Susahnya Pembatasan dan Isu Budaya Akar Rumput Urban
Berbeda dengan kelas menengah-atas yang nongkrong demi hiburan, bagi warga miskin nongkrong adalah pelarian hidup.
Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM sudah memasuki hari ketiga. Akan tetapi, masyarakat masih belum membatasi diri dari menciptakan kerumunan. Pemakaian masker juga tidak tertib karena di jalanan tampak banyak yang memakainya secara asal-asalan, bahkan ada yang tidak sama sekali tidak memakainya.
Pantauan di wilayah Cirendeu, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, pada Kamis (14/1/2021) memperlihatkan tidak ada perubahan perilaku masyarakat di saat PPKM. Bahkan, justru terlihat melonggar dibandingkan dengan masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB), terutama periode Mei-Juli 2019.
Warga bergerombol di sekeliling tukang sayur keliling dengan masker hanya melingkar di leher. Mereka sibuk mengobrol, seolah tidak takut dengan risiko penularan virus korona baru. Seorang pengendara motor yang tidak mengenakan helm ataupun masker berhenti di dekat mereka untuk berbelanja di salah satu gerai toko serba ada. Baru ketika hendak memasuki toko ia memakai masker karena di pintu toko ada tulisan semua pengunjung wajib bermasker.
Begitu selesai berbelanja dan keluar dari toko, pengendara motor itu segera melepas masker. Ia sempat bercakap-cakap dengan warga yang sama-sama tidak bermasker. Ketika ditanya alasannya melepas masker, pengendara motor itu hanya menjawab jarak rumah ke toko tidak jauh sehingga ia merasa tidak ada risiko tertular Covid-19.
Penting bagi pemerintah pusat dan daerah transparan dalam menghadirkan data nama penerima bantuan sosial serta jadwal pasti pencairannya. Adanya kepastian adalah langkah awal masyarakat mau tetap di rumah karena tidak khawatir tak bisa makan.
Di Ibu Kota, keadaan hanya sedikit lebih baik. Di Rawamangun, Jakarta Timur, warga di permukiman padat tetap beraktivitas di luar rumah. Sebagian besar sudah bermasker. Di Jalan Cipinang besar menuju Banjar Kanal Timur, misalnya, enam pembeli mengerubungi seorang penjual cireng. Semua pembeli memakai masker, tetapi penjual tidak bermasker, sementara ia sibuk menyiapkan makanan.
”Enggak apa-apa. Ini, kan, nongkrongnya sama teman dekat semua. Lagian juga bosan di rumah melulu. Dari sebelum ada Covid kita juga udah nongkrong bareng,” kata Fajri, warga Kelurahan Rawamangun. Ia tengah kongko di pos ronda bersama lima temannya. Mereka semua tidak memakai masker dan tiga di antaranya tengah merokok.
Baca Juga: Polisi Dalami Dugaan Pelanggaran dari Pesta yang Dihadiri Raffi Ahmad
Di Tempat Pemakaman Umum Kebon Nanas terlihat ada prosesi pemakaman sedang berlangsung. Semua peziarah memakai masker, tetapi hanya dikalungkan di leher ataupun dagu. Mereka semua bersimpuh berdempetan sambil menghaturkan doa.
Tidak banyak pengurangan kasus positif semenjak PPKM dimulai tanggal 11 Januari. Memang masih harus menunggu dua pekan untuk melihat keberhasilan PPKM. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia mengumumkan penambahan kasus positif Covid-19 tanggal 14 Januari adalah 1.040 kasus. Total ada 20.499 orang yang dirawat atau menjalani isolasi.
Mencari kepastian
Sosiolog peneliti masyarakat akar rumput Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana, menjelaskan, perilaku ini ciri khas masyarakat yang mencari kepastian. Ia mengumpamakan perilaku sebelum ada pemakaian uang elektronik untuk mengendarai kereta dan bus.
Semua penumpang berebut naik meskipun gerbong sudah sesak, bahkan ada yang nekat naik ke atap. Hal ini karena penumpang tidak memiliki kepastian waktu bus atau kereta berikutnya akan datang sehingga mereka mengutamakan kepentingan masing-masing mencapai tujuan dengan menempuh segala cara. Ketika sistem perkeretaapian dan bus di Jakarta diubah dengan jadwal jelas dan uang elektronik, perilaku berebut naik ini juga hilang.
Serupa dengan kondisi pandemi. Masyarakat miskin tidak memiliki kepastian apakah mereka masuk dalam daftar penerima bansos (bantuan sosial). Kalaupun masuk daftar, tidak ada pengumuman transparan dari jauh-jauh hari mengenai kepastian jadwal pencairan bansos. Warga akar rumput tidak bisa menunggu lama karena ada kebutuhan hidup yang mendesak dipenuhi saat ini juga. Akibatnya, mereka rela mengambil risiko terpapar Covid-19 ataupun melanggar aturan pemerintah.
”Pekerja sektor formal meskipun gaji dikurangi selama pandemi selalu ada kepastian tanggal gaji dikirim ke rekening bank. Mereka bisa merencanakan alokasi belanja dan tabungan sejak berminggu-minggu sebelumnya. Pekerja informal yang mayoritas berada di akar rumput tidak memiliki kemewahan ini. Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah pusat dan daerah transparan dalam menghadirkan data nama penerima bansos serta jadwal pasti pencairannya. Adanya kepastian adalah langkah awal masyarakat mau untuk tetap di rumah karena tidak perlu khawatir tak bisa makan,” papar Asep.
Penyebab lain banyaknya pelanggaran protokol kesehatan ialah minimnya pendidikan. Hal ini berlaku baik di kalangan sosial-ekonomi miskin ataupun kaya karena berarti tidak memahami adanya bahaya penularan Covid-19. Di golongan menengah dan atas, akses mendapat tes antigen ataupun tes usap mudah, demikian pula ada kemampuan membayar fasilitas perawatan yang baik apabila tertular virus.
Di masyarakat miskin yang kesulitan memperoleh akses tes serta pengobatan, budaya nongkrong menjadi permasalahan utama. Berbeda dengan kelas menengah-atas yang nongkrong demi hiburan, di warga miskin nongkrong adalah pelarian hidup karena sebagian besar waktu mereka adalah kongko di pos ronda, warung rokok, trotoar, ataupun perempatan jalan sambil mencari uang sebagai petugas parkir ilegal.
Aspek dikotomi di masyarakat akar rumput yang sama-sama tinggal di kampung kota itu belum didekati oleh pemerintah. Para pedagang kaki lima umumnya adalah pendatang dari luar Jabodetabek. Mereka keluar rumah murni untuk mencari nafkah. Intervensinya ialah dengan pengawasan dan terus menyuruh mereka memakai masker.
”Aturan meminta PKL hanya melayani pembeli yang meminta makanan dibungkus juga sudah baik. Tinggal ketegasan penerapan dan pemantauan. PKL umumnya memiliki konsep rencana jangka panjang, seperti menabung untuk memperbesar usaha, memperbaiki rumah, atau menafkahi keluarga di kampung yang bisa dipadankan dengan keharusan mereka menerapkan protokol kesehatan selama diiringi pengawasan yang konsisten,” tutur Asep.
Baca Juga: Efektivitas PPKM dan Disiplin Warga Menerapkan Protokol Kesehatan
Kelompok lain adalah pemuda atau bapak-bapak nongkrong. Penelitian Asep mengungkapkan, mereka merupakan penduduk asli wilayah tersebut. Terlepas dari suku bangsanya, mereka lahir dan besar di wilayah urban Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Umumnya, mereka terjebak di dalam budaya kemiskinan urban.
Pemikiran yang berkembang ialah jarang memiliki konsep masa depan, hanya melihat kepada kebutuhan sekarang. Cara memperoleh kebutuhan itu tidak dengan pekerjaan jangka panjang yang membutuhkan proses sebelum membuahkan hasil, dalam hal ini termasuk menjadi PKL ataupun pengojek daring. Kebanyakan mengandalkan pekerjaan yang menghasilkan uang cepat. Contoh paling umum ialah menjadi petugas parkir ilegal ataupun pak ogah di perempatan jalan yang di sela-sela kegiatan diisi dengan nongkrong.
”Berbagai program pemerintah pusat dan daerah di sektor pelatihan keterampilan kerja dari dulu gagal membenahi kelompok masyarakat ini. Sama dengan pendekatan kesehatan semasa pandemi juga sukar mereka pahami karena memang tidak ada kesadaran ataupun motivasi jangka panjang. Satu-satunya jalan ialah jika ada penggerak sebaya dari penduduk lokal yang dipacu dari pemerintah ataupun lembaga lain untuk mau mendampingi dan membuat perubahan,” ungkap Asep.