Pelayanan itu diusahakan di intensive care unit (ICU) transisi, high care unit (HCU), dan intermediate care unit (IMCU) di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, mengingat Wisma Atlet tidak memiliki ICU.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Meski tidak dirancang sejak awal untuk menangani pasien bergejala berat, Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet terus berupaya memenuhi kebutuhan perawatan intensif karena kian banyak pasien berkondisi buruk di sana. Itu lantaran ketersediaan unit perawatan intensif atau ICU di RS rujukan Covid-19 makin langka, sedangkan kondisi pasien yang hendak dirujuk dari Wisma Atlet harus dijaga tetap stabil.
Jika mengacu prosedur, RSDC Wisma Atlet mesti merujuk pasien-pasien bergejala berat ke RS-RS rujukan Covid-19 yang dilengkapi ICU, mengingat fasilitas di Wisma Atlet disiapkan untuk perawatan pasien yang maksimal bergejala sedang. Namun, Koordinator RSDC Wisma Atlet, Mayor Jenderal TNI dokter Tugas Ratmono, menyebut pihaknya makin kesulitan untuk merujuk pasien bergejala berat tepat waktu akibat tingkat keterisian ICU di berbagai RS sudah begitu tinggi.
“Karena itu, kami mengoptimalkan yang ada di Wisma Atlet, melaksanakan pelayanan ICU sampai jika ada yang perlu dirujuk dan sudah ada tempatnya, kami rujuk. Kalau tidak, konsekuensinya kami dengan tim ICU betul-betul mengoptimalkan di sana,” tutur Mayjen Tugas dalam siaran yang ditayangkan dari gedung Badan Nasional Penanggulangan Bencana di Jakarta, Senin (25/1/2021).
Faktanya, pasien yang mengalami desaturasi atau penurunan kadar oksigen dalam darah terus meningkat. (M Arifin)
Tugas menuturkan, pihaknya mengoptimalkan pelayanan berstandar ICU meski tidak memiliki ICU. Pelayanan itu diusahakan di ICU transisi, high care unit (HCU), dan intermediate care unit (IMCU) di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. Para perawat pun terus dilatih untuk andal dalam penanganan berstandar ICU karena sangat berbeda dengan standar tindakan di kamar perawatan biasa.
Humas RSDC Wisma Atlet Letnan Kolonel Laut dokter gigi M Arifin menambahkan, ICU transisi yang berkapasitas 12 tempat tidur dan HCU dengan 39 tempat tidur sekarang sudah terisi penuh oleh pasien. Tempat perawatan khusus yang bisa diisi tinggal IMCU, yang berkapasitas 50 tempat tidur dan saat ini terisi sekitar separuhnya.
Meski RSDC Wisma Atlet sudah punya kemampuan pelayanan berstandar ICU, Arifin memohon agar masyarakat tidak mengendurkan kepatuhan menjalankan protokol kesehatan. Sebab, semakin tinggi jumlah kasus aktif Covid-19, makin tinggi pula jumlah pasien bergejala berat. “Faktanya, pasien yang mengalami desaturasi (penurunan kadar oksigen dalam darah) terus meningkat,” ujar dia.
Jika kondisi demikian terus berjalan, tingkat kematian dikhawatirkan kian naik akibat pasien terlambat mendapatkan ICU. Tugas mengatakan, sebelumnya, jika ada pasien yang meninggal saat dirawat di Wisma Atlet, itu karena pasien datang sudah dalam kondisi berat. Kini, terdapat pasien yang meninggal karena tidak kunjung mendapat RS rujukan.
Saat ini, terdapat dua kompleks Wisma Atlet di Jakarta yang digunakan sebagai tempat penanganan pasien positif Covid-19. Pertama, Wisma Atlet Kemayoran dengan empat menara yang dikhususkan bagi pasien-pasien bergejala ringan hingga sedang serta bergejala berat yang menunggu dirujuk. Kedua, Wisma Atlet Pademangan di Jakarta Utara dengan dua menara, untuk pasien-pasien tanpa gejala atau bergejala ringan dan berisiko rendah.
Tingkat keterisian Wisma Atlet Kemayoran Senin pagi ini lebih rendah dibanding Minggu (24/1) pagi, dari 84,02 persen menjadi 77,63 persen. Jumlah pasien di sana pada Minggu pagi 5.036 orang sedangkan hari Senin pagi 4.653 orang. Dari total 5.994 tempat tidur, sekarang tersisa 1.341 tempat tidur.
Meski menurun, angka tingkat hunian tersebut masih lebih tinggi dari batas aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO), yakni 60 persen.
Sementara itu, hanya dalam kurang dari sepekan, okupansi Menara 9 di Wisma Atlet Pademangan sudah 47,88 persen. Dari kapasitas 1.746 tempat tidur, sebanyak 836 tempat tidur sudah terisi.
Adapun tingkat hunian Menara 8 Pademangan sebesar 85,92 persen. Sebanyak 873 pasien tanpa gejala atau bergejala ringan berada di sana, sedangkan ketersediaan tempat sebanyak 1.016 tempat tidur.
Terkait upaya menekan laju penularan Covid-19 di masyarakat, dosen sosiologi perkotaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansah, meminta pemerintah untuk tetap mengedepankan pembatasan aktivitas, bukan pelarangan. Sebab, pelarangan aktivitas berpotensi menimbulkan masalah sosial mengingat pandemi sudah berlangsung hampir 11 bulan.
Ia mencontohkan, warga yang tinggal di rumah petak di permukiman padat sangat sulit mengikuti anjuran untuk tetap di rumah saja. Warga tersebut berisiko mengalami stres.
Tantan merekomendasikan optimalisasi teknologi digital guna mengawasi kepatuhan pada ketentuan pembatasan kegiatan. Misalnya, kamera pengawas (CCTV) dipasang di restoran dan kafe serta terhubung ke Satuan Tugas Penanganan Covid-19 setempat. Dengan demikian, petugas bisa memastikan jumlah pengunjung yang makan dan minum di tempat tidak lebih dari 25 persen daya tampung maksimal restoran atau kafe, sesuai aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).