Perilaku Masyarakat Berubah Selama Pembatasan walau Belum Drastis
Pantauan sejauh ini ada perubahan sedikit di masyarakat. Aturan agar mal, kafe, dan restoran tutup pukul 19.00 memaksa masyarakat tidak keluar malam. Akan tetapi, masih ada orang yang pindah nongkrong ke area di sekitar.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Keefektifan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat belum sepenuhnya menampakkan hasil karena baru berjalan sembilan hari. Meskipun demikian, sejumlah pakar memantau ada perubahan pergerakan masyarakat. Mereka berpendapat bahwa agar pengendalian pandemi optimal, PPKM perlu diperpanjang jangka waktunya.
”Saat ini simpul permasalahannya di perilaku masyarakat. Bukan di teknis alat dan tenaga kesehatan lagi,” kata epidemiolog Universitas Respati Indonesia, Cicilia Windiyaningsih, ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (20/1/2021).
Cicilia, yang juga anggota Gugus Tugas Nasional Penanganan Covid-19 untuk bidang pelacakan kasus positif, mengungkapkan, pada takaran Jawa-Bali sebelum PPKM ada 51 kabupaten/kota dengan kasus harian di atas 1.000. Setelah lebih dari sepekan PPKM, jumlahnya menjadi 27 kabupaten/kota.
Sistem pelacakan kasus positif idealnya adalah 30 kontak erat per satu pasien positif. Akan tetapi, di Indonesia umumnya yang dilacak adalah 10 hingga 12 kontak erat. (Cicilia Windiyaningsih)
Kasus-kasus tinggi masih terjadi di wilayah dengan penduduk padat, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. ”Meskipun begitu, kabupaten/kota lain yang kasusnya rendah atau menurun tidak boleh lengah. Penegakan protokol kesehatan memakai masker, menjaga jarak, dan rutin mencuci tangan adalah keniscayaan,” tuturnya.
Di Ibu Kota contohnya, berdasarkan Dinas Kesehatan DKI Jakarta per 20 Januari, ada 3.786 kasus positif baru. Jumlah pasien yang masih dirawat atau menjalani isolasi adalah 21.224 orang. Sebanyak 44 persen berasal dari kluster keluarga, rata-rata merupakan keluarga yang ketika libur Natal dan Tahun Baru melakukan perjalanan ke Jawa Barat dan Banten dengan kendaraan pribadi.
Cicilia mengatakan, penambahan kasus harus ditindaklanjuti dengan perujukan ke rumah sakit khusus Covid-19 dan tempat isolasi lainnya. Semestinya, pasien yang tidak bergejala bisa menjalani isolasi mandiri di rumah masing-masing jika ruangan dan fasilitas tersedia. Dalam hal ini, pengawasan dari rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) sangat penting. Tidak hanya melalui telepon atau media sosial, tetapi juga benar-benar mendatangi rumah guna memastikan pasien memang diisolasi oleh keluarga.
”Sistem pelacakan kasus positif idealnya adalah 30 kontak erat per satu pasien positif. Akan tetapi, di Indonesia umumnya yang dilacak adalah 10 hingga 12 kontak erat. Biasanya mereka adalah anggota keluarga dan teman kerja. Jika pasien mengungkapkan pernah ke pasar atau pusat perbelanjaan, pelacakan kontak erat otomatis susah dilakukan,” paparnya.
Oleh sebab itu, ide mengaktifkan kembali konsep pembatasan sosial berskala kecil dalam lingkup RW perlu dipikirkan kembali. Menurut Cicilia, hal ini bisa membantu pengendalian pandemi dengan cara mengunci titik-titik wilayah yang memiliki kluster. Penegakan protokol kedisiplinan tidak bisa hanya mengandalkan razia dan patroli aparat penegak hukum.
Satu hal yang harus diperbaiki adalah sistem rujukan pasien positif, setidaknya untuk di Jabodetabek agar bisa berbasis digital terintegrasi. Cicilia mengatakan, salah satu alasan warga Bodetabek berobat ke Jakarta adalah karena di wilayah mereka informasi mengenai rumah sakit rujukan Covid-19 tidak transparan. Warga masih harus mencari sendiri dan membutuhkan waktu lama.
vApabila tidak bisa dibuat informasi terbuka kepada publik, minimal harus terbuka untuk semua puskesmas. Jika ada orang tanpa gejala yang mengisolasi diri di rumah kondisinya memburuk, RT dan RW harus membawanya ke puskesmas. Puskesmas kemudian yang merujuk dia ke rumah sakit. Setiap puskesmas diberi pilihan dua atau tiga RS rujukan agar tidak ada rebutan tempat,” ujarnya.
Pada waktu berlainan, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghapus sanksi progregsif bagi pelanggar protokol kesehatan. Alasannya karena sanksi progresif diatur di dalam peraturan gubernur (pergub), sementara di dalam peraturan daerah yang statusnya di atas pergub tidak ada poin mengenai sanksi progresif.
Ia menuturkan, akan fokus pada pendidikan dan penyadaran masyarakat. Apabila protokol kesehatan hanya terjadi karena masyarakat takut pada aparat penegak hukum, pandemi tidak akan terkendali dan para petugas akan kelelahan akibat razia terus-menerus sementara masyarakat tetap membandel.
Berubah sedikit
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengatakan, belum bisa mengevaluasi PPKM karena masih di pertengahan jadwal pelaksanaan. Akan adil mengevaluasinya setelah tanggal 25 Januari ketika PPKM yang diasumsikan sebagai fase pertama ini usai.
”Pantauan sejauh ini ada perubahan sedikit di masyarakat. Aturan agar mal, kafe, dan restoran tutup pukul 19.00 memaksa masyarakat tidak keluar malam. Akan tetapi, masih ada orang yang pindah nongkrong ke area di sekitar permukimannya atau tempat tinggal teman meskipun bukan di fasilitas umum atau komersial. Keharusan 75 persen karyawan bekerja dari rumah juga belum tentu ditaati karena ada orang yang bekerja di luar rumah walaupun bukan di kantor,” ujarnya.
Menurut Rakhmat, berharap penanganan bisa maksimal hanya dengan satu fase PPKM sangat naif. Tetap perlu perpanjangan PPKM dan jika bisa PSBL di titik-titik rawan penularan. Artinya, jaring pengaman sosial untuk masyarakat rentan serta pengelolaan cara dan waktu belanja masyarakat harus diatur agar ekonomi berputar, tetapi tetap dengan menghindari kontak fisik.