Delman Wisata Butuh Aturan Komprehensif, Bukan Pelarangan
Jakarta Animal Aid Network menyatakan tidak berhak menghalangi orang mencari nafkah. Akan tetapi, harus ada penanganan serius demi kesehatan masyarakat, kesejahteraan para kusir, dan kesehatan kuda itu sendiri.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Keberadaan kuda pekerja, khususnya kuda penarik delman di lokasi wisata, masih menimbulkan banyak permasalahan, meskipun dulu sempat tertangani sebentar. Apabila keberadaan mereka tidak dikelola dengan baik bisa mengakibatkan masalah kesehatan manusia serta binatang, pencemaran lingkungan, dan citra buruk bagi Ibu Kota.
”Pada tahun 2009, kami sempat mendata ada 740 ekor kuda di Jakarta yang dipakai bekerja di daerah-daerah wisata. Tindakan itu dilakukan setelah kami mendapat banyak laporan dari wisatawan, terutama di Monas (Monumen Nasional) bahwa kuda-kuda itu tampak kelelahan, sakit, dan kotor,” kata salah satu pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Karin Franken ketika dihubungi pada hari Selasa (26/1/2021).
Ia mengungkapkan, pada 2010-2012 organisasi ini sempat menyediakan tempat peristirahatan bagi para kusir dan kuda di wilayah Puri Kembangan, Jakarta Barat. Pasalnya, kuda-kuda ini kebanyakan datang dari wilayah pinggiran Ibu Kota dan harus menempuh perjalanan yang jauh. Belum lagi di tempat seperti Monas tidak ada fasilitas penanganan limbah kuda sehingga bau air kencing dan kotoran menguar. Tempat istirahat ini tidak bisa dilanjutkan karena dipermasalahkan oleh sejumlah pihak di Puri Kembangan.
Kami tidak berhak menghalang-halangi orang mencari nafkah. Akan tetapi, harus ada penanganan serius demi kesehatan masyarakat, kesejahteraan para kusir, dan kesehatan kuda itu sendiri. (Karin Franken)
Pada 2016, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, melarang keberadaan delman di Monas. Keputusan itu berbasis penelitian Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (KPKP) yang menemukan bahwa hampir semua kuda yang beroperasi di sana mengidap cacing parasit Strongyloides sp. Parasit ini bisa menular ke hewan lain dan juga manusia. Kuda beserta delman kemudian dipindahkan untuk menjadi atraksi di sekitar Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan (Kompas, 10 April 2016).
Dilema perkudaan di Monas ini sebenarnya sudah terjadi sejak 2004 ketika Menteri Pariwisata I Gede Ardika protes tentang bau busuk kencing dan kotoran kuda. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menghentikan aktivitas delman selama tiga hari guna membersihkan Monas dari kotoran kuda.
Akan tetapi, para kusir mengadu kepada Gubernur Fauzi Bowo meminta diperbolehkan kembali menjaja jasa di Monas karena merupakan sumber nafkah mereka (Kompas, 31 Maret 2016).
Kelola dan benahi atraksi wisata
”JAAN tidak meminta pemerintah melarang delman beroperasi di Jakarta karena kami tidak berhak menghalang-halangi orang mencari nafkah. Akan tetapi, harus ada penanganan serius demi kesehatan masyarakat, kesejahteraan para kusir, dan kesehatan kuda itu sendiri,” tutur Karin.
Ia menjabarkan, organisasinya meminta Pemprov Jakarta membuat peraturan berlandaskan undang-undang, misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 302 dan 406 mengenai perlindungan hewan. Di dalam aturan daerah mengatur tata kelola hewan pekerja, termasuk atraksi wisata.
Harus ada pelatihan para kusir atau pawang binatang mengenai dasar-dasar perawatan hewan. Apabila hewan sehat, mereka bisa bekerja membantu pemiliknya mencari nafkah dengan baik. Penyelidikan JAAN di sejumlah kusir dan pemilik kuda, apabila hewan itu menderita luka, diolesi dengan isi baterai. Jika hewan tampak lemas, bukannya diberi minum dan pakan, malah ditusuk-tusuk dengan bambu dengan kepercayaan mengeluarkan ”darah kotor”.
”Kami ingin agar para pemilik kuda dan kusir bisa memiliki keterampilan menjaga kuda atau hewan pekerja lainnya dan terus dilanjutkan kepada generasi berikutnya. Keterampilan ini tidak harus memerlukan biaya yang banyak. Mayoritas dari pemilik kuda dan kusir tidak memahami karakteristik dan kebutuhan hewan tempat mereka menggantungkan mata pencarian. Akibatnya, kalau hewannya sakit, pemiliknya semakin merugi,” tutur Karin.
Pembentukan koperasi atau organisasi kusir dan pemilik kuda juga penting guna mempermudah pengelolaan delman. Melalui keberadaan koperasi pemerintah bisa membantu menyediakan fasilitas istirahat dan penanganan limbah kuda, baik di kandang pribadi maupun di lokasi wisata.
Poin berikutnya ialah meminta Pemprov Jakarta memetakan wilayah pariwisata yang memang cocok memiliki atraksi delman. Tempat seperti Monas sejatinya tidak layak karena berada di tengah kota yang dikelilingi kendaraan bermotor dan polusi udara. Selain itu, di sekitar Monas tidak memungkinkan adanya tempat pengumpulan dan pengolahan limbah kuda yang aman bagi masyarakat.
”Kami memang memulai di Jakarta, tapi ini misi nasional. Kesejahteraan hewan bukan suatu kemewahan, tetapi kebutuhan untuk kota dan masyarakat yang sehat serta sejahtera,” ujar Karin, mengacu kepada video JAAN yang viral di media sosial, yaitu seekor kuda ambruk karena kelelahan dan sakit di Cianjur, Jawa Barat. Bukannya ditolong, kuda itu malah ditendangi oleh orang-orang agar cepat bangkit.
Standar kandang
JAAN bekerja sama dengan Suku Dinas KPKP Jakarta Selatan memulai proyek rintisan pengelolaan kuda pekerja. Kepala Sudin KPKP Jaksel Hasudungan Sidabalok mengatakan, ada dua fokus yang sedang dilakukan. Pertama ialah pemasangan tapal kuda dan yang kedua merupakan standar operasional kandang.
Penemuan Sudin KPKP Jaksel ialah kebanyakan tapal kuda dipasang secara keliru. Ada juga tapal yang sudah aus, tetapi tidak diganti. Kuda mengalami kesakitan jika harus berjalan di atas aspal tanpa tapal yang baik, apalagi sambil menarik delman. Ini yang membuat kuda keras kepala dan tidak mau bergerak. Akibatnya, kusir harus memukul kuda. Padahal, ia tidak menyadari permasalahan ada di tapal.
”Standar kandang mencakup aspek lebih luas, yaitu kesehatan lingkungan, kesehatan manusia, dan kesehatan hewan,” tutur Hasudungan.
Ia mendata ada 60 kuda dipelihara di Kelurahan Ragunan. Biasanya mereka menarik delman berkeliling di Pasar Minggu, Pesanggrahan, dan Kebayoran Lama. Kandang-kandang mereka hampir semuanya tidak layak. Ada yang terlalu dekat ke rumah, ada pula yang terlalu dekat ke kali atau sumber air lainnya.
Pemilik umumnya membuang limbah kuda ke sungai atau menjadikannya pupuk kandang. Kedua hal ini membuat tanah dan air tercemar berbagai bakteria dan parasit, termasuk tetanus yang membahayakan nyawa manusia.
”Kotoran kuda harus diolah dulu di tempat khusus yang tidak langsung menyentuh tanah dan air agar bisa menjadi pupuk kandang. Kami bermaksud melatih para pemilik kuda teknik ini,” ucap Hasudungan.
Selain itu, juga akan ada pelatihan mengenai pemberian pakan seperti rumput dan dedak serta vaksin. Standar kandang yang baik ini membuat kuda tidak terkena penyakit dan manusia yang berinteraksi dengannya tetap sehat.