi
Kekhawatiran warga semakin menjadi-jadi jika mereka menderita sakit di tengah pandemi Covid-19 yang belum terkendali. Sebagian dari mereka kesulitan mengakses layanan kesehatan, bahkan tidak bisa menjalankan usaha.
Oleh
ADITYA DIVERANTA / Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ilham (36) kerap panik saat Oktaviana (35) mengeluhkan nyeri di sekitar ulu hati beberapa pekan terakhir. Di tengah pandemi Covid-19, istri Ilham yang tengah hamil anak kedua itu justru sedang banyak keluhan. Nyeri yang istrinya alami kadang tidak kenal waktu siang ataupun malam.
Kepanikan Ilham bertambah karena saat nyeri istrinya kambuh, dia kesulitan mencari konsultasi layanan kesehatan. Pernah pada Selasa (19/1/2021) malam, Ilham harus berjuang meminta bantuan puskesmas setempat untuk rujukan rumah sakit. Hal ini tidak mudah lantaran banyak fasilitas kesehatan (faskes) yang penuh karena pasien Covid-19.
Ilham saat itu harus menunggu ambulans rujukan dari puskesmas hingga malam hari. Saat mendapat ambulans pun, satu rumah sakit sempat tidak menerima istrinya karena dianggap tidak berkondisi cukup parah.
”Saya khawatir waktu itu Istri kenapa-napa. Ditambah lagi satu rumah sakit waktu itu sedang tidak bisa menerima pasien. Istri saya dibilang enggak terlalu parah, padahal saya sudah panik sekali,” ucap warga Tambora, Jakarta Barat, Rabu (27/1/2021).
Selama beberapa pekan ini, makin santer kabar orang-orang yang kesulitan mengakses layanan kesehatan. Banyak pasien Covid-19 yang tidak tertampung rumah sakit, sementara keluarga Ilham yang tergolong bukan pasien Covid-19 juga kesulitan.
Selain Ilham, ada Hambali (39) yang juga kesulitan mengurusi kehamilan istrinya pada Desember 2020. Alih-alih bisa mengurusi kehamilan istri dengan aman, Hambali justru malah terkena Covid-19. Dia tertular persis saat istrinya selesai melahirkan.
Keadaan menjadi rumit karena Hambali, istri, dan bayi yang baru lahir ini diketahui positif Covid-19. Keluarganya diminta menjalani isolasi mandiri. Hambali meminta rujukan ke rumah sakit atau rumah sakit darurat Covid-19 Wisma Atlet, tetapi semuanya penuh.
Kondisi itu membuat keluarga yang tinggal di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, ini sulit mengisolasi diri di rumah. Karena kondisi ruang isolasi kurang laik di rumah kontrakan berukuran 4 meter x 5 meter, dia sampai meminta bantuan dari pengurus RT setempat untuk permasalahan tersebut.
Kardi (58), ketua RT setempat, turut kesulitan mencarikan fasilitas isolasi mandiri bagi warga. Saat Hambali berstatus positif, Kardi kelimpungan mencari ruangan untuk isolasi. Beruntung, dia mendapat pinjaman ruangan dari kelurahan setempat.
Meski begitu, Kardi khawatir apabila kluster keluarga seperti Hambali menjadi banyak. Sebab, dirinya tidak sanggup menyediakan ruang isolasi warga dalam jumlah banyak. Sementara, rumah sakit rujukan untuk pasien Covid-19 dikabarkan sudah tidak tersisa.
Kondisi yang dialami warga sesuai dengan angka kasus Covid-19 di Ibu Kota yang terus tinggi. Data per 27 Januari 2021, ada 22.301 kasus positif aktif setelah penambahan 1.836 kasus, sedangkan rata-rata kasus positif sepekan ini 14,9 persen di Jakarta. Rata-rata kasus positif itu belum aman apabila mengacu standar 5 persen menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, Selasa kemarin, menjelaskan, Pemerintah Provinsi DKI mengupayakan penambahan dan ketersediaan berbagai fasilitas, di antaranya rumah sakit, laboratorium, tempat tidur, ruang ICU, bahkan tempat pemakaman.
Menurut Ahmad Riza, tingginya angka keterisian tempat tidur di berbagai faskes karena Jakarta turut melayani 24-30 persen warga dari luar Ibu Kota. ”Artinya, kalau tanpa itu (pasien dari luar), posisi keterisian tempat tidur tidak pada 84-86 persen,” ujarnya.
Pandemi juga berdampak pada kegelisahan pengurus RT dan RW di Jakarta. Ketua Forum RT/RW DKI Jakarta M Irsyad menuturkan, para pengurus yang juga bertugas sebagai Satgas Covid-19 di lingkungan masing-masing ikut kelimpungan mengingatkan kepatuhan protokol kesehatan. Hal ini karena kondisi warga yang semakin jenuh dengan kebijakan pembatasan.
”Teman-teman dari RT dan RW merasakan warga sepertinya sudah jenuh. Mereka mungkin lelah dengan kebijakan pembatasan yang berlarut-larut. Walau kita sudah imbau, sulit untuk patuh karena sepertinya warga pun sudah capek,” ungkap Irsyad saat dihubungi Selasa siang.
Nunung Ratna (40), warga Palmerah, Jakarta Barat, mengeluhkan jenuh dengan kebijakan pembatasan yang berlangsung saat ini. Dia juga kurang mengerti terkait perubahan regulasi yang kini diganti dengan istilah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) untuk lingkup Jawa serta Bali.
Nunung selama ini hanya fokus pada kondisi keuangan keluarga yang kian terbatas. Dia hanya mengandalkan gaji dari suami, sementara usaha susu kedelai di rumahnya sedang sangat sepi. ”Kalau sekarang pokoknya fokus cari uang saja untuk keluarga. Anak saya ada empat. Kalau situasinya pembatasan terus-menerus, bagaimana mau bertahan hidup dan cari makan?” ucap perempuan itu.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi memahami kondisi warga sangat sulit dengan berbagai kebijakan pembatasan. Alangkah baik apabila warga menjaga diri tetap sehat selagi masa pembatasan. Sebab, kondisi warga tertular Covid-19 saat kasus sedang tinggi-tingginya akan menyulitkan layanan kesehatan.
”Kita coba rem mobilitas, dengan harapan terjadi penurunan kasus. Tingkat penularan juga akan menurun, yang menyebabkan kurva pandemi bisa melandai. Kami sangat berharap kondisi itu semua bisa terwujud,” ucap Nadia.
Dokter Umum Puskesmas Kecamatan Palmerah Hendi Tri Ariatmoko juga mengharapkan kedisiplinan warga terhadap protokol kesehatan. Kepatuhan warga akan banyak membantu kerja para petugas kesehatan yang sudah kewalahan menangani kasus Covid-19.
”Meski kini keadaan kian parah, saya harap warga tidak lelah untuk menjalankan protokol kesehatan. Lebih baik menjaga kesehatan diri daripada harus tertular Covid-19 dan menjalani perawatan berkepanjangan, apalagi kalau gejala malah menjadi parah,” jelasnya.
Persyaratan tes antigen sebelum masuk kerja membuat Rizka Nurlaili (25), warga Bintaro, Tangerang Selatan, memberanikan diri datang ke layanan kesehatan di tengah situasi pandemi ini. Waswas hasil tes positif melingkupinya seusai menjalani tes di Rumah Sakit Ibu dan Anak Cinta Kasih.
Sebelumnya karyawan swasta ini menghabiskan libur akhir hingga awal tahun ke Yogyakarta. Sepulangnya dari sana, manajemen mewajibkan tes antigen sebelum masuk kerja. ”Takut, tapi wajib supaya bisa masuk kerja. Kalau bukan syarat, sudah pasti tidak ke rumah sakit,” katanya.
Apalagi akumulasi kasus positif sejak Maret sudah mencapai 1juta. Aktivitasnya di luar rumah pun semakin berkurang. ”Ke kantor terus pulang ke rumah. Tidak jalan-jalan untuk sementara,” ujarnya.
Dina (24), karyawan swasta di Bandung, Jawa Barat, juga membatasi aktivitas di luar rumah karena kasus positif harian melonjak. Informasi sulit mengkases layanan kesehatan karena penuh kian menambah kewaspadaan supaya tak terpapar virus. ”Tidak berani nongkrong. Keluar kalau keperluan penting saja,” ucapnya.
Suparti (54), penjual makanan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pun sebisa mungkin menjaga kesehatan dengan ketat terapkan protokol kesehatan. Misalnya, membatasi obrolan dengan sesama ibu-ibu ketika belanja di kios sembako dan segera menghubungi dokter di salah satu klinik langganan jika ada anggota keluarga yang sakit. ”Pasti langsung pulang ke rumah setelah belanja sembako di warung tetangga. Kan, harus jaga jarak dulu,” katanya.
Kalau ada anggota keluarga yang sakit, Suparti menelepon dokter untuk jelaskan gejala sakit sehingga dapat arahan atau resep. Setelahnya meminta waktu bertemu di saat klinik tidak ramai untuk hindari kerumunan. ”Janjian datang ke sana kalau tidak terlalu ramai. Kalau ke sana ambil obat terus langsung pulang,” ujarnya.