Heboh Duo ”R” Cermin Keragaman Penghuni Kota
Yang satu kumpul-kumpul tanpa masker seusai divaksin, yang satu menolak vaksinasi. Perilaku serupa tak akan mereda karena beragamnya warga kota. Agar tak kebablasan, penegakan hukum dan sanksi sosial tak boleh mengendur.
Berbagai bukti kajian ilmiah, keputusan halal dari Majelis Ulama Indonesia, dan kesediaan para pejabat negara di seluruh wilayah untuk disuntik vaksin Covid-19 buatan Sinovac, China, menegaskan keamanan vaksin untuk digunakan. Kalaupun ada masalah, lebih terkait distribusi, cara penyimpanan, tenaga vaksinator, dan kurangnya pasokan dosis vaksin untuk mencakup target penerima di seluruh Indonesia.
Meskipun demikian, polemik terkait vaksin tetap saja ada. Keraguan dan penolakan masih terjadi.
Mendekati hari H penyuntikan vaksin perdana dengan penerima pertama Presiden Joko Widodo, anggota Dewan dari partai pendukung Jokowi justru tegas menolak vaksin. Anggota dewan berinisial R itu bersedia membayar sanksi denda untuk seluruh keluarganya daripada menerima suntikan vaksin. Dalam penjelasannya yang viral, seperti dilaporkan Kontan, R menyatakan sikapnya itu bagian dari upaya memperingatkan pemerintah terkait tahapan uji klinis vaksin yang harus dipatuhi agar tidak membahayakan warga negara.
Menyusul kemudian, artis sekaligus influencer dengan jutaan pengikut yang juga berinisial R. Setelah menerima injeksi vaksin pada hari yang sama dengan Jokowi, esoknya publik heboh melihat foto pesohor ini bersenang-senang bersama beberapa teman tanpa protokol kesehatan ketat. Artis R kemudian meminta maaf setelah dicecar publik secara daring dan ditegur langsung oleh Istana Negara.
Baca Juga: Tipisnya Irisan Tempe yang Mengusik Keamanan Pangan Kita
Nasi sudah menjadi bubur. Sebagian publik yang menyimak kontroversi keduanya seperti mendapat bahan bakar pembenar menolak vaksin, juga untuk berperilaku sesukanya mengabaikan protokol kesehatan pencegah penularan Covid-19. Mereka yang selama ini tidak percaya adanya wabah korona pun bisa jadi melihat kedua kasus ini sebagai fakta pendukung sikapnya.
Sing waras ngalah. Daripada emosi sendiri nanti. Yang penting tetap taat protokol kesehatan minimal buat diri sendiri, keluarga, pasienku, kolegaku di rumah sakit.
Sebagian warga yang selama ini mencoba patuh pada protokol kesehatan geram bukan kepalang dengan berbagai hal yang mereka nilai bodoh dan membahayakan orang lain, selain dirinya sendiri tersebut. Perseteruan antarwarga di dunia maya mirip polarisasi kelompok ”cebong-kampret” saat panas-panasnya dulu.
Ketegangan sering kali tereskalasi seiring kebijakan pemerintah yang berubah-ubah. Ada kalanya ketat terkait pembatasan kegiatan masyarakat, tetapi tiba-tiba bisa melonggar tak jelas. Yang terjadi, kasus penularan Covid-19 naik dan turun tanpa jelas ujung pangkalnya.
Seorang teman yang berprofesi sebagai dokter dan bertugas di salah satu kota di Jawa Tengah kini memilih menjauh dari kegaduhan media sosial. Ia juga tak terlalu intens di grup alumni kampus almamaternya. Saat euforia vaksin makin menjadi sejak sepekan lalu, ia keheranan dengan beberapa teman yang gagah memasang foto siap divaksin beriringan dengan banyak foto mereka kumpul-kumpul tanpa masker. Tak lupa sederet unggahan foto wisata ataupun tugas pekerjaan ke banyak lokasi dan bertemu banyak orang.
Kesal dengan kondisi tersebut, teman ini memilih fokus pada pekerjaannya, hanya bepergian sesuai tugasnya dan hampir satu tahun ini tidak pulang ke kampung halamannya di Wates, kota kecil di Kulon Progo, DI Yogyakarta. ”Sing waras ngalah. Daripada emosi sendiri nanti. Yang penting tetap taat protokol kesehatan minimal buat diri sendiri, keluarga, pasienku, kolegaku di rumah sakit,” tuturnya.
Multilinier
Daud Aris Tanudirjo, doktor lulusan The Australian National University, Australia, mengingatkan tentang budaya Nusantara yang sejak dulu kala tidak bisa dipandang secara linier atau satu kebudayaan dalam satu rentang waktu tertentu saja.
”Contoh paling dekat, ada suku Baduy yang bisa dibilang tidak jauh dari Jakarta, tetapi tetap saja tidak mau atau mempertahankan tingkat kemodernan yang berbeda dengan kawasan di sekitarnya,” kata dosen di Jurusan Arkeologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, saat menjadi pembahas peluncuran buku Manusia-manusia dan Peradaban Indonesia karya Truman Simanjuntak, Kamis (20/8/2019).
Pada era Majapahit pun, saat Hindu-Buddha mendasari hampir semua sendi kehidupan di kerajaan besar Nusantara abad ke-13-16, Daud menyebut, diyakini masih tetap ada kelompok-kelompok masyarakat penganut kebudayaan megalitik atau animisme. Pendek kata, sempalan-sempalan dari penganut budaya arus utama akan selalu ada, yang berarti selalu ada orang atau kelompok atau pihak yang memiliki pemikiran berbeda.
Dalam arti yang lebih sempit, di dalam kehidupan suatu masyarakat selalu ada perbedaan yang tidak melulu terkait suku, agama, dan ras, tetapi cara pandang setiap individu atau kelompok pada segala sesuatunya yang lalu memengaruhi cara hidup atau berperilaku. Ini berarti kita tidak bisa melihat fenomena perilaku masyarakat hanya linier saja, tetapi multilinier.
Kesadaran pada keragaman itu semakin kental terasa di tengah masyarakat perkotaan. Sebab, penghuni kawasan urban lebih banyak dibandingkan dengan non-urban.
Bagi Daud, karya Truman yang membuka jejak budaya negeri dari masa lampau hingga era modern tersebut sekaligus penyampaian pesan kegalauan atas kondisi Indonesia yang beragam dan kaya. Namun, kini, diusik beberapa hal yang mengancam keberagaman itu sendiri.
Baca Juga: Tren Vakansi Sehat Warga Kota di Tahun 2021
Dalam diskusi virtual yang dihadiri Truman Simanjuntak, beberapa tokoh arkeolog Indonesia, peserta dari Jakarta dan berbagai kota lain mengemuka pula tentang gejala pemaksaan kehendak atau keyakinan antarkelompok yang berseteru di dunia maya dan terbawa di dunia nyata. Itu menjadi salah satu pengganggu yang cukup menggerus kekayaan keragaman manusia-manusia Indonesia. Belum lagi figur pemimpin atau tokoh masyarakat yang belum sepenuhnya mampu bersikap serta mengambil kebijakan tepat, terutama terkait isu-isu tertentu, termasuk penanganan pandemi.
Oleh karena itu, di tengah gerusan yang menyedihkan dan merugikan publik tersebut, dibutuhkan upaya-upaya menjembatani antarkelompok masyarakat agar tetap bisa saling berkoordinasi dan bekerja sama. Dalam konteks perkotaan, peran pengelola kota menjadi vital untuk mengorkestrasi potensi manfaat ataupun ancaman dari bermacam latar belakang dan cara pandang warganya demi terwujudnya kawasan urban seideal mungkin untuk semua penghuninya.
Gotong royong orang kota
Kota salah satunya dimaknai sebagai area dengan luasan terbatas yang dihuni banyak orang sehingga menciptakan hunian padat. Di sana, singgungan fisik dan nonfisik antarwarga lebih mudah terjadi. Untuk itu, perlu diterapkan pola gotong royong yang berbeda, yakni bagaimana menggunakan area sempit sebagai wadah bersama demi memenuhi berbagai kebutuhan warga dan agar warganya tetap nyaman tinggal di sana.
Dorongan itu memunculkan kebutuhan akan ruang terbuka bersama karena tak banyak lagi rumah bisa dilengkapi halaman memadai. Muncul pula kebutuhan pada sistem layanan transportasi massal agar warga bisa diangkut ke berbagai tujuan bersama-sama dan menekan ongkos serta meminimalkan kemacetan dan polusi udara.
Berbagai kebutuhan lain pun tumbuh dan menciptakan tuntutan akan infrastruktur perkotaan khusus sesuai kepentingan publik lebih besar. Makin luas dan padat suatu kota, infrastruktur yang dibutuhkan juga berkembang. Dengan demikian, selain berpegang pada aturan hukum yang berlaku, dibutuhkan pula penerapan sanksi sosial yang kian ketat di tengah kehidupan kaum urban.
Keduanya menjadi pengontrol utama agar pelaksanaan hak dan kewajiban perorangan juga antarkelompok massa yang berbagi ruang di perkotaan tidak saling bersilangan, menindas, dan merugikan satu sama lain. Situasi dan kondisi yang kurang lebih sama terjadi pada sebuah negara.
Baca Juga: Wahai Kota, Tangkaplah Peluang Tren Kebangkitan Beragama
Secara teori, pemimpin yang baik hanya akan berpijak pada kepentingan publik semata dan mendasarkan keputusannya sesuai hukum yang berlaku. Dengan demikian, ia akan meraih kepercayaan publik dan kebijakannya dipatuhi.
Di sisi lain, kaum urban budiman sejatinya tentu paham hak dan kewajibannya. Apalagi, mereka yang pendidikan dan ekonominya mapan. Budaya malu dan mawas diri sepatutnya terus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pertanyaannya, sudahkah ini terjadi di Jakarta, di kota-kota lain, juga di negeri ini? Bisa beragam jawabannya. Yang jelas, keberagaman adalah ciri khas bangsa ini sejak negeri ini berdiri.
Seiring kesadaran para pendiri bangsa pada keberagaman, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika selayaknya dihidupi manusia Indonesia dalam setiap sendi kehidupan. Bukan sekadar slogan pencitraan diri demi meraup simpati pihak-pihak tertentu saja.