Longsor susulan di gunung anakan Pangrango berpotensi terjadi jika hujan berintensitas tinggi. Permukiman di wilayah pegunungan, terutama di titik banjir, perlu ditata kembali dengan menguatkan aspek mitigasi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
Berdasarkan kajian tim IPB University, banjir bandang yang menerjang dua kampung di Cisarua, Kabupaten Bogor, Selasa (19/1/2021), akibat longsor di gunung anakan Pangrango. Longsor susulan berpotensi terjadi jika hujan berintensitas tinggi.
Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas IPB Ernan Rustiadi mengatakan, LPPM bersama Tim Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB, pada 21-23 Januari, mengkaji penyebab tanah longsor yang mengakibatkan banjir bandang di Kampung Blok C dan Kampung Rawa Dulang, Desa Tugu Selatan, Cisarua, Kabupaten Bogor, sebanyak empat kali dalam waktu satu hari.
Ernan mengatakan, secara geomorfologi Kampung Blok C dan Rawa Dulang berada di bawah area cekungan Sub-DAS Cisampai, hulu Sungai Ciliwung, yang dominan berlereng curam, berbahan induk vulkanik (piroklastik dan lava). Tanah yang mengandung material piroklastik bersifat lepas dan tidak stabil itu mudah bergerak.
”Area cekungan merupakan kawah purba. Longsoran itu membendung sungai. Hujan intensitas tinggi dan akumulasi air sungai dapat menjebol pembendungan air yang menyebabkan banjir bandang. Dari lokasi longsor ke wilayah terdampak berjarak sekitar 1,77 Kilometer. Kami tidak melihat secara khusus ada persoalan dari tata ruang, area longsor merupakan tutupan lahan hutan dan vegetasi tinggi,” kata Ernan, Selasa (26/1/2021).
Permukiman di wilayah pegunungan, terutama di titik banjir, perlu ditata kembali dengan menguatkan aspek mitigasi. (Ferrari Pinem)
Pascabanjir bandang, lanjut Ernan, lebar sungai 10-21 meter dari lebar awal 2-3 meter. Selain itu, berdasarkan analisis citra satelit dan foto udara menggunakan drone, ada potensi longsor susulan jika turun hujan dengan intensitas tinggi.
Ernan mengatakan, pihaknya merekomendasikan dalam jangka pendek untuk membatasi aktivitas wisata dan permukiman hingga berakhirnya puncak musim hujan dan monitoring harian menggunakan teknologi pemantauan jarak jauh seperti drone di area rawan tanah longsor selama musim hujan.
Untuk rekomendasi jangka menengah dan panjang, kata Ernan, perlu dibangun sistem pemantauan rutin terpadu di kawasan rawan longsor, disediakannya area tangkapan air, serta sistem sempadan sungai yang memadai untuk mengantisipasi dan menampung potensi banjir bandang alami.
”Selain itu, menata ulang area permukiman dan wisata di sekitar Kampung Blok C, Kampung Rawa Dulang, dan sekitarnya berbasis pertimbangan geomorfologis dan daya dukung lahan. Juga mengembangkan sistem proteksi atau penghalang buatan dan biologi seperti rumpun bambu,” kata Ernan.
Sementara itu, Koordinator Informasi Geospasial Tematik Bidang Kebencanaan Badan Informasi Geospasial (BIG) Ferrari Pinem mengatakan, permukiman di wilayah pegunungan, terutama di titik banjir, perlu ditata kembali dengan menguatkan aspek mitigasi.
Ferrari menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Nomor 41 Tahun 2007, wilayah terdampak bencana memiliki peruntukan permukiman rendah. Hal itu juga dilihat dari jenis ancaman bencana geologi yang ada, seperti gerakan tanah dan gempa bumi, sehingga perlu diantisipasi.
”Hal ini menegaskan bahwa wilayah permukiman yang berdiri saat ini memiliki potensi ancaman dari satu atau lebih bencana geologi sehingga sangat berisiko,” lanjut Ferrari dalam keterangan tertulis.
Ferrari melanjutkan, posisi Kompleks Gunung Mas terletak di subdaerah aliran sungai (DAS) Cisampai yang merupakan wilayah tangkapan hujan berbentuk cekungan mangkuk. Curah hujan yang tertangkap di atasnya dialirkan pada satu titik (outlet) dan keluar melewati Kompleks Gunung Mas.
Hal yang berpengaruh terhadap kejadian banjir bandang di Gunung Mas, jelas Ferarri, yaitu sub-DAS Cisampai yang berbentuk bulat. Jika hujan turun di seluruh sub-DAS, air hujan akan bertemu di satu titik pertemuan aliran secara bersamaan dan membahayakan lokasi di bawah pertemuan sungai, khususnya di area Komplek Gunung Mas.
”Langkah paling ekstrem bisa saja melakukan relokasi terhadap wilayah yang secara alami sangat berisiko karena berada pada zona yang sangat berbahaya dan sulit untuk dilakukan upaya mitigasinya,” kata Ferrari.
Bupati Bogor Ade Yasin mengatakan, perusahaan perkebunan dan perhutanan, salah satunya PTPN VIII, bekerja sama dengan BIG dalam pemanfaatan lahan dalam upaya melihat adanya potensi bencana.
”Kami mengimbau, perusahaan-perusahaan seperti Perhutani untuk bekerja sama dengan BIG untuk melihat potensi-potensi bencana. Jika wilayah terdeteksi zona merah, kawasan itu jangan ditempati warga dan ditanam teh atau tanaman lainnya, kecuali tanaman vetiver,” kata Ade.