Pandemi yang mendera bangsa ini menyulitkan mereka yang berada di usia produktif. Namun, kondisi ini tidak membuat mereka berhenti mencari peluang karena minimnya lapangan kerja.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kawula muda tengah mendominasi penduduk perkotaan, seperti Jakarta, ketika pagebluk datang. Beradaptasi dengan situasi sangat penting supaya tetap produktif di tengah minimnya lapanga kerja. Mereka sedang melawan ketidakpastian ekonomi.
Sensus penduduk secara daring pada Februari hingga Mei 2020 dan kunjungan lapangan pada September 2020 mencatat ada 10,56 juta penduduk di Jakarta. Mayoritas penduduk tersebut ialah kawula muda yang masuk kelompok milenial dan generasi Z.
Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, Jumat (22/1/2021), menyampaikan bahwa generasi milenial atau penduduk yang lahir dalam kurun 1981-1996 sebesar 26,78 persen. Selanjutnya berturut-turut generazi Z (kelahiran 1997-2012) 25,65 persen; generasi X (angkatan kelahiran 1965-1980) sebesar 23,64 persen; dan generasi pasca-Z yang lahir tahun 2013 ke atas atau beberapa tulisan akademik dijuluki generasi Alpha sebesar 11 persen.
Rektor Universitas Trilogi Jakarta Mudrajad Kuncoro menyebutkan bahwa kemampuan berpikir kritis, mengambil keputusan, bernegosiasi, dan lekas beradaptasi pada perubahan menjadi sangat penting di tengah situasi kritis (Kompas.id, 18 Januari 2021).
”Tahun 2021 ini masa kritis untuk menentukan apakah generasi milenial Jakarta, bahkan di Tanah Air, bisa beradaptasi atau tidak dengan dampak pukulan pandemi. Bisakah generasi milenial memiliki mental tangguh yang tidak hanya bertumpu pada ideologi menjadi diri sendiri? Akan banyak sekali kebutuhan untuk berkompromi dengan situasi,” tutur Faisal.
Lantas bagaimana kawula muda baik pekerja maupun pelajar beradaptasi di tengah situasi pandemi Covid-19? Nisa Fadhilah (22), karyawan swasta di bidang properti, memilih tetap bekerja meskipun pemasukan tak sebanyak biasanya. Gaji lebih dari Rp 2 juta cukup baginya untuk memenuhi keperluan pribadi.
Setiap pekan, pekerjaannya berlangsung di Jakarta Barat dan Tangerang Selatan secara bergilir. Terkadang hari libur harus bergeser untuk mengurus klien. ”Situasi seperti ini harus hemat-hemat. Ketimbang tidak ada pemasukan sama sekali. Banyak orang kena pemutusan hak kerja, dirumahkan, dan pemotongan gaji,” ucap Nisa, Sabtu (23/1/2021).
Bonni (35), pengojek daring, sampai banting setir berjualan makanan secara daring karena pemasukan naik turun. Apalagi, semenjak kebijakan pembatasan aktivitas warga untuk menekan laju penularan.
Warga Jakarta Selatan itu sempat mencoba peruntungan dengah hanya menerima pesanan makanan. Akan tetapi, itu tidak banyak membantu karena orang-orang berhemat selama pandemi. ”Sekarang jualan untuk tambah pemasukan. Kalau tidak begini, bisa makin susah,” ujarnya. Ia berjualan makanan khas Minang dan jajanan lain di @dapoerramii.
Situasi pandemi ini pun membuka cakrawala berpikir Farisa Aldya (20), mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Dunia kerja yang semakin sulit membuatnya mengasah kemampuan di sela-sela perkuliahan daring dengan kursus bahasa Inggris. ”Supaya makin fasih. Jadi nilai tambah juga kalau masuk dunia kerja. Banyak lowongan kerja mensyaratkan fasih berbahasa Inggris,” kata Farisa.
Sepekan kursus bahasa Inggris secara daring berlangsung tiga atau empat kali. Pertemuan berlangsung selama 2 jam. Di sisi lain, di rumah saja, baginya, lebih bermanfaat ketimbang hanya berkutat dengan perangkat teknologi.
Pendiri Youth Lab, sebuah lembaga kajian aspirasi generasi muda, Muhammad Faisal melihat generasi muda menghadapi dua disrupsi. Pertama oleh teknologi melalui Revolusi Industri 4.0 dan yang kedua ialah pandemi.
Faisal menuturkan, generasi milenial dan generasi Z dewasa muda tumbuh dalam lingkungan yang memberi mereka berbagai pilihan dengan moto hidup motivasi menjadi diri sendiri dan mengerjakan sesuatu sesuai bakat serta minat masing-masing. Ada privilese yang tidak dibayangkan oleh generasi orangtua, yakni kebebasan menentukan cita-cita dan memilih pekerjaan atau karier sesuai kemauan sendiri.
Namun, berbagai pekerjaan yang menjadi minat mereka banyak yang gulung tikar di masa pandemi. Hal ini ditambah dengan revolusi industri 4.0 yang otomatis sangat dibutuhkan semasa pandemi karena menjamin terciptanya menjaga jarak fisik.
Karena itu, menurut dia, perlu dialog lintas generasi untuk mengajarkan etos kerja keras dan kiat berkarya maksimal meskipun di bidang kerja yang tidak sesuai dengan minat dan bakat. Kemampuan itu memberi kekuatan mental generasi milenial ketika menghadapi kenyataan pahit harus berkompromi dengan situasi pandemi.
Berkaca pada Italia yang mempunyai fenomena anak-anak muda pindah dari perkotaan ke perdesaan untuk menjadi petani dengan pendekatan baru. Generasi muda di Jakarta juga perlu mencoba kesempatan serupa meskipun tidak persis sama. ”Membuka kesempatan menciptakan atau mengembangkan hal-hal baru dengan dukungan pemerintah,” ujarnya.