Warteg Terdampak Pembatasan, Sebagian Pekerja Memilih Pulang Kampung
Sebagian pekerja dan pengusaha warteg asal Tegal, Brebes, dan Kota Tegal, Jateng, memilih mudik karena warteg tempat ia bekerja sepi pembeli. Penurunan pembeli dinilai terjadi karena adanya pembatasan masyarakat.
Oleh
KRISTI UTAMI
·5 menit baca
Penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM berdampak pada sebagian usaha warga. PPKM menyebabkan kegiatan perkantoran menurun yang berdampak pada anjloknya jumlah pembeli di warung makan di sekitar pusat bisnis. Hal sama terjadi di warung-warung makan di sekitar hunian penduduk seiring turunnya daya beli di masa pandemi Covid-19.
Kondisi ini berkontribusi pada penutupan sementara sejumlah warung Tegal alias warteg yang tak luput ditinggalkan oleh sebagian pelanggannya. Sembari menunggu keadaan normal, sebagian pengusaha dan pekerja warteg ada yang tetap berjuang membuka warungnya, tetapi sebagian lain memilih bertahan hidup dengan pulang kampung. Ada juga yang mencoba peruntungan dengan beralih ke pekerjaan lain.
Di kampung warteg Cabawan, Kecamatan Margadana, Kota Tegal, Jawa Tengah, misalnya, sedikitnya 3.000 orang merantau ke wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Semarang, dan Surabaya untuk membuka usaha warteg atau bekerja di warteg. Dari jumlah tersebut, sekitar 900 orang kembali ke Cabawan sejak September 2020 karena tempat usahanya tutup atau sepi pembeli.
Pada pertengahan Januari 2021, jumlah pekerja dan pengusaha warteg yang pulang ke Cabawan kembali bertambah sekitar 100 orang. Salah satu pengusaha warteg yang pulang ke Cabawan adalah Eko (38). Pemilik salah satu warteg di Jagakarsa, Jakarta Selatan, itu pulang karena takut semakin merugi.
Pada kondisi normal, omzet warteg milik Eko sekitar Rp 1 juta per hari. Sementara itu, saat awal penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) (sebelum era penerapan PPKM), omzetnya anjlok menjadi Rp 300.000 per hari. Kala itu, ia juga memilih pulang kampung dan kembali saat pemerintah menerapkan normal baru.
Ada sekitar 30.000 warteg di Jabodetabek yang pemiliknya merupakan warga Kota Tegal, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Brebes. Dari jumlah tersebut, sekitar 25 persen atau 7.500 warteg terpaksa tutup akibat sepi pembeli di masa pandemi.
Saat PSBB dilonggarkan di Jakarta atau disebut juga PSBB transisi untuk adaptasi normal baru diterapkan, omzet warteg Eko sempat merangkak naik menjadi Rp 700.000 per hari. Jumlah itu terhitung pas-pasan untuk modal berjualan di hari berikutnya. Menurut Eko, ia membutuhkan sedikitnya Rp 500.000 per hari untuk belanja lauk, sayur, dan gas. Adapun sisa Rp 200.000 ia sisihkan untuk membayar upah pekerja dan mencicil biaya sewa.
”Kalau sekarang ini, sehari paling banyak dapat Rp 500.000. Kalau maksain buka (warteg), pasti rugi,” kata Eko, Sabtu (23/1/2021), di Tegal.
Selama di kampung, Eko bertahan hidup dengan menggarap sawah milik orangtuanya. Eko baru akan kembali membuka wartegnya saat sudah ada pelonggaran aktivitas masyarakat.
Rian (21), perantau asal Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, juga terpaksa pulang kampung akibat diberhentikan oleh pemilik warteg tempatnya bekerja. Rian yang sudah dua tahun bekerja di salah satu warteg di Pulo Gadung, Jakarta Timur, tersebut kini harus menganggur.
”(Saya) diberhentikan pada minggu terakhir 2020 karena pemilik warteg ingin mengurangi pekerja. Sekarang, saya masih menganggur, sedang berusaha cari pekerjaan,” ucap Rian.
Rian menuturkan, selama bekerja di warteg, ia mendapat upah bersih sebesar Rp 2 juta per bulan. Uang itu biasanya ditabung dan dikirim ke kampung halaman untuk ibunya.
Bertahan
Saat sebagian pengusaha dan pekerja warteg memilih pulang kampung, ada beberapa pekerja warteg yang bertahan di Jakarta. Atun (26) asal Banjaran, Kabupaten Tegal, misalnya, memilih tetap di Jakarta dan beralih pekerjaan menjadi petugas kebersihan. Atun yang adalah orangtua tunggal itu mengaku tak bisa pulang dan menganggur karena ia harus tetap bekerja untuk menghidupi anaknya.
”Kalau pulang, nanti bingung mau kerja apa di kampung. Kebetulan kemarin ada info lowongan kerja jadi cleaning service, langsung saja saya daftar dan syukurnya diterima,” kata Atun.
Atun menuturkan, upahnya sebagai petugas kebersihan lebih besar dibanding upahnya di warteg. Meski begitu, biaya yang harus ia keluarkan saat ini lebih besar.
”Dulu di warteg gajinya Rp 2 juta sudah bersih, dapat makan, tempat tinggal, dan perlengkapan mandi. Sekarang gajinya Rp 4 juta, tapi masih harus bayar uang kos, uang makan, dan perlengkapan lainnya,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Komunitas Warteg Nusantara Mukroni menuturkan, ada sekitar 30.000 warteg di Jabodetabek yang pemiliknya merupakan warga Kota Tegal, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Brebes. Dari jumlah tersebut, sekitar 25 persen atau 7.500 warteg terpaksa tutup akibat sepi pembeli di masa pandemi ini.
Menurut Mukroni, kebanyakan pengusaha warteg merugi karena penjualan menurun, sementara biaya sewa tetap tinggi. Dalam setahun, rata-rata biaya sewa warteg di kawasan Jakarta berkisar Rp 50 juta-Rp 100 juta. Adapun rata-rata omzet per bulan selama pandemi sekitar Rp 5,6 juta atau sekitar Rp 67, 2 juta selama setahun.
”Saat ini, kondisi usaha warteg sedang kembang kempis, banyak yang memilih tutup sementara. Pendapatan kami anjlok karena adanya pembatasan kegiatan masyarakat, mulai dari PSBB sampai sekarang PPKM,” kata Mukroni.
Lurah Cabawan Pudjo Andri Raharjo mengatakan, pihaknya belum mendapat data lengkap terkait pengusaha atau pekerja warteg yang terdampak PPKM. Menurut Pudjo, pihaknya akan segera memonitor dan mendata siapa-siapa saja warganya yang terdampak PPKM.
”Nanti kami data dulu berapa yang terdampak. Data itu akan kami laporkan ke dinas-dinas terkait supaya tahu bagaimana solusinya,” ujar Pudjo.
Adapun Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mengklaim akan memfasilitasi pelaku usaha kecil seperti warteg dengan berbagai progaram agar tidak tutup karena pandemi. Fasilitas itu, antara lain, insentif pajak, relaksasi dan restrukturisasi kredit, perluasan pembiayaan, digitalisasi, serta bantuan tunai. Di sisi lain, mereka juga mendorong adaptasi kebiasaan baru dengan penerapan protokol kesehatan, literasi digital, pendampingan dan pelatihan, serta standardisasi produk (Kompas, 23/1/2021).