Pandemi Covid-19, Tantangan dan Peluang 17 Tahun Transjakarta
Transjakarta sudah 17 tahun melayani mobilitas warga Ibu Kota. Di masa pandemi, Transjakarta dituntut meningkatkan performa dan berinovasi mendongkrak kembali jumlah penumpang tanpa melanggar protokol kesehatan.

Warga naik bus transjakarta seusai pulang kerja di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (6/1/2021).
Pekan lalu, tepatnya pada 15 Januari 2021, tak terasa perjalanan atau mobilitas warga Ibu Kota menggunakan layanan angkutan massal berbasis bus, yaitu jaringan Transjakarta sudah memasuki tahun ke-17. Dengan adanya pandemi, jaringan angkutan umum yang semula pernah melayani hingga 1 juta orang per hari itu, kini kehilangan sebagian besar penumpangnya.
Ada pekerjaan rumah yang mesti dikerjakan Transjakarta, yaitu mengembalikan lagi "mantan-mantan" penggunanya untuk mau menggunakan bus berjalur khusus tersebut, di samping upaya mewujudkan layanan yang terintegrasi antarmoda.
Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas, Kamis (14/01/2021) menyatakan, melihat perjalanan Transjakarta sebelum pandemi Covid-19, angkutan massal yang dikelola perusahaan daerah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini menunjukkan kinerja positif. Setidaknya 1 juta pelanggan dalam satu hari pernah dilayani. Angka tertinggi jumlah penumpang Transjakarta 1.041.815 pelanggan tercatat terlayani pada 2 Maret 2020.
Angka sebesar itu tak lepas dari jumlah rute yang diaktifkan melayani warga. Tak kurang dari ada 248 rute, baik koridor maupun non-koridor dilayani berbagai jenis armada Transjakarta. Tak lupa, bus-bus kecil yang turut masuk dalam sistem Jaklingko, mereka juga ambil andil dalam menyuplai penumpang ke halte-halte Transjakarta. Mereka menambah angka keterangkutan.
Saat pandemi Covid-19 merebak yang diikuti pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB, cerita mulai berbeda. Mulai Maret 2020, angka penumpang Transjakarta terus turun.

ILUSTRASIBus transjakarta Koridor 13 melintasi jalur layang di kawasan Rawa Barat, Jakarta Selatan, Minggu (7/5/2017).
Darmaningtyas menjelaskan, penurunan penumpang terjadi seiring dengan pemberlakuan aturan protokol kesehatan di sarana dan prasarana angkutan umum, pembatasan kapasitas penumpang, kebijakan jumlah pekerja di perkantoran, hingga kebijakan bekerja dari rumah atau work from home.
Sampai Oktober 2020, angka penumpang Transjakarta belum sepenuhnya pulih. Angka terakhir masih di kisaran 350.000-400.000 penumpang per hari. Artinya, angka itu sama dengan situasi ketika Transjakarta beroperasi dengan 10 koridor.
Transjakarta masih punya pekerjaan rumah untuk mengintegrasikan bus-bus kecil, bus sedang, dan bus besar dalam sistem integrasi Jak Lingko. (Darmaningtyas)
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) DKI Jakarta Damantoro menjelaskan, untuk perusahaan daerah seperti Transjakarta, pandemi seharusnya dipandang sebagai peluang. Kalau mau memandang pandemi sebagai krisis, lanjut Damantoro, dalam kenyataannya Pemprov DKI tetap memberikan kepastian jaminan dan pendanaan subsidi (public service obligation) kepada Transjakarta hingga tahun ke-17 saat ini.
Justru Transjakarta mesti melihat pandemi sebagai peluang, bagaimana menciptakan model bisnis yang ligat dan tahan menghadapi perubahan-perubahan. Pandemi memunculkan perubahan perilaku pelanggan. Peluangnya adalah menciptakan bisnis model baru yang benar-benar memahami perilaku pelanggannya.

Kru Transjakarta keluar dari pintu bus listrik Higer saat diperkenalkan dalam peluncuran di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Senin (28/12/2020).
Sekretaris Jenderal MTI Pusat Harya Setyaka S Dillon menilai, saat pandemi, aturan pembatasan penumpang dan protokol kesehatan diterapkan dengan ketat. Itu menjadi jaminan betapa angkutan umum bukan tempat persebaran virus.
"Saat deteksi persebaran dan penularan menyebut adanya kluster keluarga, perkantoran, pasar, kluster angkutan umum tidak muncul," katanya.
Baca juga : Transjakarta Mulai 2 April Hanya Melayani 33 Rute
Itu menjadi salah satu modal bagi Transjakarta untuk meyakinkan "mantan-mantan" pelanggannya, untuk kembali menggunakan angkutan umum. Memberi keyakinan kepada para penumpangnya, bahwa angkutan umum saat pandemi bukan hanya aman, cepat, nyaman, tapi juga sehat.
Dalam survei yang dilakukan MTI pada Juni 2020, lanjut Haryasetyaka, ada 66 persen penumpang yang sebelumnya aktif menggunakan Transjakarta sebagai alat mobilitasnya akan kembali menggunakan Transjakarta. Ada 33 persen lainnya yang masih harus diyakinkan.

"Tentu saja kampanye-kampanye dan penerapan protokol kesehatan di angkutan umum tetap harus diterapkan secara ketat," kata Damantoro menambahkan.
Dengan melakukan upaya-upaya itu, Damantoro optimistis, bukan tidak mungkin pelanggan mau kembali. "Tetapi pasti pelan-pelan kembalinya karena pandemi masih berlangsung," katanya.
Sementara Sudaryatmo dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencermati, kampanye itu juga mesti dibarengi dengan perbaikan-perbaikan di segala lini aspek teknis layanan. Diakui Sudaryatmo, saat pandemi, jumlah penumpang sangat turun karena adanya berbagai aturan terkait protokol kesehatan yang diterapkan secara ketat. Itu tentu saja berpengaruh pada pendapatan Transjakarta.
Meski begitu, sebagai operator angkutan umum bus rapid transit (BRT) dengan bentang layanan total sepanjang 244 km, Transjakarta tetap harus menyelenggarakan layanan prima. Apalagi, ada dukungan subsidi pemerintah.
Ketentuan penggunaan kartu pembayaran sebagai ganti uang tunai, disebut sebagai langkah maju. Karena membuat perhitungan penumpang bisa lebih akurat dan tercatat. Hanya sayangnya, teknologi mesin elektronik untuk mengisi ulang saldo masih lambat bekerjanya. Dari aspek mobilitas, itu tentu saja menghambat pergerakan.

Arsip Infografis 16 tahun Transjakarta (Kompas, 15 Januari 2020)
Dengan ratusan rute koridor dan nonkoridor, lanjut Sudaryatmo, Transjakarta dituntut juga untuk mampu menghadirkan on time performance yang handal. Setiap penumpang berharap bisa merencanakan perjalanannya dengan mencermati jadwal kedatangan dan keberangkatan bus-bus secara terukur. Sayangnya, bahkan jarak kedatangan dan keberangkatan antarbus atau headway, belum konsisten.
Kemudian karena pandemi masih berlangsung, Sudaryatmo melihat, kebutuhan menjaga jarak di halte dan bus harus diterapkan, sehingga kerumunan penumpang seharusnya bisa dipecah. YLKI berpendapat, ukuran halte Transjakarta banyak yang tidak seimbang dengan jumlah penumpang. Sehingga manajemen Transjakarta bisa membuat rekayasa rute supaya penumpang bisa dipecah dan tidak menumpuk di halte-halte.
Baca juga : Dampak Pembatasan Sosial, Penumpang Angkutan Umum di DKI Terus Turun
Hal lainnya yang menurut penilaian YLKI masih harus dibenahi adalah faktor sumber daya manusia (SDM). Sebagai operator angkutan umum, SDM Transjakarta yang peka pada kebutuhan penumpang dan bisa menghargai penumpang sangat mendukung layanan. "Untuk SDM ini perlu banyak pelatihan bagaimana mereka menunjukkan sikap respect kepada penumpang," jelasnya.
Di tengah semua tantangan itu, baik Damantoro atau Darmaningtyas menyebutkan pekerjaan rumah lain yang sebetulnya peluang bagi Transjakarta di tengah pandemi, yaitu integrasi. Bukan hanya integrasi fisik, melainkan juga integrasi antarmoda.

Penumpang menunggu Bus Transjakarta di Halte Tosari, Jakarta Pusat, Minggu (10/1/2021).
Darmaningtyas menyebut, Transjakarta masih punya pekerjaan rumah untuk mengintegrasikan bus-bus kecil, bus sedang, dan bus besar dalam sistem integrasi Jak Lingko. Untuk bisa menyuplai penumpang, yang harus didorong adalah bagaimana mengintegrasikan angkutan kota dari pinggiran dengan Transjakarta dalam sistem Jak lingko itu mestinya harus dikembangkan.
Bus-bus kecil atau yang dulunya angkutan kota dan dalam ekosistem Jak Lingko disebut mikrotrans, bisa dirangkul lebih banyak lagi untuk masuk dalam sistem manajemen Transjakarta. Mikrotrans itu bisa lincah melayani penumpang hingga ke kawasan permukiman yang padat, di pinggiran, hingga kawasan pasar atau perniagaan.
"Saya kira itu yang harus didorong. Bagaimana mengintegrasikan angkutan kota di pinggiran dengan Transjakarta dalam sistem Jak Lingko itu mestinya harus dikembangkan di dalam Jakarta hingga ke pinggir-pinggir, semua angkot pada akhirnya harus terintegrasi," kata Darmaningtyas.
Tentu, untuk kenyamanan, menambah armada mikrotrans yang dilengkapi dengan pendingin dan ada standar layanan minimum yang harus dipatuhi pengemudi dan operator, perlu dikerjakan. Itu memberi daya tarik bagi pelanggan.
Integrasi lainnya, tentu saja dengan moda angkutan lainnya seperti kereta komuter, MRT, LRT, Jakarta, juga nantinya LRT Bodebek. Integrasi ini menjadi cara untuk saling menyuplai penumpang.

Damantoro menyebut, integrasi antara Transjakarta dengan MRT di Dukuh Atas dan di Bundaran HI meningkatkan harapan warga, integrasi antarmoda harusnya lancar seperti itu.
Faela Sufa, Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Asia Tenggara juga menyampaikan, capaian 1 juta penumpang, di satu sisi prestasi. Tapi di sisi lain, melihat potensi penumpang yang melakukan perjalanan harian dari Bodetabek ke Jakarta, kemudian juga perjalanan di dalam Jakarta sendiri yang begitu besar, harusnya Transjakarta bisa melayani lebih dari itu. Selain itu juga jaringan layanan yang dimiliki Transjakarta juga besar.
Data ITDP menyebutkan, cakupan pelayanan Transjakarta sudah mencapai 83 persen dari total populasi penduduk Jakarta. Sementara jaringan layanan sudah 76 persen dari wilayah DKI Jakarta. Transjakarta melayani mobilitas di 248 halte dan 5.932 titik pemberhentian bus (bus stop).
Transjakarta dengan kapasitas yang dimiliki, seharusnya bisa menjemput penumpang lebih dekat. Faela menyebut, untuk kedekatan ke titik layanan Transjakarta, penumpang masih perlu berjalan kaki.
Artinya, Transjakarta juga harus mempelajari karakteristik penumpang mereka tidak hanya dari jaringan layanan mereka, tetapi juga pada catchment area atau kawasan tangkap penumpang atau cakupan layanan mereka.

"Penumpang Transjakarta itu karakteristiknya seperti apa itu masih belum tersentuh. Dari awal perjalanan dan ke akhir perjalanan belum tersentuh," jelasnya.
Bahkan, seharusnya Transjakarta sudah bisa mengembangkan aplikasi dan layanan digital. Sehingga memudahkan masyarakat merencanakan perjalanan mereka.
Layanan kepada penumpang disabilitas, lanjut Faela, harusnya juga menjadi perhatian. Dengan 248 titik halte, ternyata masih perlu banyak perbaikan, karena akses penumpang disabilitas menuju halte, kurang.
Senada dengan Darmaningtyas, Faela juga menyebutkan integrasi masih menjadi pekerjaan rumah Transjakarta. Integrasi di sini bukan hanya di dalam jaringan Transjakarta saja, melainkan juga dengan area di sekitarnya.
Untuk Jak Lingko yang melibatkan bus-bus kecil, Faela menyebut, bukan hanya komitmen Transjakarta yang diminta, melainkan juga Dinas Perhubungan. Dinas Perhubungan yang membuka rute dan melakukan negosiasi dengan operator. Transjakarta yang menindaklanjuti.
"Mungkin dengan kondisi sekarang dengan keterbatasan budget, perlu pintar pintar untuk tentukan rute yang dampaknya besar kepada penumpang," jelas Faela.

Penumpang menunjukan kartu JakLingko saat menaiki angkot JakLingko dari Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020).
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menegaskan, integrasi dalam layanan Transjakarta menjadi isu penting untuk meningkatkan kemampuan pelayanan. Hal itu bisa dijawab dengan menambah banyak bus-bus (besar, sedang, kecil) yang terintegrasi dalam layanan Transjakarta. Kemudian memperbanyak rute-rute lintasan yang terintegrasi sehingga mencapai target sebuah ekosistem Jak Lingko.
"Dalam tahun 2021 ini dan tahun-tahun mendatang, diharapkan Transjakarta dapat lebih meningkatkan kemampuan layanannya, meminimkan keluhan pelanggan serta mengatasi kendala penyerobotan jalur busway di banyak lokasi," kata Syafrin.
Baca juga: Pembatasan Kegiatan Masyarakat Setengah Hati, Kasus Covid-19 Terus Meningkat