Langkanya Ruang ICU Tak Seviral Raffi
Ajakan agar warga mau divaksin saja tidak cukup. Bahaya dari kendornya kepatuhan pada protokol kesehatan selama masa vaksinasi sekarang juga mesti terus digaungkan hingga Covid-19 memang tuntas dibereskan.
Hanya dalam sehari, pesohor Raffi Ahmad menyandang dua gelar yang saling bertolak belakang: duta vaksinasi Covid-19 sekaligus duta pelanggaran protokol kesehatan. Perilaku abai dikhawatirkan meluas, berujung pada tidak terkendalinya penularan dan makin normalnya kelangkaan ruang unit perawatan intensif atau ICU.
”Alhamdulillah hari ini vaksin perdana bersama Pa @jokowi. Terima kasih atas kepercayaannya. Untuk Indonesia tercinta ayo vaksin.”
Demikian penggalan teks yang menyertai foto Raffi Ahmad bersama Presiden Joko Widodo dan diunggah pada Rabu (13/1/2021) di Instagram. Pria yang wajahnya senantiasa akrab di layar kaca itu bagian dari penerima vaksin perdana Covid-19 dan turut disuntik di Istana Merdeka, Jakarta.
Fotonya bersama Presiden telah disukai 1,16 juta pengguna Instagram. Namun, belum sampai hari berganti, foto Raffi bersama selebritas lain tanpa masker dan tanpa jarak berserakan di media sosial. Padahal, ia sendiri yang mengingatkan supaya masyarakat yang sudah mendapat jatah vaksin agar tetap mematuhi protokol kesehatan.
Memang sebelum masuk rumahnya mengikuti protokol, tetapi pas di dalam kebetulan saya lagi makan, tidak pakai masker dan ada yang foto. Tapi, apa pun itu saya minta maaf karena kejadian ini jadi heboh.
Melalui unggahan di akun Instagram @raffinagita1717, Raffi meminta maaf atas keteledorannya tidak taat menjalankan protokol kesehatan saat menghadiri acara pesta ulang tahun ayah salah satu temannya, Rabu malam.
”Memang sebelum masuk rumahnya mengikuti protokol, tetapi pas di dalam kebetulan saya lagi makan, tidak pakai masker dan ada yang foto. Tapi, apa pun itu saya minta maaf karena kejadian ini jadi heboh,” ujar Raffi.
Ia mengajak semua warga untuk tetap menaati protokol kesehatan. Kejadian ini jadi pelajaran bagi Raffi untuk lebih baik dalam menjaga kesehatan di tengah pandemi.
Raffi hadir dalam pesta ulang tahun ayah salah satu temannya hari Rabu malam. Meski jumlah tamu yang hadir masih kurang dari 10 persen kapasitas tempat dan acara dihelat di rumah pribadi, foto-foto menunjukkan Raffi tetap melanggar protokol kesehatan.
”Di tengah masyarakat yang sudah rindu tidak dibelenggu, tidak ingin pakai protokol kesehatan, ini ada contoh. Nah, itu yang dikhawatirkan,” ucap pakar budaya digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, saat dihubungi pada Jumat (15/1/2021).
Apalagi, suami dari Nagita Slavina itu sangat berpengaruh di media sosial. Akun Instagramnya bersama istri, @raffinagita1717, diikuti 49,4 juta akun. Akun Youtube mereka yang dinamai Rans Entertainment dilanggani 19 juta pengguna. Karena itu, Firman berpendapat perilaku Raffi sangat rentan ditiru.
Baca Juga: Polisi Dalami Dugaan Pelanggaran dari Pesta yang Dihadiri Raffi Ahmad
Meski terdapat figur publik lain dalam foto-foto itu, Raffi menerima sorotan utama karena ia dipercaya untuk mendapatkan vaksin Covid-19 buatan Sinovac, Coronavac, bersama Presiden. Raffi dengan demikian mengemban amanah sebagai teladan untuk penanganan Covid-19.
Kandidat doktor medical science Kobe University, dokter Adam Prabata, mengatakan, vaksin buatan Sinovac hanya melindungi diri dari potensi terpapar Covid-19 yang bergejala. ”Hingga saat ini, belum ada bukti dapat melindungi seseorang dari terinfeksi Covid-19,” ucapnya lewat unggahan di Instagram, Selasa (12/1), dan sudah disetujui untuk dikutip.
Artinya, seseorang setelah divaksin tetap berisiko tertular dan menularkan Covid-19. Mereka yang sudah divaksin tetap wajib menjalankan protokol kesehatan, yakni memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mencuci tangan dengan sabun.
Belum ditambah kelalaian Raffi pun pengabaian protokol kesehatan oleh sejumlah warga sudah tak kunjung berhenti, sedangkan penyebaran Covid-19 di Indonesia kian menggila. Data pada Kamis pukul 12.00, terdapat tambahan 11.557 kasus positif dan menjadikan total kasus nasional 869.600 kasus sejak awal pandemi.
Di Jakarta, kasus terkonfirmasi positif bertambah 3.165 kasus per Kamis. Terdapat 20.499 kasus aktif, yang berarti saat ini masih dirawat atau menjalani isolasi.
Masalahnya, berdasarkan pengalaman di DKI selama ini, rata-rata 20 persen dari kasus aktif merupakan pasien bergejala sedang dan 2 persen adalah pasien berkondisi kritis. Mereka tidak hanya butuh isolasi terkendali, tetapi juga perawatan intensif.
Kelangkaan dianggap normal
Laju pertumbuhan jumlah pasien Covid-19 yang bergejala berat dan kritis lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan tambahan tempat tidur ICU.
Di Ibu Kota, tingkat keterisian tempat tidur ICU di 101 rumah sakit rujukan Covid-19 sudah mencapai 85 persen pada 10 Januari. Dari ketersediaan 995 tempat tidur, sudah ada 849 pasien yang menempati. Batas aman keterisian ICU menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah kurang dari 60 persen.
Akhirnya, cerita tentang sulitnya mendapatkan tempat tidur ICU di Jakarta dan sekitarnya kini seakan menjadi normal baru. Nyawa mereka yang membutuhkan terancam karena keterlambatan penanganan. Namun, kisah-kisah ini tidak lantas seviral kasus Raffi Ahmad.
Seorang perempuan berinisial DI (25), misalnya, bersama keluarganya berjuang untuk mendapatkan tempat tidur ICU bagi sang ayah, SR (54), selama tiga hari. Awalnya, SR menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat. Ia lalu diperiksa pada Jumat (8/1/2021).
”Pas dicek, paru-paru papa saya infeksi dan infonya masuk gejala Covid-19 berat, butuh ruang ICU yang ada ventilatornya,” tutur DI saat dihubungi.
Ayahnya di hari Sabtu (9/1) lantas meminta keluarga membantu mencarikan RS dengan ICU berventilator yang bisa menerima SR karena pihak RSCM tidak kunjung menemukan yang masih tersedia. DI ikut sibuk mencari, padahal perempuan pekerja swasta ini juga sedang berjuang untuk kembali sehat dalam perawatan di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet sebab ia turut terpapar Covid-19.
Selama hari Sabtu, pencarian oleh DI dan keluarga nihil. Keesokan harinya, SR mengirim pesan bahwa ia semakin tidak kuat dengan sesak yang dideritanya. DI lantas mencoba membuka Executive Information System (EIS) Dinas Kesehatan DKI pada laman beralamat http://eis.dinkes.jakarta.go.id/eis/ dan mengontak sejumlah RS yang punya tempat tidur ICU dengan ventilator karena informasinya masih tersedia.
Ternyata, semua RS yang menurut informasi di EIS Dinkes DKI masih punya tempat tidur ICU lowong menyatakan ke DI bahwa tempat mereka penuh. DI sampai meminta tolong lewat media sosialnya serta menghubungi teman-temannya untuk membantu mencarikan.
”Teman sampai mencari di Bekasi, Bogor, Tangerang, semua penuh,” ujarnya. Untungnya SR berhasil masuk ICU di Rumah Sakit Kramat 128 di Jakarta Pusat, Senin (11/1/2021) pukul 24.00, lewat bantuan seorang dokter kenalan DI.
Pertama kali masuk ICU dengan sesak napas dan saturasi (oksigen) buruk itu perjuangan banget. Sempat khawatir sama diri sendiri kalau enggak bakal tertolong.
Namun, pasien dan keluarga belum bisa langsung merasa lega setelah sukses mendapatkan ICU. Perjuangan untuk pulih di ICU bisa jadi lebih berat dibanding upaya pencariannya, seperti dikisahkan penyintas Covid-19, Andino Agustino (36), yang terkonfirmasi positif pada 16 November lalu dan dinyatakan negatif serta boleh pulang dari RS di 3 Desember.
”Pertama kali masuk ICU dengan sesak napas dan saturasi (oksigen) buruk itu perjuangan banget. Sempat khawatir sama diri sendiri kalau enggak bakal tertolong,” ucap Andino. SARS-CoV-2 membuatnya tidak hanya untuk pertama kali dirawat di RS seumur hidupnya, tetapi juga pertama kali diinfus, memakai selang oksigen, dipasangi kateter urine, memakai popok dan buang air besar di kasur, hingga perdana masuk ICU.
Kondisi paru-paru yang buruk membuat wiraswasta ini tidak boleh turun sama sekali dari tempat tidur. Pengambilan darah untuk analisis gas darah (AGD) dengan penusukan jarum suntik yang tegak lurus setiap pagi guna mengetahui kadar oksigen dalam darah. Selain itu, ia telungkup dengan banyak alat elektrode menempel di tubuh minimal 5 jam sehari.
Andino syok dengan segala penderitaan di ICU itu. Untungnya, ia masih boleh berkomunikasi secara jarak jauh dengan keluarga dan teman-temannya di sana. ”Kalau enggak ada dukungan dari mereka, enggak tahu lagi deh, mungkin saja saya menyerah,” ujarnya.
Yang juga mesti diingat, jumlah tenaga kesehatan terbatas. Andino mencontohkan, sewaktu ia demam dalam perawatan di RS, ia bisa sampai tujuh kali memanggil hingga akhirnya perawat datang. Sebab, mereka lebih mendahulukan pasien berkondisi gawat. Ia tidak bisa membayangkan seandainya ia dirawat sekarang kala ICU sudah seperti fauna yang hampir punah.
Ajakan agar warga mau divaksin saja tidak cukup. Bahaya dari kendornya kepatuhan pada protokol kesehatan selama masa vaksinasi sekarang juga mesti terus digaungkan hingga Covid-19 memang tuntas dibereskan.